Dugaan produk halal mengandung babi menyoroti pentingnya komitmen produsen dan validitas metode pengujian. Prof. Elfi Anis Sa’ati mendorong kolaborasi antara pemerintah, produsen, dan masyarakat untuk menjaga kehalalan dan kualitas produk.
JAKARTA | JATIMSATUNEWS.COM – Munculnya dugaan bahwa produk yang telah bersertifikat halal mengandung unsur babi menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat, khususnya kalangan Muslim yang menjadikan prinsip kehalalan sebagai syarat utama dalam mengonsumsi produk. Dugaan ini menggugah perhatian banyak pihak dan memunculkan berbagai pertanyaan mengenai keandalan sistem sertifikasi halal di Indonesia.
Salah satu hal utama yang patut
dipertanyakan adalah komitmen produsen dalam menjaga integritas
kehalalan produk. Produsen dituntut untuk menerapkan sistem kendali mutu secara
ketat mulai dari tahap penerimaan bahan baku, proses produksi, penyimpanan,
hingga distribusi produk kepada konsumen. Ketiadaan pengawasan dan kepatuhan
pada prosedur halal dalam setiap rantai pasok dapat menyebabkan potensi
kontaminasi dengan bahan haram seperti babi.
Dalam aspek teknis, Prof. Elfi menjelaskan bahwa kandungan babi dalam produk pangan umumnya terdeteksi melalui struktur molekuler berbasis kimia menggunakan teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR).
Meski PCR merupakan metode yang cukup canggih dan akurat,
risiko kontaminasi tetap ada, terutama saat proses distribusi jika sarana
transportasi tidak steril atau tidak memenuhi standar halal. Maka dari itu,
penerapan SOP Halal secara ketat oleh perusahaan menjadi krusial agar
produk tidak terkontaminasi bahan haram di sepanjang rantai distribusi.
Lebih lanjut, Prof. Elfi menegaskan bahwa potensi kontaminasi produk dapat terjadi akibat kelalaian maupun kesengajaan dari pihak produsen. Dalam beberapa kasus, produsen secara tidak sadar mencampurkan produk dengan bahan yang tidak halal, sehingga terdeteksi adanya kandungan haram saat dilakukan pengujian laboratorium.
Prof. Elfi juga mengingatkan bahwa kemungkinan lain yang kerap terjadi adalah ketika bahan baku utama sedang tidak tersedia atau produsen berupaya menekan biaya produksi, sehingga mereka menggantinya dengan bahan yang diharamkan, seperti gelatin babi.
Padahal, aspek kehalalan dan kualitas produk seharusnya tetap dijaga secara berkelanjutan. Situasi ini menunjukkan pentingnya edukasi mengenai kehalalan produk, tidak hanya bagi produsen, tetapi juga bagi konsumen.
Di sisi lain, kelangkaan bahan baku halal, khususnya gelatin, turut menjadi tantangan tersendiri. Gelatin merupakan bahan utama dalam produk seperti marshmallow dan permen lunak, namun ketersediaan gelatin halal di pasaran hanya mencapai sekitar 60% dari kebutuhan.
Menurut Dr. Nadratuzzaman Hosen, kelangkaan ini bisa mendorong oknum
produsen yang tidak bertanggung jawab untuk menggunakan bahan alternatif yang
tidak halal guna menjaga kelangsungan produksi. Tindakan tersebut tentu sangat
merugikan konsumen dan mencederai prinsip halal.
Menanggapi kondisi tersebut, Prof.
Elfi menyampaikan harapannya agar semua pihak, baik produsen, pemerintah,
maupun masyarakat, berperan aktif dalam menjaga kualitas dan kehalalan produk
di Indonesia. Ia menekankan bahwa untuk membangun sumber daya manusia yang
unggul, masyarakat harus mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib
(baik dan sehat).
Sebagai bagian dari strategi
konsumen cerdas, Prof. Elfi mengajak masyarakat untuk menerapkan metode KLIK,
yaitu: memperhatikan Kemasan, Label, Izin edar, dan Kedaluwarsa
saat membeli produk. Langkah ini diharapkan dapat membantu masyarakat
menghindari konsumsi produk yang tidak sesuai dengan prinsip halal.
Prof. Elfi turut menyampaikan bahwa
sebagian besar temuan kasus terkait produk yang tidak halal berasal dari produk
impor. Menyikapi hal tersebut, anjuran bagi konsumen di Indonesia untuk lebih
mengutamakan produk halal dari dalam negeri. Khususnya, produk yang diproduksi
oleh pelaku usaha lokal seperti saudara, tetangga, atau teman yang integritas
serta komitmen keagamaannya sudah dikenal dengan baik oleh masyarakat.
Kasus ini menjadi pengingat penting
bahwa industri halal di Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah, mulai
dari pengawasan yang lebih ketat, harmonisasi metode uji laboratorium, hingga
pemenuhan pasokan bahan baku halal. Kepercayaan publik terhadap label halal
harus dijaga melalui kerja sama yang solid antara pemerintah, produsen,
laboratorium, dan masyarakat.
Jakarta (tvOne)
Narasumber: Prof. Dr. Ir. Elfi Anis Sa’ati, MP (Ketua Pusat Studi Penelitian
Pengembangan Produk Halal, Universitas Muhammadiyah Malang)
Penulis: Amalia Iffi Hima Aya. S.T.P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?