Makanan Haram

13 Februari 2022 | 09.18 WIB Last Updated 2022-04-08T03:12:17Z

 



depositphotos.id

Oleh Ramli Lahaping

CERPEN | JATIMSATUNEWS.COM: Kiman sedang bekerja ketika sebuah mobil menabrak seekor ayam jago yang tiba-tiba memotong jalan. Ayam itu seketika menggelepar hingga ke tepi jalan, lalu berhenti tepat di sampingnya. Gerakan ayam tersebut perlahan melambat. Lantas dalam waktu yang cepat, hanya kedut-kedut kecil yang tampak padanya, seolah nyawanya telah berada di ujung napasnya. 

Tiba-tiba, Kiman jadi bimbang. Ia semestinya membuang ayam itu ke dalam tong sampahnya. Namun ia malah berkehendak untuk memanfaatkannya. Hingga akhirnya, ia membungkusnya dengan plastik, lalu menggantungnya di sisi dalam tongnya untuk menyamarkan rencananya dari kecurigaan orang-orang yang melihatnya di jalan lengang itu.

Di penghujung pagi, Kiman pun selesai membersihkan wilayah sapuannya. Ia lantas pulang sembari menimbang sikapnya atas ayam itu. Ia kemudian teringat rengekan anak bungsunya pada momen bersantap dua malam yang lalu. Sang anak memprotes lauk tempe yang berulang, dan menuntut ayam goreng seperti makanan kesukaan tokoh kartun favoritnya. 

Akhirnya, Kiman jadi mantap memanfaatkan ayam itu. Ia ingin mengolahnya sebagai lauk. Karena itu, setelah ia menuang sampah dari tongnya ke bak penampungan, ia lalu mambawanya pulang. Setelah sampai di rumahnya yang kosong sebab kedua anaknya bersekolah dan istrinya bekerja di kios penatu, ia lekas membersihkan, memotong dan menggorengnya. 

Di dalam hati, sebenarnya Kiman setengah tega untuk benar-benar menyajikan ayam itu. Ia tahu juga hukum agama perihal sebab haramnya binatang untuk dimakan. Tetapi demi membungkam rengekan anaknya, ia mengabaikan pengetahuannya itu. Apalagi, ia sekeluarga memang jarang makan ayam kampung yang segar untuk kebutuhan gizi mereka.

Kiman memang tak bisa mengandalkan keuangannya untuk membeli makanan bermutu yang membutuhkan ongkos lebih. Sebagai seorang tukang sapu jalan yang merupakan anak buah perusahaan alih daya, pendapatannya tidak sampai satu juta rupiah sebulan. Penghasilannya dan penghasilan istrinya sekadar cukup untuk menanggung hidangan sederhana setiap hari.

Persoalan itu terjadi karena keuangan mereka memang tidak hanya untuk persoalan makan. Mereka mesti menyisihkan pendapatan untuk membiayai kebutuhan sekolah kedua putra mereka, membayar tagihan listrik, mengangsur cicilan motor, hingga menangung gaya hidup sang istri yang kadang hanyut dalam pertarungan gengsi dengan ibu-ibu yang lain.

Waktu bergulir cepat. Dengan sukarela, Kiman akhirnya selesai menyiapkan hidangan di ruang dapur. Ia menyajikan nasi, sayur, dan tentu saja ayam goreng racikannya sendiri. Hingga akhirnya, lewat tengah hari, istrinya datang bersama anak bungsunya. Keduanya pun terkejut dan terheran setelah menyaksikan hidangan lengkap di atas meja. 

"Wah, ada ayam goreng!" seru sang anak. Tampak sangat senang. 

Sang istri pun terperangah. "Bapak beli ayam goreng di mana? Banyak benar."

Kiman lantas tersenyum. “Aku goreng sendiri, Bu.”

Seketika, sang istri terkagum. “Tumben Bapak perhatian begini.”

Dengan perasaan terpuji, Kiman tertawa pendek. "Ya, meskipun kita bukan orang kaya, sekali-kali, kita juga perlu makan enak."

Mereka bertiga lalu duduk dan mulai menyendok makanan dengan antusias, kemudian bersantap tanpa menunggu sang anak sulung yang memang sering pulang terlambat. 

"Ah, enaknya," turut sang anak bungsu. "Bapak ternyata jago buat ayam goreng."

Kiman pun merasa senang. 

"Ini ayam kampung, ya?" tanya sang istri, penasaran.

Kiman mengangguk, lantas menyendok nasi ke dalam di mulutnya. 

"Bapak beli ayamnya di mana?" selidik sang istri.

Setelah sekian detik mengunyah sembari memikirkan balasan, Kiman lalu menelan kunyahannya, kemudian berkilah, "Beli di pasar, Bu."

"Bapak dapat harga berapa?" ulik sang istri lagi. 

Kiman lantas meneguk air, lalu menanggapi dengan sikap menggoda, "Ah, Ibu tak usah tahu soal harganya. Yang pasti, lebih mahal ketimbang ayam potong. Tetapi demi menyenangkan Ibu dan anak-anak, itu bukan masalah."

Sang istri pun mendengkus gemas. "Semoga kemurahan hati Bapak bukan hanya hari ini." 

Kiman sontak tergelak. 

Untuk beberapa lama, mereka terus saja berkhidmat menyantap hidangan dengan lauk ayam goreng itu, sampai mereka benar-benar kenyang. 

Dan pada sisi lain, Nardi, sang penabrak ayam kampung santapan Kiman sekeluarga, tengah berada di tengah perjalanan menuju ke kantor istrinya. Pagi tadi, mereka memang telah bersepakat untuk makan siang bersama dengan menu terbaik demi merayakan hari ulang tahun pernikahan mereka. Apalagi, mereka memang jarang makan siang bersama di luar rumah di tengah kesibukan mereka sebagai pegawai kantoran. 

Makan mewah di tempat yang istimewa untuk merayakan hari spesial, jelas tidak memberatkan bagi Nardi dan istrinya. Ia adalah seorang pegawai negeri yang menjabat bendahara pengeluaran di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota, sedangkan istrinya adalah pegawai di sebuah perusahaan alih daya. Dengan begitu, keuangan mereka sangat berdaya untuk sekadar membayar tagihan makanan yang lezat, bahkan jika mereka mengulanginya setiap hari. 

Tak lama berselang, dengan perasaan antusias, Nardi tiba di kantor istrinya. 

Dalam sekejap, istrinya kemudian datang dan lekas masuk ke dalam mobil dengan raut berseri-seri. "Jadi, kita akan makan di mana, Pak?" tanyanya seketika. 

"Ibu saja yang pilih," balas Nardi. 

Sang istri lalu berpikir-pikir, kemudian menyarankan, "Bagaimana kalau di Rumah Makan Yopi? Aku dengar-dengar, menu di sana enek-enak."

Nardi lantas menimbang-nimbang, kemudian menggeleng-geleng. "Ibu cari yang lain, deh. Aku rasa, sajian di rumah makan itu tidak higienis. Lokasinya tepat di pinggir jalan raya, sehingga debu-debu bisa bertebaran di atas makanan. Itu bisa bikin sakit."

Sang istri pun mengangguk-angguk sepaham. "Bagaimana kalau di Restoran Kliss?" tawarnya lagi.

Nardi mendengkus. "Aku kira, di situ juga tidak baik. Itu restoran untuk para wisatawan asing. Pemiliknya bule. Aku khawatir sajian makanannya tidak halal."

Akhirnya, sang istri jadi bingung. Ia lalu balas meminta pendapat, "Jadi bagusnya di mana, dong, Pak?"

Nardi balik berpikir-pikir. Sampai akhirnya, ia mengusulkan, “Bagusnya sih di Restoran Kaffah. Di sana, menunya lezat-lezat dengan cita rasa Timur Tengah. Di sana ada sajian daging domba dengan beragam racikan. Bisa dipastikan, makanan di sana baik dan halal. Bagaimana?"

Sang istri pun tersenyum. "Sepertinya, itu pilihan yang tepat."

Nardi lantas tergelak senang. Ia lalu menyalakan mobil, kemudian melaju ke restoran yang ia maksud. Ia seolah tidak sabar untuk segera bersantap dengan berbekal uang komisi yang ia dapatkan dari kantornya. Sejumlah uang yang ia peroleh sebagai bagian dari hasil pemangkasan terselubung terhadap akumulasi jatah gaji para petugas kebersihan yang telah ia serahkan kepada perusahaan alih daya tempat istrinya bekerja. Sebuah tindakan yang memotong pendapatan para penyapu jalanan, termasuk Kiman.***

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Makanan Haram

Trending Now