Banner Iklan

Mengintip Ambiguitas di Balik Syal Ungu Cinderela

Zikir Air Mata
04 Desember 2021 | 17.51 WIB Last Updated 2021-12-04T16:21:08Z

 



ARTIKEL I JATIMSATUNEWS - "Mas, ayo kolab puisi!"

Sebuah suara cempreng menggedor jendelaku siang itu. Begitu nyaring, meski ada getar kepedihan yang sedikit berdesir di antara desah napasnya. 

"Duh! aku sudah kehilangan kemampuan menulis puisi, Nyu," jawabku datar. 

Bukan sekadar jawaban 'klise' sebagai sebuah penolakan. Lebih dari itu, karena sejatinya waktu telah merampas benih-benih aksara dari ladangku. Jangankan untuk menumbuhkan rerimbun puisi, tunas kecil pun tidak. 

"Biasa!" rajuknya. Tetap seperti masa kukenal mula. 

"Bener, Nyu--"

"Ya wes, ini saja tolong dibaca!" ujarnya sembari melempar selembar kertas  yang telah kusam. Lalu ngacir sambil 'nyincing' dasternya yang kedodoran. 

Untuk sesaat aku tertegun. Setelah sekian lama berlalu, masih saja ada orang edan yang menganggapku bisa puisi. Duh! 

Setengah malas kupungut kertas kusam itu. Kubuka pelan, lalu kueja satu demi satu setiap kata yang terpampang. Deg! jantung ini serasa sejenak berhenti berdetak. Ada getar entah yang melemparku pada gelombang maha dahsyat di masa lalu. 

****

TAK PERNAH SAMPAI


Menunggu-nunggu hari itu

Waktu serasa lambat


Sebuah pesta ulang tahun digelar

Kurancang kejutan paling debar

Hari itu seorang lelaki tua akan tersenyum menatap langit

Bercerita kepada kekasihnya perihal aral dan ikrar

Sementara benak dihujani kecamuk tanya

Merdukah nyanyian suci dari bibirku nanti

Kau akan menangis bahagia ataukah bersujud pada-Nya

Sepenting itu bagiku segala pikirmu

Lalu ketika sehelai ungu disampirkan

Mungkin mataku yang berkaca

Atas perjuangan paling megah


Menunggu-nunggu hari itu

Tak pernah sampai

Sebab cinta selesai


Hari ini, sewarsa lalu


Sidoarjo, 29 September 2021


Untuk sesaat, aku terjebak pada sebuah labirin rasa yang dengan apik dicipta sahabatku ini. Ada ambiguitas di sana yang begitu kuat namun dibuat 'remang-remang'. Cerdik! 

Lalu, di tengah-tengah untaian aksara+rasa itu aku pun dibuat tertegun. Mendapati sebuah 'frasa' pengakuan yang mengejutkan. Sekaligus menjadi penanda yang mengukuhkan entitas dirinya yang misterius dalam balutan semangat bergerak dan tetap menjaga independensi diri. 

Baiklah, akan kucoba menerobos relung di dadanya, menyusuri pengapnya lorong yang dipenuhi anyir darah dari luka sewarsa. Demi mencari telaga nir-dasar sekadar untukku belajar berenang, menyelam.

'Menunggu-nunggu hari itu

Waktu serasa lambat'

Sahabatku mengawali baitnya dengan  dua kalimat sederhana yang biasa. Tentang menunggu yang jamak dipahami dan dirasakan setiap insan sebagai sebuah kegiatan membosankan dan menjenuhkan. Praktis, membuat putaran waktu kerap dirasa lambat. Tersebab rasa jemu yang mencengkeram hati juga pikiran. 

Tapi tidak demikian saat kalimat itu diulang kembali usai sekian waktu berlalu. Bahkan setelah dua warsa berlalu. 

Menjadi luar biasa, karena aktivitas menunggu itu kembali terulang dalam puzzle kenangan. Menjadi begitu berat, tersebab rasa jenuh itu kemudian berjalin erat dengan kekecewaan, luka, kepedihan, juga keinginan untuk bisa mengulang peristiwa dengan ending bahagia. Spektrum rasa yang terus berkelebat mewarnai perjalanan hidup dari asal peristiwa hingga saat puisi itu ditulis. Bahkan setelah sekian waktu berlalu sesudahnya. 

Untuk selanjutnya, sahabatku menggambarkan sedikit detail peristiwa  dari sebuah penantian. Ulang tahun. Entah ulang tahun dirinya, tokoh kedua yang ditunggu atau entah ulang tahun apa dan siapa. Meskipun bila dilihat dari apa yang disiapkan 'kejutan paling debar'. Bisa jadi dan sangat mungkin itu ulang tahun tokoh kedua. 

Siapa tokoh kedua itu? 'seorang lelaki tua'. Bila berhenti di larik ini. Pembaca mungkin akan terjebak pada 'konklusi' bahwa tokoh ini adalah bapak, atau mungkin tetua dalam keluarga. Sebuah pesan ambiguitas yang entah sengaja dipasang untuk menutupi sebuah kenyataan, atau barangkali sahabatku ini memang sedang sangat jujur. 

Tapi yang jelas. Ada sebuah angan-angan besar tentang reaksi si 'lelaki tua' itu atas kejutan yang diterima. Sahabatku berharap, begitu kejutan itu diterima. Lelaki tua itu akan dengan sendirinya bersyukur pada Tuhan (menatap langit). Lalu, dari rasa syukurnya itu ia akan dengan sangat lapang dan penuh welas bercerita banyak hal. 

Sahabatku begitu melambungkan angan bahwa lelaki tua itu akan memperdengarkan indahnya perjuangan melibas aral, rintangan, untuk sampai pada pelukan kekasihnya. Sahabatku itu. Bahkan, ada sebuah harap dari kehangatan api patriotisme melibas aral akan tercetus sebuah 'ikrar-janji' yang mendamaikan hati. 

Begitu tingginya angan-angan itu dilambungkan. Hingga sahabatku terjebak dalam kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran, dan menghunjami diri dengan  banyak pertanyaan tak terjawab.

Ada rasa takut tentang sejauh mana rasa cinta itu masih terpatri di hati lelaki tua. Hingga membuat sahabatku kehilangan keyakinan atas dirinya. 'merdukah nyanyian suci dari bibirku nanti'. Di sini, sahabatku telah kehilangan kendali. Entah karena begitu beratnya beban kerinduan, atau waktu telah membuatnya ragu hingga tak yakin pada dirinya sendiri. 

Bagaimana bisa ia bertanya kemerduan dari nyanyian suci. Bila itu lahir dari partikel paling murni. Cinta. Karena sejatinya, setiap yang lahir dari kemurnian cinta akan membawa keindahan dan kemerduannya sendiri. Betapapun itu 'cempreng', sumbang, di telinga lain. Bukankah sesuatu yang didengar, dilihat, dari apa yang kita cintai akan selalu tampak indah? kecuali, bila cinta itu memang telah pudar atau bahkan hilang. 

Dalam ketakutan dan kekhawatirannya. Sahabatku masih menyelipkan sebuah harap. Saat lelaki tua itu mendengar apa yang disenandungkan sahabatku. Tentang pernak-pernik hidup, tentang perjuangan mengarungi samudera sendirian, saat lelaki tua itu tak ada di sisinya. Maka lelaki tua itu akan langsung tenggelam dalam haru, memeluk sahabatku sembari menangis sedu antara haru dan bahagia. Keharuan yang mendorong lelaki tua itu bersujud dan memuji Sang Maha Cinta. 

Namun, apa yang diangankan pada ahirnya menguap bersama gelombang awan hitam. Ketakutan dan kekhawatiran itu pada ahirnya menjadi sebuah elegi paling nyeri. Saat pada ahirnya lelaki tua itu memilih 'berpaling' dan menutup semua cerita. 

'Lalu ketika sehelai ungu disampirkan'

Ya, lelaki tua itu memilih helai ungu, memilih menutup semua cerita yang telah tersulam sampai di detik itu. 

Pemilihan 'ungu' dalam puisi ini yang kemudian saya maknai sebagai simpul ahir cerita. Ini sangat menarik. Menarik karena melalui idiom ungu, sahabatku mengakui sebuah kejujuran tentang siapa dan apa status sahabatku itu. 

Ungu dalam bait puisi itu. Jelas menggambarkan pemaknaan dalam budaya sosial bangsa ini. Yang kerapkali memahami makna ungu sebagai sebuah 'kesendirian', baik kesendirian dari awal mula pun kesendirian setelah lepas dari yang membersamai. 

Hal ini tentu dapat terlihat jalas dari frasa-frasa, kalimat-kalimat kausalitas yang terhubung dengan ungu. Lihat larik-larik selanjutnya ; 

'Mungkin mataku yang berkaca

Atas perjuangan paling megah

Menunggu-nunggu hari itu

Tak pernah sampai

Sebab cinta selesai'


Ada tangis, ada sesal atas perjuangan yang sia-sia. Bahkan sebuah penegasan akan usainya sebuah jalinan cinta. 

Tapi bagiku lebih menarik lagi dari sekadar pengakuan status sosial. Lebih dari itu adalah pengukuhan dan justifikasi atas performa diri yang 'misterius'. Ahihihi ....

Sedikit tentang 'ungu'. Konon, warna yang memilki panjang kurang lebih 380 nanometer hingga mudah dikenali oleh penglihatan ini. Pertama kali ditemukan di tahun 1856 oleh seorang pengusaha Inggris, William Henry Perkin (1838-1907), saat itu dikenal dengan nama 'mouvein'.

Dalam khazanah budaya bangsa-bangsa. Ungu ini memiliki ragam penafsiran. Misal kalau di thailand biasa dimaknai sebagai lambang kesedihan, ada pula yang memaknai sebagai lambang kebahagiaan, atau kalau di Indonesia. Budaya kita biasa memaknai ungu sebagai simbol janda atau jomlo. Beda halnya dengan bangsa Fenisia kuno yang memaknai ungu sebagai lambang kebesaran, kebijaksanaan. Karenanya dipakai untuk pakaian kebesaran raja-raja.

Di luar itu semua. Dalam kajian psikologis. Ungu justru mewakili sebuah penggambaran karakter ambisius, independen, penuh gairah, namun misterius. Penyuka warna ungu adalah karakter unik yang menarik. Seperti diriku tentunya sebagai salah satu penyuka warna ungu. Wkwkwkwkwk

Kenapa menjadi penggambaran seperti itu? Karena ungu merupakan warna yang tercipta dari perpaduan 'merah' sebagai lambang karakter yang bersemangat, liar, dan memperhatikan performa diri. Dan  'biru' sebagai simbol kelembutan hati. 

****

Pada ahirnya. Sahabatku menutup luahan rasanya dengan sebuah luka yang mungkin akan lama mengering. Sebuah luka di rongga dada yang akan terus mengalirkan darah. Tersebab sengatan terik dari usainya cinta. Akan terus berjalin erat dengan kenangan pahit di hari itu. 

'Sebab cinta selesai

Hari ini, sewarsa lalu'

Hari ini yang akan terus beranak pinak, akan terus bereinkarnasi dari masa ke masa. Dan saat 'hari ini' itu kembali di warsa ini atau warsa-warsa yang akan datang. Di saat itulah perih luka itu akan kembali terasa.  Allahu a'lam ...


Gresik, 8 Oktober 2021

#Pingkis Sarung Nyari sendal







Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mengintip Ambiguitas di Balik Syal Ungu Cinderela

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now