![]() |
| PT Bernofarm mengantongi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) sejak 1988 |
SIDOARJO, JATIMSATUNEWS.COM – Pernyataan penyidik Unit Tipidter Idik II Satreskrim Polresta Sidoarjo, Bripda Dany Bramaswara, yang menyebut PT Bernofarm mengantongi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) sejak 1988 telah memicu reaksi keras dari pihak warga pelapor.
Warga menilai pernyataan tersebut berpotensi melemahkan laporan mereka, padahal secara hukum, keberadaan SHGB di atas lahan sempadan irigasi yang merupakan kawasan lindung dan aset negara adalah inti masalahnya.
Imam Syafi'i, salah satu warga Desa Karangbong yang menjadi pelapor, mengungkapkan keberatannya terhadap cara pandang penyidik yang terkesan menyamaratakan kedudukan hukum "alas hak".
"Penyelidik terkesan ingin melemahkan laporan kami dengan meminta kami menunjukkan dokumen terkait SHM, IMB, dan SHGB yang dimanipulasi itu," ujar Imam.
"Padahal kami ini pelapor, kami melaporkan dugaan pelanggaran hukum dan administrasi yang dilakukan oleh perusahaan, kenapa malah kami yang dibebani pembuktian kepemilikan mutlak?".
Warga menegaskan bahwa fokus laporan mereka bukanlah sengketa perdata kepemilikan tanah antar individu, melainkan dugaan tindak pidana terkait peralihan fungsi tanah sempadan sungai menjadi hak privat industri.
"Secara yuridis, sempadan irigasi itu kawasan lindung yang tidak bisa jadi hak privat. SHGB itu bukan hak milik mutlak, itu hak terbatas di atas tanah negara. Artinya, perusahaan dan kami sama-sama tidak punya hak milik mutlak.
Kenapa seolah-olah perusahaan kuat karena punya SHGB dan kami lemah karena tidak punya alas hak? Ini logika hukum yang keliru besar," tegas seorang perwakilan warga lainnya.
Argumen Hukum Warga: Aset Negara vs. SHGB Cacat Administrasi
Pihak pelapor berargumen bahwa status lahan sebagai tanah negara/kawasan lindung harus menjadi prioritas dalam penyelidikan, mengacu pada fakta-fakta hukum berikut:
• SHGB di Atas Tanah Negara: Berdasarkan ketentuan yang berlaku, HGB adalah izin untuk menggunakan tanah negara atau hak pengelolaan untuk jangka waktu tertentu. Hak ini tidak memberikan kepemilikan tanah secara permanen.
• Pelanggaran Tata Ruang: Putusan Mahkamah Agung (MA) sebelumnya telah menjadi yurisprudensi di mana SHGB dapat dinyatakan cacat hukum jika lokasinya berada pada peruntukan ruang terbuka hijau atau kawasan lindung lainnya yang dilarang untuk pembangunan.
• Dugaan Manipulasi Data: Warga menduga adanya manipulasi data sejak awal penerbitan sertifikat dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Jika terbukti ada cacat administrasi dalam proses penerbitan, sertifikat tersebut dapat dibatalkan, terlepas dari kapan tahun terbitnya (1988).
Warga kini mendesak Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur untuk turut tangan membongkar dugaan pelanggaran tata ruang ini, mengingat lambatnya proses penyelidikan di tingkat kepolisian daerah dan adanya pembangunan fisik baru tanpa izin di lokasi sengketa.
Mereka berharap agar penyidik merealisasikan rencana koordinasi dengan BPN Sidoarjo dan bekerja secara profesional dan akuntabel.
Dengan terus menempuh jalur hukum dan advokasi, warga berharap agar kasus ini menjadi preseden positif, di mana keadilan ditegakkan secara objektif dan adil bagi semua pihak, menepis anggapan hukum yang diskriminatif.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?