JAKARTA | JATIMSATUNEWS.COM: Hingga 21 Desember 2025, jumlah korban tewas akibat bencana banjir bandang di Sumatera telah mencapai 1.090 orang, lebih dari 3,3 juta jiwa di 50-52 kabupaten/kota terdampak, diantaranya sekitar 1 juta orang terpaksa mengungsi. The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) mengapresiasi langkah dan pernyataan dari Menteri Pemberdayaan dan Pelindungan Anak (PPPA) dan lembaga nasional HAM (Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komisi Nasional Disabilitas) untuk mendorong penghormatan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia dalam penanganan bencana.
KPPPA telah mengeluarkan peringatan mengenai kerentanan perempuan terhadap kekerasan seksual di wilayah bencana dan berkomitmen untuk memastikan negara hadir untuk memberikan perlindungan selama masa darurat. Komnas HAM, menegaskan bahwa pengungsi memiliki hak atas pangan, air bersih, sanitasi, dan tempat tinggal layak tanpa diskriminasi. Komnas Perempuan, mendesak pemerintah untuk memprioritaskan perlindungan hak asasi perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas, termasuk bebutuhan spesifik perempuan dalam penanganan darurat. KPAI menegaskan perlindungan anak dalam situasi bencana besar ini harus diposisikan setara dengan perlindungan dalam situasi darurat lainnya, dan memastikan fasilitas seperti Huntara (Hunian Sementara) memiliki desain yang ramah dan aman bagi anak. KND mendesak penanganan Inklusif dan menekankan pentingnya aksesibilitas di tempat pengungsian, termasuk ketersediaan alat bantu, sanitasi yang aksesibel, serta pendampingan khusus bagi disabilitas yang kehilangan anggota keluarga atau tempat tinggal. ILRC berpendapat pernyataan dan komitmen KPPPA dan LNHAM harus diwujudkan dalam kerangka kerja Pemantauan Bersama Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender (KBG), khususnya kekerasan seksual di wilayah bencana.
Pencegahan KBG dalam penanggulangan bencana telah diatur dalam Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pelindungan Perempuan dan Anak Dari Kekerasan Berbasis Gender Dalam Penanggulangan Bencana. Pelindungan perempuan dan Anak dari KBG dalam penanggulangan Bencana dilakukan dengan pencegahan, pemenuhan hak korban dan penanganan korban KBG dalam penanggulangan Bencana. Pencegahan dilakukan diantaranya melalui: penyiapan logistik kedaruratan, kebutuhan spesifik perempuan, dan kebutuhan khusus Anak; penyediaan, pengembangan, dan diseminasi materi komunikasi, informasi, dan edukasi pencegahan; penyusunan dan/atau penguatan kebijakan penyelenggaraan pencegahan dan penanganan; penyiapan fasilitas umum ramah perempuan dan anak di tempat pengungsian; dan i. penyiapan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi perempuan dan Anak yang memiliki kondisi kerentanan. Kekerasan seksual sebagai bagian dari KBG, instrumen pemantauan dapat mengacu ke Permen Pelindungan KBG pada Penanggulangan Bencana dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
Renata Arianingtyas, Badan Pengurus ILRC menyampaikan koordinasi dan pemantauan pencegahan dan penanganan korban TPKS merupakan mandat dari UU TPKS yang pelaksanaannya telah diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2022 tentang Koordinasi dan Pemantauan Pencegahan dan Penanganan Korban TPKS (PP Koordinasi dan Pemantauan), dan PP No 30 Tahun 2025 Tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (PP 4P). “UU TPKS memberikan perhatian khusus pada upaya pencegahan di situasi khusus dan tempat tertentu. Hal ini didasarkan pada pengalaman korban sebelumnya, bahwa situasi konflik, bencana dan/atau letak geografis meningkatkan kerentanan terjadinya TPKS. Seperti di lokasi pengungsian, perempuan, anak perempuan dan disabiitas akan mendapatkan kerentanan yang berlapis. Bencana ini menjadi ruang bagi Kementerian dan lembaga HAM untuk melaksanakan pencegahan TPKS,” jelasnya.
Merujuk pada PP 4P, pencegahan pada situasi khusus menjadi kewajiban dari kementerian/lembaga yang berwenang menangganinya. Pencegahan mencakup tiga hal utama yaitu: (a) Pengintegrasian materi Pencegahan TPKS dalam kebijakan dan program penanganan konflik, penanggulangan bencana, dan penguatan Pencegahan TPKS berbasis desa; (b) Pemetaan, pendataan, dan pengkajian kondisi dan wilayah terhadap kerentanan terjadinya TPKS, dan (c) Pengupayaan pemenuhan kebutuhan dasar (termasuk kebutuhan spesifik perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan lansia) secara cepat, tepat, dan mudah diakses untuk mencegah TPKS.
Siti Aminah Tardi, Direktur ILRC menyampaikan bahwa PP Koordinasi dan Pemantauan TPKS ini membangun dua pilar utama untuk memastikan UU TPKS dilaksanakan secara sinergis, kolaboratif, berkesinumbangan dan layanan sesuai standar yang ditetapkan. Koordinasi untuk menyatukan langkah-langkah pencegahan, penanganan, pelindungan dan pemulihan dipimpin oleh Menteri PPPA, dan pemantauan untuk mengawasi hasilnya dilakukan oleh lembaga nasional HAM. Sistem pemantauan menjadi dasar untuk memberikan saran dan rekomendasi perbaikan.
“Untuk situasi bencana pemantauan dapat dilakukan oleh masing-masing yaitu oleh Menteri, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI atau KND sesuai dengan tugas fungsi dan kewenangan masing-masing atau dilakukan secara bersama (joint monitoring), antara Menteri dengan lembaga nasional HAM atau dilakukan oleh keempat lembaga nasional HAM secara bersama. Pemantauan bersama akan lebih efektif dan efisien baik dari segi sumber daya, perpektif maupun cara kerja agar sistem pencegahan dapat dipantau sejak awal dan menjadi pijakan mekanisme pemantauan ke depan”, Amik menjelaskan urgensi pemantauan pencegahan TPKS di wilayah bencana.
Berdasarkan hal tersebut, paralel dengan penanganan tanggap darurat dan pemulihan korban bencana, maka kami menuntut agar: Kementerian PPPA melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk mengintegrasikan pencegahan KBG dan TPKS dalam penanganan bencana Sumatera, dan Lembaga nasional HAM melakukan pemantauan bersama untuk memastikan sistem pencegahan, penanganan, pelindungan dan pemulihan korban di wilayah bencana. “Serta melibatkan partipasi bermakna dari komunitas, pendamping dan lembaga layanan dalam melakukan pemantauannya”, pungkas Renata.
Narasumber: Renata Arianingtyas, Siti Aminah Tardi



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?