FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Gerimis
baru saja reda ketika saya dan seorang teman melangkah memasuki halaman
Fakultas Bahasa dan Seni Unesa. Udara malam yang lembap menyapa wajah kami,
membawa aroma tanah basah dan samar-samar suara musik dari kejauhan. Hari itu, tepatnya 14
November 2025, merupakan malam kedua pameran seni Sengkuni 7, acara tahunan
yang sudah lama ingin saya kunjungi. Meski jadwalnya berlangsung sejak pukul
13.00 hingga 21.00, saya baru sempat datang tepat pukul 19.00. Waktu yang bagi
sebagian orang mungkin sudah mulai terlalu malam untuk menikmati sebuah
pameran.
Namun,
dugaan itu langsung terpatahkan saat kami tiba di depan gedung pameran. Di
balik langit malam yang sendu sebab gerimis tidak kunjung berhenti, gedung itu
tetap ramai pengunjung. Lampu-lampu kuning hangat memantul di genangan air,
menciptakan bayangan orang-orang yang berlalu-lalang. Beberapa pengunjung
terlihat membawa tote bag berisi katalog, sebagian lagi memegang kamera sambil
mencari sudut terbaik. Ada juga pasangan yang duduk di tangga sambil berbincang
pelan, menikmati suasana yang terasa akrab meski penuh orang asing.
Begitu
melangkah ke dalam, langkah saya otomatis melambat. Suasana di dalam pameran
terasa berbeda seperti hening, tenang, tapi penuh rasa kagum saat melihat
puluhan karya terpajang di setiap dinding putih. Cahaya putih bercampur sedikit
kuning dari lampu-lampu galeri jatuh tepat pada setiap lukisan, membuat
warnanya tampak lebih dalam daripada yang pernah saya lihat di media sosial.
Ruangan
pertama dipenuhi karya-karya dengan sapuan kuas lembut. Nuansa warnanya berkabut
seperti ingatan yang memudar, tetapi tetap indah. Sementara itu, di sisi kanan
terpajang lukisan-lukisan berani dengan warna beton yang kuat, membuat saya
ingin berhenti dan melihatnya lebih lama. Saya berjalan perlahan, membiarkan
mata saya menyerap satu per satu detailnya. Setiap goresan, setiap warna,
setiap objek, seolah menyimpan emosi yang dituangkan oleh pelukisnya.
Saya terus
berjalan mengikuti arahan dari panita, selanjutnya terdapat satu ruang yang memamerkan
karya artist kids. Saya sempat
tertegun cukup lama di depan salah satu lukisan kecil. Lukisannya memang tampak
sederhana dari karya sebelumnya, tapi goresannya tebal dan penuh keyakinan.
Karya itu terasa lebih jujur menuangkan perasaan daripada diri saya sendiri.
Beberapa
langkah setelahnya, seorang panitia menghampiri kami. “Kak, di sebelah sana ada
patung interaktif. Boleh ditulis atau digambar apa saja, alatnya sudah
disediakan,” katanya sambil tersenyum.
Awalnya
saya hanya tersenyum sopan dengan sedikit rasa keraguan. Kami mengikuti arahan
panitia itu, dan benar saja di ruangan lain berdiri sebuah patung berwarna emas
berukuran tidak terlalu besar dan permukaan yang hampir penuh coretan
warna-warni. Di bagian depan, sudah tidak ada ruang kosong. Namun, ketika saya
melihat sisi belakang, masih ada sisa sedikit ruang untuk menggambar kupu-kupu
kecil.
Setelah
mengelilingi pameran selama hampir satu jam, perasaan yang mengendap di dada
semakin jelas. Saya rindu bisa membuat karya gambar bebas seperti dulu. Sejak
kecil saya sudah tertarik dengan ranah seni dan beberapa kali mengikut lomba
menggambar. Namun, dari usaha itu memang belum pernah membuahkan hasil seperti
yang saya inginkan, tapi setidaknya saya pernah berusaha untuk mewujudkannya.
Namun,
malam itu saya berdiri di antara ratusan karya yang luar biasa justru merasa
lebih dekat dengan impian itu daripada sebelumnya. Ada perasaan yang menyentuh
saya perlahan, bukan dalam bentuk motivasi besar, tetapi dalam bentuk
kehangatan kecil yang sulit dijelaskan. Seperti pergolakan batin yang
mengatakan bahwa tidak apa jika sesuatu itu dimulai dari hal kecil.
Setelah
pulang, perasaan itu masih menetap. Saya membuka laman Instagram untuk sekadar melihat
gambar-gambar lama yang pernah saya unggah. Karya yang saya unggah terbilang
masih sedikit, sebab saya hanya bisa membuatnya di waktu senggang untuk
memastikan hobi ini tidak lenyap begitu saja. Beberapa karyaku terlihat acak karena di potret
dengan hasil berburu waktu, tetapi beberapa tampak tersusun rapi.
Beberapa
hari setelah datang dari pameran seni, saya memposting sebuah sketsa kecil
tanpa ekspektasi apa pun. Hanya ingin menandai bahwa saya masih mempertahankan
hobi itu. Saya tidak menyangka, postingan itu mendapat perhatian dari salah satu
pengikut akun instagram. Satu pesan masuk dari layar pemberitahuan, menampilkan
suatu pertanyaan yang membuat berpikir sejenak.
“Kamu masih
gambar nggak akhir-akhir ini? Aku lihat postinganmu bagus, loh,” tulisnya. Saya
menatap layar ponsel, heran sekaligus senang. Tanpa menunggu lama, ia mengirim
pesan kedua, “bisa bikinin aku gambar bias-ku (idola) nggak. Nggak harus
perfect kok.”
Saya berpikir
beberapa menit untuk memikirkan jawaban atas tawaran mendadak itu, rasa bingung
bercampur senang beradu jadi satu. Disisi lain, saya senang karena ini
merupakan kali pertama mendapat tawaran tersebut, tetapi disatu sisi juga
bingung apakah saya sanggup melakukannya?. Saya bukan ahli dalam bidang ini,
saya hanya merasa senang apabila diberi kesempatan untuk tetap mencoba
mengembangkan hobi tersebut.
“Akan aku
coba, tapi hasilku mungkin belum sebagus artist lain, apa kamu
benar-benar yakin?” tanyaku sekali lagi untuk memastikan. “Nggak apa-apa. Aku
percaya kamu bisa,” ia membalas cepat.
Kalimat itu
mungkin terdengar sederhana, tapi justru kalimat seperti itulah yang seringkali
paling berarti. Ekspetasi dan kepercayaan itu bisa menjadi bahan penyemangat bagi
seseorang yang lama tidak percaya pada kemampuannya sendiri.
Saya
menerima permintaan itu karena bagi saya, itu adalah sesuatu yang lebih dari
sekadar “tawaran pertama”. Itu seperti pintu kecil yang selama ini saya pikir
akan selalu tertutup. Saya mengerjakan gambar itu perlahan, berhati-hati,
memastikan setiap detailnya terasa seperti usaha terbaik saya saat ini. Ketika dia
mengatakan puas dengan hasilnya, ada rasa bangga kecil yang datang. Untuk saat
ini saya tidak menghitung seberapa banyak nominal dari hasil karya yang
dihasilkan, tapi bagaimana usaha untuk mengembalikan impian yang hampir pudar.
Ketika saya
memikirkan lagi perjalanan menuju pameran itu, saya sadar bahwa inspirasi tidak
selalu datang dalam bentuk besar. Kadang hanya berupa sebuah dukungan
sederhana, tetapi langkah-langkah kecil seperti itulah yang sering kali
menentukan arah perjalanan seseorang. Tidak semua orang punya kisah dramatis
untuk diceritakan. Tidak semua perubahan harus dimulai dari hal besar. Sebagian
hasil justru dimulai dari langkah kecil.
Saya tidak
tahu sampai mana langkah ini akan membawa. Mungkin perjalanannya masih panjang,
atau mungkin saya akan kembali ragu. Tidak ada yang tahu pastinya seperti apa, tetapi
untuk saat ini, saya bersyukur karena malam itu telah mengingatkan saya bahwa
impian itu masih ada. Mimpi yang mungkin terkesan kecil, tapi tetap berarti dan
saya akhirnya mengizinkan diri sendiri untuk kembali memulainya lagi.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?