FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Malam itu, 11 Juli 2025 pukul 19.45, sebuah pesan masuk ke ponselku. Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku dinyatakan lolos wawancara dan diterima mengajar di sekolah X. Rasanya seperti mimpi—bahagia, gugup, dan sedikit tak percaya. Lama kutatap layar ponsel sambil berbisik pelan, “Semoga ini jadi awal yang baik.”
Keesokan harinya, Sabtu, 12 Juli, aku datang ke sekolah X untuk menyerahkan berkas lamaran dan CV. Di ruang guru hanya ada lima orang, termasuk kepala sekolah. Suasananya tenang, hanya sesekali terdengar suara para tukang yang sedang membangun dapur di belakang. Dengan hati berdebar aku duduk, mencoba tersenyum meski gugup. Belum ada siswa, namun bagiku suasana sekolah itu sudah terasa seperti tempat baru dengan harapan baru. Siang itu, aku diberi kabar bahwa aku boleh langsung mulai bekerja.
Tugas pertamaku sederhana: membuat poster dan twibbon untuk siswa baru. Meski belum terbiasa, aku berusaha mengerjakannya sebaik mungkin. Sesekali aku meminta pendapat dari seorang guru muda yang usianya hanya terpaut satu tahun denganku—seseorang yang kupikir bisa menjadi teman diskusi yang nyaman.
Aku menunjukkan hasil editanku di layar komputer.
“Mbak, ini ada yang kurang nggak, ya?” tanyaku pelan, berharap mendapat sedikit masukan.
“Nggak,” jawabnya singkat, tanpa menoleh.
Aku tersenyum canggung. Namun beberapa menit kemudian, ia mendekat, mengambil alih komputer yang sedang kupakai, lalu mengganti desain itu begitu saja tanpa sepatah kata pun. Aku hanya bisa menatap layar, menahan getir yang tiba-tiba memenuhi dada. Padahal hari itu adalah hari pertamaku bekerja.
Sore harinya, sekitar pukul 16.30, aku tiba di rumah. Begitu pintu kamar tertutup, air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Aku menangis bukan hanya karena lelah, tetapi karena ekspektasi kecil tentang awal baru yang menyenangkan ternyata tidak terjadi.
Hari-hari berikutnya tidak jauh berbeda. Aku disibukkan dengan tugas dokumentasi—mengambil foto kegiatan, mengedit video, menyusun proposal. Aku berusaha menjalankan semuanya dengan sungguh-sungguh, berharap dapat dianggap sebagai bagian dari tim. Namun setiap kali aku memotret para guru, tidak ada satu pun yang menawarkan gantian mengambil foto diriku. Tidak ada satu pun gambar yang menunjukkan keberadaanku di antara mereka.
Aku tetap tersenyum setiap kali menekan tombol kamera, meski jauh di dalam hati aku merasa sangat sendiri. Bukan karena lelah, tetapi karena rasanya tidak ada yang benar-benar melihatku.
Seminggu kemudian, seorang guru mengusulkan agar aku diberi seragam milik guru yang sudah resign, agar bisa “seragaman” dengan guru-guru lainnya. Guru muda itu pun diminta mengambil baju-baju tersebut. Namun entah mengapa, baju itu tidak pernah sampai ke tanganku. Aku tidak marah, hanya bingung bagaimana hal-hal kecil seperti itu bisa membuatku merasa begitu diabaikan.
Hari demi hari aku tetap datang, tetap bekerja, tetap berusaha. Namun perasaan tidak nyaman itu semakin membesar. Pada akhirnya, aku tahu bahwa aku harus mengambil keputusan.
Sebelum benar-benar memutuskan pergi, aku menyelesaikan semua tugasku. Proposal rapi, video kegiatan selesai, seluruh file dokumentasi sudah kupindahkan ke flashdisk sekolah. Aku tidak ingin meninggalkan beban bagi siapa pun.
Hari itu, aku memberanikan diri berbicara langsung dengan kepala sekolah. Di ruang itu hanya ada kami berdua; guru-guru lain sedang mengajar. Aku berbicara pelan, berusaha menyusun kata sebaik mungkin. Kepala sekolah terdiam lama setelah mendengarkanku. Dari raut wajahnya, aku tahu beliau kecewa. Namun di dalam diriku, ada kekecewaan lain terhadap tempat baru yang kuharapkan menjadi ruang tumbuh, tetapi justru membuatku kehilangan semangat.
Beberapa hari sebelum benar-benar pergi, aku sempat mengajar anak-anak sekali lagi. Pandanganku berkali-kali terhenti di wajah-wajah kecil yang mendengarkan penjelasanku. “Besok aku tidak bisa mengajar kalian lagi,” batinku sambil menahan haru. Setelah kelas selesai, aku duduk sebentar di ruang guru, menatap meja tempat aku biasa bekerja. Sulit rasanya berdiri dan melangkah pergi, tetapi lebih sulit lagi jika aku tetap memaksa bertahan.
Dua hari setelahnya, aku kembali ke sekolah hanya untuk berpamitan. Tidak banyak kata, hanya senyum kecil dan ucapan terima kasih. Aku melangkah pergi dengan tenang, membawa banyak pelajaran yang tidak akan kutemui di buku mana pun.
Beberapa minggu kemudian, kudengar kabar bahwa sudah ada guru baru menggantikanku. Namun tak lama, guru itu pun memutuskan resign. Saat mendengar itu, aku hanya terdiam. Pelan-pelan aku berkata dalam hati, “Mungkin memang bukan hanya aku yang merasa begitu.”
Kini ketika mengingat kembali perjalanan singkat itu, aku tidak lagi kecewa. Justru ada rasa syukur. Aku belajar bahwa tidak semua tempat selaras dengan hati kita—dan itu tidak apa-apa. Dari sekolah X, aku belajar tentang menghargai diri sendiri. Bahwa kadang, pergi bukan berarti kalah.
Kadang, pergi adalah cara paling lembut untuk menjaga hati tetap hidup.
---
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?