Banner Iklan

Langkah dalam Gelap, Cahaya dalam Didik: Kisah Rizal, Guru Tunanetra dari Jombang

Admin JSN
22 November 2025 | 23.39 WIB Last Updated 2025-11-22T16:39:19Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Pagi di Sekolah Luar Biasa Muhammadiyah Jombang selalu dimulai dengan suara langkah yang tenang. Di antara derap kecil para murid, ada satu langkah yang berbeda, langkah yang pasti, mantap, dan penuh arah. Langkah itu milik Rizal Kurniawan Hidayat, guru muda tunanetra yang mengajar bukan dengan mata, melainkan dengan cahaya dari keyakinannya.

Bagi Rizal, dunia memang tak lagi dipenuhi warna. Sejak usia tiga belas tahun, cahaya terakhir dalam matanya padam. Namun ketika gelap datang, bukan kegelapan yang tumbuh, melainkan cahaya lain yang muncul dari dalam dirinya: kesabaran, keberanian, dan keyakinan bahwa pendidikan dapat membuka pintu yang tak terlihat. “Saya sudah low vision sejak lahir, tapi setelah usia tiga belas baru benar-benar totally blind,” ujarnya.

Mengajar bagi Rizal bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa. Di ruang kelas sederhana tempat kursi-kursi kayu berbaris rapi, ia menuntun murid-murid tunanetra menapaki dunia pengetahuan. Setiap suara, tiap langkah, hingga nada kecil saat murid memahami pelajaran menjadi bahasa intim yang ia hafal betul. Ia tidak membutuhkan mata untuk melihat semangat; cukup dari getar suara yang naik turun atau keheningan yang tiba-tiba terasa hangat. Di situlah, menurutnya, keindahan mengajar ditemukan: menafsirkan hal-hal yang tak terlihat, namun begitu terasa.

Saat lelah datang, ia memberi dirinya jeda. “Kalau lelah, ya saya taruh dulu. Biasanya saya me time, lihat TikTok, nyanyi, atau duduk di teras rumah setelah hujan,” katanya. Ia belajar bahwa jeda bukan kelemahan, melainkan cara untuk menjaga nyala yang ia bawa setiap hari.

Rizal tidak ingin dikasihani. Ia hanya ingin diberikan ruang yang sama. “Kami juga sama, tidak perlu sungkan berinteraksi,” pesannya. Bagi Rizal, keterbatasan bukanlah dinding, tetapi jalan lain untuk sampai pada tujuan yang sama.

Namun langkah Rizal bukan hanya untuk hari ini. Ia berjalan sambil membayangkan masa depan, masa depan yang ia ikhtiarkan melalui mimpi besarnya. Ketika ditanya tentang lima hingga sepuluh tahun mendatang, ia menjawab dengan penuh keyakinan, “Mimpi terbesar saya adalah bisa menyelesaikan pendidikan sampai jenjang S3, dan saat itu saya sudah resmi menjadi ASN. Itu target paling besar yang ingin saya capai.”

Di balik gelap penglihatannya, Rizal menyimpan pandangan luas tentang pendidikan yang lebih adil bagi semua.

Sebagai penyandang disabilitas yang merasakan langsung celah sistem, Rizal memaknai pendidikan inklusif sebagai keadilan yang utuh: keadilan memberi hak sesuai kebutuhan dan keadilan yang tidak mengurangi kewajiban. “Kalau kewajiban dikurangi hanya karena disabilitas, itu tidak inklusif,” tegasnya. Inklusivitas, baginya, bukan belas kasihan, melainkan kesetaraan yang sesungguhnya.

Ada satu hal mendasar yang ingin ia ubah dari sistem pendidikan, yaitu adanya tes bakat dan kemampuan sejak awal masuk sekolah. Menurutnya, tes itu penting untuk menentukan apakah seorang anak mampu mengikuti kurikulum umum atau lebih tepat memakai kurikulum SLB.

Jika diberi kesempatan menyusun kurikulum khusus tunanetra, Rizal ingin menempatkan orientasi mobilitas dan kemandirian sebagai materi wajib. Bagi Rizal, anak tunanetra harus belajar berdiri di atas kakinya sendiri sejak kecil. “Itu fondasi hidup,” ujarnya. Dunia nyata, bagaimanapun, bukan tempat yang mudah, dan ia ingin murid-muridnya siap menghadapinya.

Harapan terbesarnya sederhana namun dalam. Ia ingin murid-murid tunanetra tumbuh menjadi pribadi yang inovatif, kreatif, dan pantang menyerah. “Jangan malas. Keluar dari zona nyaman. Hidup tidak seindah yang dibayangkan,” pesannya. Ia ingin mereka tahu bahwa perjalanan menuju bangku kuliah, tempat kerja, dan kehidupan dewasa tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin.

Setiap pagi, ketika langkahnya menyusuri lorong sekolah, Rizal membawa lebih dari sekadar tongkat dan tas kerja. Ia membawa cahaya: cahaya pengalaman, cahaya ilmu, dan cahaya harapan bahwa pendidikan inklusif suatu hari kelak bukan hanya konsep, tetapi kenyataan yang benar-benar dirasakan setiap anak, termasuk mereka yang hidup tanpa penglihatan.

---

Fadhila Nur Usman
Mahasiswa Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Langkah dalam Gelap, Cahaya dalam Didik: Kisah Rizal, Guru Tunanetra dari Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now