FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Pagi di Sekolah
Luar Biasa Muhammadiyah Jombang selalu dimulai dengan suara langkah yang
tenang. Di antara derap kecil para murid, ada satu langkah yang berbeda,
langkah yang pasti, mantap, dan penuh arah. Langkah itu milik Rizal Kurniawan
Hidayat, guru muda tunanetra yang mengajar bukan dengan mata, melainkan dengan
cahaya dari keyakinannya.
Bagi Rizal, dunia
memang tak lagi dipenuhi warna. Sejak usia tiga belas tahun, cahaya terakhir
dalam matanya padam. Namun ketika gelap datang, bukan kegelapan yang tumbuh,
melainkan cahaya lain yang muncul dari dalam dirinya: kesabaran, keberanian,
dan keyakinan bahwa pendidikan dapat membuka pintu yang tak terlihat. “Saya
sudah low vision sejak lahir, tapi setelah usia tiga belas baru benar-benar
totally blind,” ujarnya.
Mengajar bagi
Rizal bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa. Di ruang kelas sederhana
tempat kursi-kursi kayu berbaris rapi, ia menuntun murid-murid tunanetra
menapaki dunia pengetahuan. Setiap suara, tiap langkah, hingga nada kecil saat
murid memahami pelajaran menjadi bahasa intim yang ia hafal betul. Ia tidak
membutuhkan mata untuk melihat semangat; cukup dari getar suara yang naik turun
atau keheningan yang tiba-tiba terasa hangat. Di situlah, menurutnya, keindahan
mengajar ditemukan: menafsirkan hal-hal yang tak terlihat, namun begitu terasa.
Saat lelah datang,
ia memberi dirinya jeda. “Kalau lelah, ya saya taruh dulu. Biasanya saya me
time, lihat TikTok, nyanyi, atau duduk di teras rumah setelah hujan,” katanya.
Ia belajar bahwa jeda bukan kelemahan, melainkan cara untuk menjaga nyala yang
ia bawa setiap hari.
Rizal tidak ingin
dikasihani. Ia hanya ingin diberikan ruang yang sama. “Kami juga sama, tidak
perlu sungkan berinteraksi,” pesannya. Bagi Rizal, keterbatasan bukanlah
dinding, tetapi jalan lain untuk sampai pada tujuan yang sama.
Namun langkah
Rizal bukan hanya untuk hari ini. Ia berjalan sambil membayangkan masa depan,
masa depan yang ia ikhtiarkan melalui mimpi besarnya. Ketika ditanya tentang
lima hingga sepuluh tahun mendatang, ia menjawab dengan penuh keyakinan, “Mimpi
terbesar saya adalah bisa menyelesaikan pendidikan sampai jenjang S3, dan saat
itu saya sudah resmi menjadi ASN. Itu target paling besar yang ingin saya
capai.”
Di balik gelap
penglihatannya, Rizal menyimpan pandangan luas tentang pendidikan yang lebih
adil bagi semua.
Sebagai penyandang
disabilitas yang merasakan langsung celah sistem, Rizal memaknai pendidikan
inklusif sebagai keadilan yang utuh: keadilan memberi hak sesuai kebutuhan dan
keadilan yang tidak mengurangi kewajiban. “Kalau kewajiban dikurangi hanya
karena disabilitas, itu tidak inklusif,” tegasnya. Inklusivitas, baginya, bukan
belas kasihan, melainkan kesetaraan yang sesungguhnya.
Ada satu hal mendasar yang ingin ia ubah dari sistem pendidikan, yaitu adanya tes bakat dan kemampuan sejak awal masuk sekolah. Menurutnya, tes itu penting untuk menentukan apakah seorang anak mampu mengikuti kurikulum umum atau lebih tepat memakai kurikulum SLB.
Jika diberi
kesempatan menyusun kurikulum khusus tunanetra, Rizal ingin menempatkan
orientasi mobilitas dan kemandirian sebagai materi wajib. Bagi Rizal, anak
tunanetra harus belajar berdiri di atas kakinya sendiri sejak kecil. “Itu
fondasi hidup,” ujarnya. Dunia nyata, bagaimanapun, bukan tempat yang mudah,
dan ia ingin murid-muridnya siap menghadapinya.
Harapan
terbesarnya sederhana namun dalam. Ia ingin murid-murid tunanetra tumbuh
menjadi pribadi yang inovatif, kreatif, dan pantang menyerah. “Jangan malas.
Keluar dari zona nyaman. Hidup tidak seindah yang dibayangkan,” pesannya. Ia
ingin mereka tahu bahwa perjalanan menuju bangku kuliah, tempat kerja, dan
kehidupan dewasa tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin.
Setiap pagi,
ketika langkahnya menyusuri lorong sekolah, Rizal membawa lebih dari sekadar
tongkat dan tas kerja. Ia membawa cahaya: cahaya pengalaman, cahaya ilmu, dan
cahaya harapan bahwa pendidikan inklusif suatu hari kelak bukan hanya konsep,
tetapi kenyataan yang benar-benar dirasakan setiap anak, termasuk mereka yang
hidup tanpa penglihatan.
Mahasiswa Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?