Rakor FKDM se-Jawa Timur 2025, Tekankan Solusi Konflik Efektif dan Pencegahan Kerawanan Sosial
SURABAYA | JATIMSATUNEWS.COM:Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Jawa Timur menggelar Rapat Koordinasi dan Pelatihan Kapasitas Pengurus FKDM Kabupaten/Kota se-Jawa Timur pada tanggal 21–23 November 2025 di Hotel Aria Centra Surabaya.
Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Jawa Timur menggelar Rapat Koordinasi dan Pelatihan Kapasitas Pengurus FKDM Kabupaten/Kota se-Jawa Timur pada tanggal 21–23 November 2025 di Hotel Aria Centra Surabaya. Kegiatan ini diikuti para ketua dan sekretaris FKDM dari 38 kabupaten/kota sebagai upaya memperkuat jejaring deteksi dini dan penanganan kerawanan sosial di wilayah Jawa Timur.
Acara dibuka oleh Ketua FKDM Provinsi Jatim, Dr. Listiyono Santoso, SS, M.Hum.
Dihadiri Kepala Bakesbangpol Jatim, Eddy Supriyanto, S.STP., M.PSDM. Dalam berbagai hal, FKDM menekankan pentingnya peran forum strategi ini sebagai garda depan pendeteksian ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) di tengah dinamika masyarakat Jawa Timur yang multikultural.
Ketua FKDM Provinsi Jatim, Dr. Listiyono Santoso, SS, M.Hum
Ketua FKDM Jatim menegaskan bahwa kegiatan ini menjadi momentum menyatukan langkah seluruh pengurus FKDM kabupaten/kota dalam memperkuat sistem kewaspadaan dini di Jawa Timur.
“Kerawanan sosial selalu ada, tetapi bisa dicegah sejak dini. Dengan kolaborasi, data yang akurat, dan analisis yang tepat, kami menjaga kondusivitas Jawa Timur bersama-sama,” tegasnya.
Salah satu sesi yang menarik perhatian peserta adalah materi dari Drs. Bagong Suyanto, M.Si, yang membahas Solusi Konflik yang Efektif serta Kerawanan Sosial di Jawa Timur: Analisis, Pencegahan, dan Penanganan.
Menurutnya, konflik sosial bukanlah sesuatu yang dapat ditiadakan sepenuhnya.
"Konflik itu seperti bara api: kecil tapi potensial. Ia tidak selalu tampak (laten), tapi bisa muncul secara manifest. Yang terpenting adalah bagaimana ia dikelola agar tidak meledak menjadi eksklusif dan destruktif," ujarnya.
Dr. Bagong juga menyampaikan bahwa perbedaan cara berpikir, latar belakang budaya, serta pola interaksi masyarakat sering kali menjadi pemicu kerawanan. Namun, ia menekankan bahwa kerentanan terhadap konflik dapat ditekan apabila masyarakat memiliki ruang perjumpaan dan komunikasi yang cukup.
Dalam paparannya, Drs. Bagong mengulas berbagai peristiwa sensitif yang pernah terjadi di Indonesia—mulai kasus Sunarsih (pekerja rumah tangga), pedagang Madura–Jawa di Sidoarjo, hingga kasus kekerasan majikan–pekerja di Surabaya. Namun, ia menegaskan bahwa Surabaya memiliki daya tahan konflik yang tinggi.
"Secara historis, Surabaya itu kota multikultural. Ada banyak potensi yang terjadi, tetapi tidak meledak. Kuncinya adalah interaksi antar kelompok yang terus terjadi—entah di pasar, sekolah, tempat kerja, atau ruang publik lainnya," jelasnya.
Ia mencontohkan bahwa hubungan antara pekerja dan majikan dari etnis berbeda kerap harmonis bukan semata-mata karena kesamaan budaya, tetapi karena hubungan ekonomi yang saling membutuhkan dan interaksi yang berlangsung lama.
“Ini hubungan lintas sektoral yang harus diperkuat,” ungkapnya.
Salah satu sorotan yang menarik adalah perbedaan pola interaksi antaretnis di Jawa Timur.
Menurutnya,
• Orang Jawa dan Arab relatif mudah bersinergi karena memiliki irisan budaya dan agama.
• Orang Jawa dan Tionghoa lebih sulit menyatu karena pola hidup dan ruang interaksi yang terpaut jauh.
“Orang Tionghoa belanjanya di pusat grosir tertentu, sekolahnya di sekolah tertentu, dan tinggal di kawasan tertentu. Karena jarang berinteraksi, potensi konflik menjadi lebih besar. Tak kenal maka tak sayang,” tuturnya.
Dr Bagong menegaskan, tugas FKDM bukan hanya mendeteksi kerawanan, tetapi juga membangun ruang-ruang interaksi dan dialog.
“Kalau kita ingin Jawa Timur tetap rukun, maka kelompok yang berbeda harus dibuat saling mengenal. Tidak harus sepakat, yang penting saling memahami. Konflik paling sering muncul bukan karena perbedaan, tetapi karena tidak adanya perjumpaan,” ucapnya.
Ia menutup materi dengan pesan,
“Di lapangan nanti, pastikan masyarakat yang berbeda kelompok itu punya ruang untuk berinteraksi. Tak kenal maka tak sayang—dan itu terjadi dalam setiap potensi konflik.”
Selain sesi analisis sosial, peserta juga menerima pelatihan intensif mengenai:
• penyusunan instrumen deteksi kerawanan,
• identifikasi data demografi sosial,
• Pemetaan aktor konflik,
• dinamika interaksi sosial,
• hingga simulasi penilaian kerawanan menggunakan instrumen standar FKDM. Jawab







Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?