FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Di balik pintu gedung
pertemuan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta, seorang pemuda
berdiri dengan langkah yang sedikit gemetar namun mata yang berbinar. Namanya Yuris Izza Maulana, mahasiswa yang
kini menempuh pendidikan di jenjang S2 Universitas Negeri Surabaya dan hari itu
tengah memasuki dunia lebih luas dari
halaman kampus setelah kelulusan di jenjang sebelumnya, yakni Seminar keilmuan
nasional. Kedatangannya bukan sekadar perjalanan geografis dari Surabaya ke
Jakarta, melainkan perjalanan seorang pemuda yang mencoba memberanikan diri di
antara pakar ilmu bahasa.
Perjalanan itu bermula pada bulan Februari, ketika Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengumumkan penyelenggaraan Seminar Leksikografi Indonesia (SLI) 2025
pada 5–8 Agustus 2025. Sebuah forum ilmiah dua tahunan yang menjadi
wadah pertemuan para ahli leksikografi dari seluruh Indonesia. Tahun ini,
seminarnya mengusung tema yang menggugah rasa ingin tahunya, yakni “Leksikografi
dan Kecerdasan Buatan.” Tema yang mempertemukan warisan bahasa dengan masa
depan teknologi.
Kesibukannya saat itu sebagai pemandu wisata, mulai dari
Kawah Ijen, Bali, hingga berbagai destinasi lain, namun tak menghalanginya
untuk meluangkan waktu mencoba hal baru. Di sela waktu yang ia punya, ia
memberanikan diri mendaftar Seminar Leksikografi Indonesia, meski tanpa menaruh
harapan besar. Makalahnya ia kirimkan dengan niat “coba dulu,” sadar bahwa para
pendaftar lain banyak yang berpengalaman. “Aku ini baru nyemplung,” ujarnya
sambil bercanda.
Tuhan kadang menyimpan kejutan dalam proses yang sederhana
karena dari lebih seratus pendaftar, hanya 27 orang yang terpilih sebagai
pemakalah. Saat daftar diumumkan, ia hampir menyerah karena tak menemukan
namanya di urutan abjad, sebelum akhirnya melihat namanya tersembunyi di bagian
tengah berkas. Ia terdiam sejenak, lalu senyum syukur perlahan terlintas. Pada
seminar tersebut, ia memaparkan makalah mengenai pengembangan website
kamus dwibahasabahasa Indonesia ke bahasa Jawa dengan dua dialek, yakni dialek
Arekan Surabaya dan Osing dari Banyuwangi yang dirinya buat. Melalui karyanya,
ia ingin ikut melestarikan bahasa daerah asalnya di Banyuwangi sekaligus memperkenalkan
kekayaan bahasa Jawa Timur, termasuk Surabaya tempat ia menempuh pendidikan.
Ia berangkat sendiri dari Surabaya, tiba di Jakarta pada
Selasa pagi. SLI 2025 dibuka pukul 13.00 WIB oleh Kepala Badan Bahasa, Hafidz
Muksin, disertai jajaran lembaga bahasa lainnya. Ruangan itu dipenuhi para
akademisi dan praktisi bahasa dari berbagai daerah. Ada professor, dosen
senior, mahasiswa, dan pemerhati bahasa lainnya. Yuris tersenyum gugup. “Rasanya seperti semut
di antara orang-orang besar,” tuturnya kemudian.
Hari yang paling menegangkan sekaligus menentukan tiba pada
Rabu siang, saat ia dijadwalkan menjadi pemakalah. Ia berdiri bersama tiga
pemateri lain, dipandu seorang moderator. Presentasi berlangsung di hadapan peserta
yang bukan hanya luas, tetapi juga matang secara keilmuan. Ada tatapan kritis,
ada kepala-kepala bijak yang mengangguk pelan, ada tangan-tangan yang siap
mengangkat pertanyaan mendalam. Namun justru itulah yang membuatnya tumbuh. Ia
memaparkan penelitiannya dengan tenang, menjawab pertanyaan dengan hati-hati,
dan menyimak setiap masukan dari para senior.
Diskusi berlangsung hangat dan penuh keterbukaan. Seorang
guru seni budaya dari Bandung berbagi pengalamannya, sementara peserta dari
Balai Bahasa NTT mengajak Yuris berbicara lebih panjang selepas sesi.
“Lingkungannya enak, mereka banyak memberi timbal balik,” ujarnya dengan wajah
berbinar. Di ruang itu, ia merasa dihargai, ditantang, sekaligus didorong untuk
terus belajar.
SLI bukan hanya wadah presentasi, tetapi juga ruang
bertumbuh. Yuris menyerahkan tiga aksi akademik, berdiskusi tentang tindak
lanjut penelitian, dan ikut mengamati pembacaan makalah dari pemakalah lain. Di
sela-sela sesi, ia mencatat ide-ide baru, mengumpulkan keberanian dalam
percakapan, dan menyerap wawasan dari para ahli. Ia merekam semuanya seperti
seseorang yang baru saja menemukan peta baru dalam hidupnya.
Pada penutupan seminar, Yuris ditetapkan sebagai anggota Perkamusi, sebuah organisasi keilmuan
yang menaungi bidang perkamusan dan leksikografi nasional. Masa bakti dua tahun
yang akan membawanya pada jejaring penelitian yang lebih luas. Yuris tidak
pernah membayangkan bahwa keberanian mengirim satu makalah beberapa bulan
sebelumnya akan membawanya ke titik ini.
Ketika ia pulang ke Surabaya, perasaannya jauh lebih penuh.
Penuh pengalaman, penuh keyakinan, penuh bangga terhadap diri sendiri. Ia
memahami bahwa panggung keilmuan bukan hanya milik mereka yang sudah lama
berdiri di atasnya. Panggung itu juga menyimpan tempat bagi mereka yang berani
melangkah, meski langkah pertamanya kecil, ragu, atau gemetar.
Perjalanan Yuris Izza Maulana di SLI 2025 bukan hanya
tentang menjadi pemakalah. Ini adalah kisah tentang keberanian menjejak,
keindahan belajar, dan menemukan diri di tengah lautan ilmu. Bahwa dalam dunia
bahasa yang luas dan terus berkembang, ia kini berada di dalamnya—bukan lagi
sebagai penonton, tetapi sebagai bagian dari cerita.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?