FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Pagi
itu, matahari baru saja naik di langit Lamongan. Udara pagi terasa segar,
berpadu dengan hiruk-pikuk siswa berseragam abu-abu khas sekolah kejuruan.
Itulah hari pertamaku menjalani Program Pengenalan Lapangan Persekolahan (PLP)
di SMK Negeri 2 Lamongan, sebuah sekolah yang dikenal dengan semangat kerja
keras dan inovasi teknologinya.
Langkahku
terasa mantap, meskipun dalam hati ada perasaan gugup yang sulit dijelaskan.
Aku bukan lagi sekadar mahasiswa yang duduk di bangku kuliah, tetapi kini
berdiri di sisi lain ruang belajar sebagai calon pendidik. Bersama rekan-rekan
mahasiswa PLP lainnya, aku disambut hangat oleh kepala sekolah dan para guru
pamong di ruang guru.
Hari
itu, aku mendapat penempatan untuk mengajar di beberapa kelas, yaitu X TITL 1
(Teknik Instalasi Tenaga Listrik), X TEI 1 (Teknik Elektronika Industri), X TB
(Tata Busana), XI TKI (Teknik Kimia Industri), dan XI TMK (Teknik Mekatronika).
Mendengar daftar kelas tersebut, aku sempat terdiam. Setiap jurusan tentu
memiliki karakter siswa yang berbeda. Dalam hati aku berkata, ini akan menjadi
pengalaman yang penuh tantangan sekaligus pembelajaran berharga.
Minggu
pertama di SMK Negeri 2 Lamongan menjadi masa adaptasi yang penuh warna. Di
kelas X TITL 1, suasana belajar terasa hidup siswa-siswanya sangat aktif dan
energik. Sementara di X TEI 1, mereka tampak lebih tenang dan sistematis. Di
kelas X TB, suasana terasa berbeda karena didominasi siswi yang sopan, kreatif,
dan antusias ketika pelajaran dikaitkan dengan dunia desain dan komunikasi.
Namun,
tantangan sesungguhnya mulai terasa ketika aku memasuki kelas XI TKI (Teknik
Kimia Industri) dan XI TMK (Teknik Mekatronika). Kedua jurusan ini memiliki
karakter siswa yang sangat berbeda. Siswa TKI dikenal teliti, analitis, dan
fokus pada konsep-konsep ilmiah. Sebaliknya, siswa TMK lebih ekspresif,
kreatif, dan menyukai penjelasan yang disertai contoh konkret.
Pada
awalnya, aku cukup kesulitan menyesuaikan gaya mengajar untuk dua karakter
kelas yang berbeda tersebut. Namun, dari situlah aku belajar bahwa seorang guru
harus fleksibel, mampu beradaptasi dengan karakter siswa agar proses
pembelajaran berjalan efektif.
Tantangan
terbesarku selama menjalani PLP adalah membangun komunikasi dan kedekatan
dengan siswa. Tidak semua siswa langsung menerima kehadiran mahasiswa PLP
sebagai guru pendamping. Beberapa bersikap acuh, sementara yang lain mencoba
menguji kesabaranku dengan candaan atau pertanyaan spontan.
Pernah
suatu kali, di kelas XI TMK, suasana belajar terasa santai. Ketika aku sedang
menjelaskan materi tentang komunikasi di dunia kerja, salah satu siswa di
barisan belakang berseru sambil tertawa.
“Mas,
gaya ngomongnya mirip Mas Gibran, lho! Tenang tapi nyelekit!”
Kelas
pun sontak riuh oleh tawa. Aku ikut tersenyum dan menjawab,
“Wah,
kalau mirip cara berpikirnya Mas Gibran tidak apa-apa, tapi semoga cara
mengajarnya tetap lebih menarik, ya.”
Seketika
suasana kelas mencair. Sejak saat itu, mereka sering bercanda memanggilku “Mas
Gibran”, tetapi hubungan kami justru menjadi lebih akrab. Kelas yang sebelumnya
agak ramai kini lebih fokus, dan mereka tidak segan bertanya atau berdiskusi
selama pembelajaran berlangsung.
Sementara
itu, di kelas XI TKI, suasananya lebih serius dan penuh konsentrasi. Aku
mengajak siswa berdiskusi tentang komunikasi di lingkungan industri kimia.
Awalnya, kelas terasa sunyi. Namun, setelah aku memberikan contoh kasus nyata
di pabrik kimia, suasana perlahan berubah. Satu per satu siswa mulai
berpendapat dan menyampaikan pandangannya. Diskusi itu berkembang menjadi
pembahasan yang menarik tentang keselamatan kerja, kerja sama tim, dan etika
profesional di dunia industri.
Dari
pengalaman tersebut, aku belajar bahwa mengajar bukan hanya menyampaikan
materi, tetapi juga membangun hubungan dan menciptakan ruang belajar yang
menyenangkan.
Satu
hal yang paling berkesan selama PLP adalah semangat dan keasyikan siswa SMK
dalam mengikuti pembelajaran. Meskipun terkadang mereka tampak santai dan suka
bercanda, sebenarnya mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi serta semangat
belajar yang luar biasa.
Aku
sering melihat siswa XI TMK bekerja sama dengan antusias saat praktik di
bengkel. Suara alat, tawa kecil, dan percakapan ringan membuat suasana kelas
terasa hidup. Mereka tidak hanya belajar teori, tetapi juga menikmati proses
mencoba, gagal, lalu memperbaiki hasilnya. Bagi mereka, belajar bukan sekadar
kewajiban, tetapi bagian dari keseharian yang menyenangkan.
Sementara
itu, siswa XI TKI memiliki keasyikan tersendiri. Mereka tekun dan teliti,
terutama saat berdiskusi mengenai eksperimen atau analisis data. Walau
terkadang suasana kelas terlihat tenang, sebenarnya di balik keseriusan itu ada
rasa bangga setiap kali mereka berhasil memahami konsep sulit.
Hal
yang membuatku semakin terkesan adalah kedekatan yang terjalin. Lambat laun,
aku tidak lagi merasa seperti guru yang berjarak, melainkan seperti kakak atau
teman bagi mereka. Kami sering bercanda di sela-sela pelajaran, berbagi cerita
tentang sekolah, hingga saling memberi semangat menjelang ujian praktik.
Bagi
mereka, aku bukan hanya pembimbing, tetapi juga pendengar. Dan bagi diriku,
mereka bukan lagi sekadar peserta didik, melainkan teman belajar yang
mengajarkan arti kesederhanaan, kerja keras, dan kebersamaan. Hubungan itulah
yang membuat setiap hari di SMK Negeri 2 Lamongan terasa hangat dan
menyenangkan.
Selama
menjalani PLP, aku banyak belajar tentang makna sebenarnya dari menjadi seorang
pendidik. Dari para guru pamong, aku memahami bahwa mengajar bukan hanya soal
ilmu, tetapi juga soal ketulusan dan kesabaran. Guru yang baik bukan hanya yang
mampu menjelaskan materi dengan jelas, tetapi juga yang mampu mendengarkan,
memahami, dan membimbing dengan hati.
Aku
juga belajar tentang pentingnya empati. Tidak semua siswa datang ke sekolah
dengan semangat yang sama. Ada yang membawa masalah dari rumah, ada yang
kehilangan motivasi, namun tetap berusaha hadir dan belajar. Melihat hal itu,
aku sadar bahwa tugas seorang guru adalah menjaga semangat mereka agar tidak
padam.
Dari
pengalaman ini, aku belajar bahwa dunia pendidikan bukan hanya tentang memberi
nilai, melainkan tentang menumbuhkan manusia. Setiap pertemuan di kelas, setiap
tawa, dan setiap kesulitan yang dihadapi bersama adalah bagian dari proses
tumbuh, baik bagi siswa maupun bagi diriku sendiri sebagai calon pendidik.
Aku
mungkin belum menjadi guru sepenuhnya, tetapi dari PLP ini, aku menemukan makna
yang lebih dalam: bahwa menjadi guru berarti menyalakan cahaya dalam diri orang
lain, sekaligus menemukan cahaya dalam diri sendiri.
Program
PLP di SMK Negeri 2 Lamongan bukan sekadar tugas akademik, melainkan perjalanan
menemukan jati diri sebagai calon pendidik. Dari ruang kelas X TITL 1 hingga XI
TMK, aku belajar bahwa mengajar adalah seni menyentuh hati dan menyalakan semangat
dalam diri peserta didik.
Kini
aku memahami bahwa menjadi guru bukan sekadar profesi, tetapi panggilan hati.
Setiap tawa, setiap ucapan terima kasih, dan bahkan setiap candaan “Mas Gibran”
dari para siswa menjadi bagian dari perjalanan menuju cita-cita besar menjadi
pendidik yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai
kehidupan.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?