Banner Iklan

Menemukan Cahaya di Ruang Kelas: Kisah Seru PLP di SMK Negeri 2 Lamongan

Admin JSN
26 November 2025 | 10.02 WIB Last Updated 2025-11-26T03:02:49Z

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Pagi itu, matahari baru saja naik di langit Lamongan. Udara pagi terasa segar, berpadu dengan hiruk-pikuk siswa berseragam abu-abu khas sekolah kejuruan. Itulah hari pertamaku menjalani Program Pengenalan Lapangan Persekolahan (PLP) di SMK Negeri 2 Lamongan, sebuah sekolah yang dikenal dengan semangat kerja keras dan inovasi teknologinya.

Langkahku terasa mantap, meskipun dalam hati ada perasaan gugup yang sulit dijelaskan. Aku bukan lagi sekadar mahasiswa yang duduk di bangku kuliah, tetapi kini berdiri di sisi lain ruang belajar sebagai calon pendidik. Bersama rekan-rekan mahasiswa PLP lainnya, aku disambut hangat oleh kepala sekolah dan para guru pamong di ruang guru.

Hari itu, aku mendapat penempatan untuk mengajar di beberapa kelas, yaitu X TITL 1 (Teknik Instalasi Tenaga Listrik), X TEI 1 (Teknik Elektronika Industri), X TB (Tata Busana), XI TKI (Teknik Kimia Industri), dan XI TMK (Teknik Mekatronika). Mendengar daftar kelas tersebut, aku sempat terdiam. Setiap jurusan tentu memiliki karakter siswa yang berbeda. Dalam hati aku berkata, ini akan menjadi pengalaman yang penuh tantangan sekaligus pembelajaran berharga.

Minggu pertama di SMK Negeri 2 Lamongan menjadi masa adaptasi yang penuh warna. Di kelas X TITL 1, suasana belajar terasa hidup siswa-siswanya sangat aktif dan energik. Sementara di X TEI 1, mereka tampak lebih tenang dan sistematis. Di kelas X TB, suasana terasa berbeda karena didominasi siswi yang sopan, kreatif, dan antusias ketika pelajaran dikaitkan dengan dunia desain dan komunikasi.

Namun, tantangan sesungguhnya mulai terasa ketika aku memasuki kelas XI TKI (Teknik Kimia Industri) dan XI TMK (Teknik Mekatronika). Kedua jurusan ini memiliki karakter siswa yang sangat berbeda. Siswa TKI dikenal teliti, analitis, dan fokus pada konsep-konsep ilmiah. Sebaliknya, siswa TMK lebih ekspresif, kreatif, dan menyukai penjelasan yang disertai contoh konkret.

Pada awalnya, aku cukup kesulitan menyesuaikan gaya mengajar untuk dua karakter kelas yang berbeda tersebut. Namun, dari situlah aku belajar bahwa seorang guru harus fleksibel, mampu beradaptasi dengan karakter siswa agar proses pembelajaran berjalan efektif.

Tantangan terbesarku selama menjalani PLP adalah membangun komunikasi dan kedekatan dengan siswa. Tidak semua siswa langsung menerima kehadiran mahasiswa PLP sebagai guru pendamping. Beberapa bersikap acuh, sementara yang lain mencoba menguji kesabaranku dengan candaan atau pertanyaan spontan.

Pernah suatu kali, di kelas XI TMK, suasana belajar terasa santai. Ketika aku sedang menjelaskan materi tentang komunikasi di dunia kerja, salah satu siswa di barisan belakang berseru sambil tertawa.

“Mas, gaya ngomongnya mirip Mas Gibran, lho! Tenang tapi nyelekit!”

Kelas pun sontak riuh oleh tawa. Aku ikut tersenyum dan menjawab,

“Wah, kalau mirip cara berpikirnya Mas Gibran tidak apa-apa, tapi semoga cara mengajarnya tetap lebih menarik, ya.”

Seketika suasana kelas mencair. Sejak saat itu, mereka sering bercanda memanggilku “Mas Gibran”, tetapi hubungan kami justru menjadi lebih akrab. Kelas yang sebelumnya agak ramai kini lebih fokus, dan mereka tidak segan bertanya atau berdiskusi selama pembelajaran berlangsung.

Sementara itu, di kelas XI TKI, suasananya lebih serius dan penuh konsentrasi. Aku mengajak siswa berdiskusi tentang komunikasi di lingkungan industri kimia. Awalnya, kelas terasa sunyi. Namun, setelah aku memberikan contoh kasus nyata di pabrik kimia, suasana perlahan berubah. Satu per satu siswa mulai berpendapat dan menyampaikan pandangannya. Diskusi itu berkembang menjadi pembahasan yang menarik tentang keselamatan kerja, kerja sama tim, dan etika profesional di dunia industri.

Dari pengalaman tersebut, aku belajar bahwa mengajar bukan hanya menyampaikan materi, tetapi juga membangun hubungan dan menciptakan ruang belajar yang menyenangkan.

Satu hal yang paling berkesan selama PLP adalah semangat dan keasyikan siswa SMK dalam mengikuti pembelajaran. Meskipun terkadang mereka tampak santai dan suka bercanda, sebenarnya mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi serta semangat belajar yang luar biasa.

Aku sering melihat siswa XI TMK bekerja sama dengan antusias saat praktik di bengkel. Suara alat, tawa kecil, dan percakapan ringan membuat suasana kelas terasa hidup. Mereka tidak hanya belajar teori, tetapi juga menikmati proses mencoba, gagal, lalu memperbaiki hasilnya. Bagi mereka, belajar bukan sekadar kewajiban, tetapi bagian dari keseharian yang menyenangkan.

Sementara itu, siswa XI TKI memiliki keasyikan tersendiri. Mereka tekun dan teliti, terutama saat berdiskusi mengenai eksperimen atau analisis data. Walau terkadang suasana kelas terlihat tenang, sebenarnya di balik keseriusan itu ada rasa bangga setiap kali mereka berhasil memahami konsep sulit.

Hal yang membuatku semakin terkesan adalah kedekatan yang terjalin. Lambat laun, aku tidak lagi merasa seperti guru yang berjarak, melainkan seperti kakak atau teman bagi mereka. Kami sering bercanda di sela-sela pelajaran, berbagi cerita tentang sekolah, hingga saling memberi semangat menjelang ujian praktik.

Bagi mereka, aku bukan hanya pembimbing, tetapi juga pendengar. Dan bagi diriku, mereka bukan lagi sekadar peserta didik, melainkan teman belajar yang mengajarkan arti kesederhanaan, kerja keras, dan kebersamaan. Hubungan itulah yang membuat setiap hari di SMK Negeri 2 Lamongan terasa hangat dan menyenangkan.

Selama menjalani PLP, aku banyak belajar tentang makna sebenarnya dari menjadi seorang pendidik. Dari para guru pamong, aku memahami bahwa mengajar bukan hanya soal ilmu, tetapi juga soal ketulusan dan kesabaran. Guru yang baik bukan hanya yang mampu menjelaskan materi dengan jelas, tetapi juga yang mampu mendengarkan, memahami, dan membimbing dengan hati.

Aku juga belajar tentang pentingnya empati. Tidak semua siswa datang ke sekolah dengan semangat yang sama. Ada yang membawa masalah dari rumah, ada yang kehilangan motivasi, namun tetap berusaha hadir dan belajar. Melihat hal itu, aku sadar bahwa tugas seorang guru adalah menjaga semangat mereka agar tidak padam.

Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa dunia pendidikan bukan hanya tentang memberi nilai, melainkan tentang menumbuhkan manusia. Setiap pertemuan di kelas, setiap tawa, dan setiap kesulitan yang dihadapi bersama adalah bagian dari proses tumbuh, baik bagi siswa maupun bagi diriku sendiri sebagai calon pendidik.

Aku mungkin belum menjadi guru sepenuhnya, tetapi dari PLP ini, aku menemukan makna yang lebih dalam: bahwa menjadi guru berarti menyalakan cahaya dalam diri orang lain, sekaligus menemukan cahaya dalam diri sendiri.

Program PLP di SMK Negeri 2 Lamongan bukan sekadar tugas akademik, melainkan perjalanan menemukan jati diri sebagai calon pendidik. Dari ruang kelas X TITL 1 hingga XI TMK, aku belajar bahwa mengajar adalah seni menyentuh hati dan menyalakan semangat dalam diri peserta didik.

Kini aku memahami bahwa menjadi guru bukan sekadar profesi, tetapi panggilan hati. Setiap tawa, setiap ucapan terima kasih, dan bahkan setiap candaan “Mas Gibran” dari para siswa menjadi bagian dari perjalanan menuju cita-cita besar menjadi pendidik yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai kehidupan.

---

Muhammad Rafly Putra Ahmi
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menemukan Cahaya di Ruang Kelas: Kisah Seru PLP di SMK Negeri 2 Lamongan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now