Banner Iklan

Evaluasi Arah Demokrasi Pasca Pilpres 2024: Dari Rekonsiliasi Menuju Kooptasi?

M. Kholilur Rohman
12 November 2025 | 23.27 WIB Last Updated 2025-11-12T16:27:03Z

 

Sumber foto: Kota Depok

Penulis: Siti Anisa Fatmawati

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran menjadi momen penting untuk menilai arah demokrasi Indonesia pasca Pemilu 2024. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang konsolidasi kedaulatan rakyat justru menyisakan sejumlah catatan kritis, terutama terkait proses politik pasca-kontestasi. Upaya rekonsiliasi nasional yang semula dipuji sebagai langkah pemersatu bangsa kini justru menimbulkan pertanyaan, apakah rekonsiliasi itu bermakna substantif, atau sekadar strategi kooptasi kekuasaan?

Dalam praktik politik, rekonsiliasi idealnya menjadi sarana memperkuat demokrasi dengan merangkul perbedaan demi stabilitas nasional. Namun, yang terjadi justru kecenderungan untuk meniadakan oposisi dan melebur semua kekuatan politik ke dalam pemerintahan. Fenomena “koalisi gemuk” pasca pemilu mencerminkan politik akomodasi berlebihan, yang secara tak langsung mengikis fungsi kontrol dan keseimbangan kekuasaan.

Demokrasi kehilangan vitalitasnya ketika semua pihak menjadi bagian dari kekuasaan. Kritik publik terhadap fenomena politik tanpa oposisi bukan sekadar persoalan preferensi politik, melainkan peringatan atas terkikisnya mekanisme check and balance dalam sistem presidensial. Ketika partai-partai yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan justru menyatu ke dalam barisan kekuasaan, maka fungsi check and balance menjadi tergerus.

Demokrasi Indonesia bukan sekadar demokrasi elektoral yang berhenti pada pemilihan umum, tetapi demokrasi konstitusional yang berakar pada prinsip kedaulatan rakyat dan supremasi hukum. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Artinya, demokrasi harus berjalan dalam koridor hukum, bukan hanya melalui kesepakatan politik elite.

Demokrasi memerlukan kedaulatan rakyat yang dijalankan secara nyata supremasi hukum yang tidak tunduk pada politisasi kekuasaan, ruang bebas bagi masyarakat sipil dan media untuk mengkritik. Jika rekonsiliasi berubah menjadi kooptasi, yaitu pembauran semua kekuatan ke dalam satu kekuasaan, maka demokrasi bisa kehilangan makna. Kritik menjadi “gangguan”, oposisi menjadi tidak relevan, dan kebijakan publik semakin rentan dari sisi legitimasi.

Beberapa data berikut menggambarkan dinamika masyarakat terhadap pemerintahan dan demokrasi. Survei oleh Roy Morgan menunjukkan bahwa dalam periode Oktober 2024 – Maret 2025, sekitar 69% warga Indonesia menyatakan “percaya” terhadap pemerintahan baru, naik dari 61% pada enam bulan sebelumnya. Dalam survei yang sama, sekitar 76% setuju bahwa “demokrasi di Indonesia sedang berjalan”. Namun, survei oleh Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja Presiden menurun drastis menjadi 58.9% pada September 2025 (dari sekitar 79.3% di Januari 2025). Dalam survei yang sama, hanya 51.1% responden yang menyatakan puas terhadap “keadaan demokrasi di Indonesia”. 

Data-data ini menunjukkan adanya kontradiksi, kepercayaan terhadap pemerintahan relatif tinggi, namun kepuasan terhadap demokrasi dan ruang publik semakin tergerus. Salah satu indikator penting dari demokrasi yang sehat adalah jaminan kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. Namun, dalam satu tahun terakhir, praktik di lapangan memperlihatkan kecenderungan pembatasan.

Data Polri (25–31 Agustus 2025) mencatat 3.195 demonstran diamankan di berbagai wilayah Indonesia, dengan 55 orang ditetapkan tersangka. Dari angka tersebut, 709 orang berasal dari Jawa Timur, dan 51 di antaranya telah menjadi tersangka. Selain itu, laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat adanya penangkapan terhadap 153 peserta aksi di delapan wilayah dan 14 orang, termasuk tim medis, yang dikriminalisasi dalam aksi May Day 2025.

Survei Median (September 2025) bahkan mencatat 51% publik tidak puas dengan cara pemerintah menangani demonstrasi.

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa demokrasi prosedural masih sering berbenturan dengan praktik kebebasan sipil. Ketika unjuk rasa direspons dengan pendekatan represif, maka pesan yang muncul bukanlah rekonsiliasi, tetapi ketakutan. Demokrasi kehilangan ruang sosialnya.

Setahun pemerintahan Prabowo–Gibran memang berhasil menjaga stabilitas politik dan ekonomi. Namun, stabilitas tanpa partisipasi adalah bentuk diam yang menakutkan. Demokrasi memerlukan oposisi yang berfungsi, parlemen yang independen, dan masyarakat sipil yang berani bersuara. Kritik masyarakat sipil, media independen, dan kampus masih sering dipandang dengan kecurigaan. Dalam situasi ini, pemerintah perlu memastikan bahwa semangat rekonsiliasi tidak berubah menjadi hegemoni politik.

Perlu ditekankan, demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang berfungsi, parlemen yang independen, dan masyarakat sipil yang berani bersuara. Tanpa itu, demokrasi hanya tinggal prosedur tanpa substansi.

Rekonsiliasi politik sejatinya bukan sekadar menyatukan elite, melainkan memperkuat partisipasi rakyat dan menjamin keberlanjutan demokrasi konstitusional. Namun jika dijalankan tanpa transparansi dan kontrol, rekonsiliasi bisa berubah menjadi kooptasi kekuasaan dalam balutan stabilitas semu.

Demokrasi sejati bukan diukur dari tiadanya konflik, tetapi dari cara negara mengelola perbedaan dengan menghormati hukum, hak, dan suara rakyat.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Evaluasi Arah Demokrasi Pasca Pilpres 2024: Dari Rekonsiliasi Menuju Kooptasi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now