![]() |
| Prof. Triyo Supriyatno, Wakil Rektor III UIN Maulana Malik Ibrahim Malang./dokumentasi pribadi |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM:
Dalam kehidupan pesantren, hubungan antara kiai dan santri merupakan fondasi yang membentuk dinamika sosial, spiritual, dan intelektual khas dunia pendidikan Islam di Indonesia.
Hubungan ini tidak sekadar relasi guru dan murid dalam konteks formal pendidikan, tetapi lebih dari itu: ia adalah relasi kultural, moral, dan spiritual yang sarat makna simbolik.
Dari perspektif sosiologis, psikologis, dan antropologis, pola hubungan ini menjadi cermin bagaimana nilai, kekuasaan, dan pembentukan karakter berkelindan membentuk identitas pesantren dan masyarakat Islam tradisional di Indonesia.
Kiai-Santri: Relasi Sosial dan Struktur Kekuasaan Moral
Dari perspektif sosiologis, hubungan kiai-santri adalah bentuk relasi sosial yang bersifat paternalistik—yakni hubungan antara figur ayah dan anak secara simbolik.
Kiai berperan sebagai pemimpin spiritual, guru, sekaligus panutan moral yang memegang otoritas sosial tinggi di lingkungan pesantren dan masyarakat sekitarnya.
Santri menempatkan diri dalam posisi taat, hormat, dan patuh. Dalam kerangka teori Max Weber, otoritas kiai bisa dikategorikan sebagai charismatic authority—otoritas yang lahir dari keyakinan terhadap kesucian dan karisma pribadi, bukan sekadar posisi struktural.
Di pesantren, kepemimpinan kiai bersifat total institution sebagaimana digambarkan oleh Erving Goffman: lembaga yang mengatur seluruh aspek kehidupan warganya, dari ibadah, belajar, makan, hingga tidur.
Santri hidup di bawah bimbingan penuh kiai, bukan hanya dalam hal pengetahuan agama, tetapi juga dalam penanaman nilai disiplin, kesederhanaan, dan kesetiaan terhadap tradisi.
Hubungan ini membentuk solidaritas sosial yang kuat, menjadikan pesantren sebagai miniatur masyarakat yang berorientasi nilai dan moral, bukan material.
Namun demikian, pola ini juga menghadirkan dinamika sosial. Di satu sisi, ia menumbuhkan kepatuhan dan kohesi sosial; di sisi lain, berpotensi mengekang kebebasan berpikir jika tidak diimbangi dengan refleksi kritis.
Pesantren modern banyak melakukan inovasi dengan tetap mempertahankan pola hormat-santri terhadap kiai, tetapi membuka ruang dialog dan pemikiran kritis sebagai bagian dari transformasi sosial dan intelektual.
Kiai-Santri: Ikatan Afektif dan Pembentukan Kepribadian
Secara psikologis, hubungan antara kiai dan santri dapat dilihat melalui konsep attachment theory dari John Bowlby, yakni hubungan emosional antara figur otoritas dan individu yang belajar dari bimbingannya.
Dalam konteks pesantren, kiai menjadi attachment figure bagi santri—sosok pelindung, pembimbing, sekaligus teladan.
Rasa cinta, hormat, dan percaya menjadi dasar yang membentuk ikatan emosional yang mendalam.
Hubungan ini melahirkan transference psikologis—yakni proses di mana santri memproyeksikan rasa kagum, cinta, bahkan keinginan menjadi seperti kiai.
Dari sinilah tumbuh kepribadian religius santri yang penuh dedikasi, kesabaran, dan tanggung jawab spiritual.
Banyak santri yang, setelah lulus, masih menjadikan kiai sebagai figur konsultasi moral dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
Kiai, di sisi lain, memikul tanggung jawab psikologis besar: membentuk karakter dan kepribadian santri tanpa kehilangan empati dan kehangatan.
Pola hubungan yang sehat ditandai oleh keseimbangan antara ketegasan dan kasih sayang.
Dalam tradisi pesantren, ini tampak dalam praktik ta’dib—pendidikan yang mengedepankan adab sebagai landasan ilmu.
Dengan demikian, relasi kiai-santri bukan relasi kekuasaan semata, melainkan hubungan afektif yang membentuk kepribadian berakhlak.
Namun dalam konteks modern, tantangan muncul ketika generasi muda santri hidup di era digital yang sarat dengan nilai individualisme dan rasionalitas instan.
Hubungan kiai-santri menghadapi tekanan psikologis baru: bagaimana menjaga kedekatan emosional dalam dunia yang semakin berjarak secara sosial dan teknologi.
Banyak pesantren kini mulai memadukan pendekatan tradisional dengan konseling modern dan psikologi pendidikan Islam untuk menjaga keseimbangan antara disiplin dan empati.
Kiai-Santri: Tradisi, Simbol, dan Warisan Budaya
Secara antropologis, hubungan kiai dan santri adalah bagian dari kebudayaan yang hidup (living tradition) dalam masyarakat Islam Nusantara.
Clifford Geertz, dalam studinya tentang Jawa, menggambarkan kiai sebagai pusat moral dan simbol budaya Islam tradisional yang memadukan unsur agama, sosial, dan politik.
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan sistem kebudayaan dengan simbol-simbol, ritus, dan nilai yang diwariskan turun-temurun.
Dalam konteks ini, hubungan kiai-santri tidak hanya diatur oleh norma formal, tetapi juga oleh simbol dan ritual: mencium tangan kiai, sowan, mengaji kitab kuning, atau khidmah (melayani kiai) sebagai bentuk penghormatan.
Semua praktik itu bukan semata rutinitas, melainkan cara membangun habitus (Pierre Bourdieu) — pola perilaku dan sikap yang tertanam dalam diri santri melalui pengalaman sosial berulang.
Kiai menjadi pusat transmisi nilai-nilai budaya Islam lokal: kesederhanaan, gotong royong, penghormatan terhadap ilmu, dan spiritualitas.
Dalam hal ini, pesantren berperan sebagai penjaga kontinuitas budaya Islam Nusantara yang lentur dan adaptif terhadap zaman.
Pola hubungan yang berbasis pada barakah (berkah spiritual) tetap menjadi kekuatan simbolik yang menjaga keberlangsungan pesantren meski arus modernisasi datang silih berganti.
Kiai-Santri: Relevansi di Era Modern
Di era modern yang ditandai oleh rasionalitas dan teknologi, hubungan kiai-santri menghadapi tantangan sekaligus peluang.
Secara sosiologis, pesantren harus menyeimbangkan antara otoritas tradisional dan tuntutan partisipasi santri dalam berpikir kritis.
Secara psikologis, hubungan ini perlu dikembangkan dengan pendekatan humanistik yang memahami dinamika remaja dan perkembangan zaman.
Secara antropologis, pesantren perlu menjaga identitasnya tanpa terjebak dalam romantisme masa lalu.
Transformasi pesantren menjadi lembaga yang adaptif terhadap perubahan sosial tidak berarti memutus hubungan spiritual antara kiai dan santri, melainkan menegaskan kembali maknanya.
Kiai tetap menjadi pusat moral, tetapi juga fasilitator dialog dan inovasi. Santri tetap menghormati, tetapi juga berani berpikir, berkreasi, bertransformasi dan berkontribusi bagi masyarakat.
Pada akhirnya, hubungan kiai dan santri adalah jantung budaya pesantren: perpaduan antara ilmu, adab, dan cinta.
Ia adalah warisan sosiologis yang menjaga keseimbangan antara otoritas dan kebebasan, warisan psikologis yang membentuk kepribadian berakhlak, dan warisan antropologis yang meneguhkan identitas Islam Nusantara—ramah, beradab, dan penuh kebijaksanaan.
Pesantren akan tetap hidup selama ada cinta antara kiai dan santri—cinta yang bukan sekadar emosional, tetapi spiritual, sosial, dan kultural. Ditulis oleh: Prof Triyo Supriyatno, Wakil Rektor III UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. ***
Editor: YAN



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?