Sumber gambar: Harts Imagineering
ARTIKEL | Kemajuan teknologi dalam satu dekade terakhir membawa dampak besar bagi dunia kerja. Otomatisasi, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), dan digitalisasi proses bisnis diyakini mampu meningkatkan efisiensi, menekan biaya, serta mendorong inovasi lintas sektor. Namun, di balik peluang tersebut, tersimpan kekhawatiran besar yakni banyak pekerjaan tradisional yang tergantikan oleh otomatisasi.
Fenomena ini bukan lagi sekadar wacana. Menurut laporan World Economic Forum, sepuluh tahun ke depan diperkirakan 75 juta pekerjaan akan hilang akibat otomatisasi. Sebaliknya, akan tercipta 133 juta jenis pekerjaan baru yang lahir dari transformasi teknologi (Adha et al., 2020). Artinya, perubahan ini tidak sekadar memangkas, tetapi juga merevolusi lanskap kerja global. Tantangannya, apakah pekerja mampu beradaptasi secepat perkembangan teknologi?
Laporan McKinsey & Company menunjukkan 87% perusahaan di sektor keuangan dunia menghadapi gap keterampilan digital yang besar (RevoU,2025). Sementara itu, data BPS (2022) melaporkan hanya 21,6% tenaga kerja Indonesia yang memiliki skill digital tingkat menengah. Masalah ini kian kompleks karena adopsi teknologi menyebabkan banyak pekerjaan manusia tergantikan.
A. Transformasi Digital = PHK Massal?
Tahun 2025 kembali menjadi saksi gelombang PHK massal di berbagai belahan dunia. Data Layoffs. fyi yang dirangkum Anadolu mencatat lebih dari 72.000 pekerjadi industri teknologi kehilangan pekerjaan hanya dalam enam bulan pertama 2025. Meski jumlah ini turun 28% dibanding 2024 dan jauh lebih rendah dibanding puncak 2023, tren tersebut tetap mencerminkan perubahan mendasar yang dipicu perkembangan AI dan digitalisasi (it.proxisgroup.com, 2025).
PHK massal akibat otomatiasasi telah menjadi fenomena global. Nama-nama besar seperti Northvolt, Block, Brightcove, Siemens, HelloFresh, Google, Meta, Workday, Unity, TikTok, Stripe, Amazon, Wayfair, Salesforce, Cruise, hingga Sonos melakukan pemangkasan tenaga kerja. Jumlahnya bervariasi, mulai dari ratusan hingga puluhan ribu orang, dengan alasan restrukturisasi, otomatisasi, pemotongan biaya, gagal IPO,hingga tekanan ekonomi global (bloom bergtecnoz, 2025).
Di Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan (2023) mencatat peningkatan PHK di sektor tekstil dan otomotif terjadi karena adopsi otomatisasi (kompas.com, 2024). Fenomena ini menegaskan bahwa transformasi digital tidak selalu identik dengan penciptaan nilai baru, tetapi juga dengan hilangnya kesempatan kerja yang sudah ada sebelumnya.
B. Technostress: Tekanan Psikologis di Era Digital
Selain kehilangan pekerjaan, karyawan yang masih bertahan pun menghadapi tantangan lain, yakni technostress. Menurut Tarafdar,Tu,& Ragu-Nathan (2010; Setyadi et al., 2019), technostress muncul akibat multitasking digital, konektivitas tanpa henti, arus informasi berlebihan, hingga perubahan sistem teknologi yang cepat dan berulang. Salah satu faktor pemicunya adalah techno-uncertainty, yaitu stres karena ketidakpastian akibat perkembangan teknologi yang tak pernah berhenti.
Tekanan ini memunculkan dampak nyata pada kondisi mental pekerja. Karyawan sering merasa lelah secara psikologis, cemas dengan masa depan, bahkan kehilangan motivasi untuk berkarir. Akibatnya, performa kerja bisa menurun, dan beban kesehatan mental meningkat. Fenomena technostress ini menunjukkan bahwa dampak digitalisasi tidak hanya pada aspek efisiensi bisnis, tetapi juga pada kualitas hidup pekerja.
C. Ketika Kebutuhan Dasar Psikologis Tidak Terpenuhi
Kondisi di atas dapat dijelaskan melalui Self-Determination Theory (SDT) yang dikembangkan oleh Deci & Ryan (1985;Manninenetal.,2022). Teori ini menekankan bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis utama: autonomi, kompetensi, dan relasi sosial. Ketiga kebutuhan ini penting untuk menjaga motivasi intrinsik, kesejahteraan, dan kinerja yang berkelanjutan.
1. Autonomi: karyawan merasa tak punya kendali atas masa depan ketika keputusan PHK diambil secara sepihak.
2. Kompetensi: keterampilan yang selama ini relevan menjadi tidak lagi berguna, membuat karyawan merasa tak berharga.
3. Relasi sosial: hubungan dengan rekan kerja melemah karena banyak posisi hilang, menciptakan rasa kehilangan dan keterasingan.
Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, pekerja kehilangan dorongan intrinsik untuk berkembang. Dampaknya bukan hanya pada individu, tetapi juga pada organisasi yang mengalami penurunan loyalitas, motivasi, dan produktivitas jangka panjang.
D. Jalan Keluar: Reskilling dan Upskilling
Meski situasi ini menantang, bukan berarti tidak ada solusi. Transformasi digital seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan peluang untuk menciptakan ekosistem kerja baru yang lebih adaptif. Salah satu kuncinya adalah memperkuat reskilling dan upskilling.
Perusahaan dapat menyiapkan program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan karyawan sebelum otomatisasi dijalankan. Misalnya, pekerja administrasi dapat dilatih keterampilan analitik atau pengelolaan data agar tetap relevan di era digital. Selain itu, melibatkan karyawan dalam proses transformasi juga penting untuk menjaga rasa memiliki. Dukungan psikologis, konseling karir, hingga program well-being dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepercayaan diri pekerja.
Pemerintah pun berperan penting dengan menyediakan kebijakan yang mendukung reskilling secara luas, termasuk melalui subsidi pendidikan vokasi, kerja sama industri-universitas, dan mendorong kurikulum yang selaras dengan kebutuhan masa depan. Dengan begitu, otomatisasi tidak hanya dilihat sebagai cara perusahaan menekan biaya, tetapi juga sebagai kesempatan untuk memperkuat daya saing tenaga kerja.
Transformasi digital adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Ibarat pedang bermata dua: mampu membawa efisiensi luar biasa, tetapi juga menimbulkan keresahan sosial dan psikologis. Gelombang PHK massal, technostress, hingga hilangnya motivasi intrinsik pekerja adalah sisi gelap dari perkembangan ini. Namun, dengan strategi reskilling, upskilling, dan kepedulian terhadap kebutuhan psikologis karyawan, teknologi bisa menjadi sekutu, bukan musuh.
Pertanyaan besar yang tersisa adalah: apakah kita rela membiarkan teknologi hanya melayani kepentingan efisiensi semata, atau justru menggunakannya untuk memperkuat martabat manusia? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan wajah dunia kerja masa depan: apakah menjadi dunia yang sepenuhnya dikuasai mesin, atau dunia di mana manusia tetap menjadi pusat nilai.
Adha,L.Ha.,Asyhadie,Z.,&Rahmawati,K.(2020).Digitalisasi Industri dan Pengaruhnya Terhadap Ketenaga kerjaan dan Hubungan Kerjadi Indonesia. Journal Kompilasi Hukum,5 (2),267– 298. https://doi.org/10.29303/jkh.v5i2.49.
Badan Pusat Statistik. (2022). KeadaanAngkatan Kerja di IndonesiaAgustus 2022. Diakses pada 2 Oktober 2025, dari https://www.bps.go.id/id/publication/2022/12/07/a64afccf38fbf6deb81a5dc0/keadaan-angkatan-kerja-di-indonesia-agustus-2022.html.
Bloombergtecnoz.com. (2025). Deretan Perusahaan Teknologi yang PHK Sepanjang 2025. Diakses pada 2 Oktober 2025, dari https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/70908/deretan-perusahaan-teknologi-yang-phk-sepanjang-2025.
It.proxisgroup.com.(2025).GelombangPHKTeknologi2025:72RibuKaryawanKehilangan Pekerjaan, AI Jadi Faktor Utama. Diakses pada 2 Oktober 2025, dari https://it.proxsisgroup.com/phk-teknologi-2025-72-ribu-karyawan-kehilangan-pekerjaan-akibat-ai/.
Kompas.com. (2024). Mengurai PHK Massal dalam Industri Tekstil Indonesia. Diakses pada 2 Oktober 2025,dari https: //money.kompas.com/read/2024/09/10/100712126/mengurai-phk-massal-dalam-industri-tekstil-indonesia?page=all.
Manninen, M., Dishman, R., Hwang, Y., Magrum, E., Deng, Y., & Yli-Piipari, S. (2022). Self- determination Theory Based Instructional Interventions and Motivational Regulations in Organized Physical Activity: A Systematic Review and Multivariate Meta-analysis. In Psychology of Sport and Exercise (Vol. 62). Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/j.psychsport.2022.102248
RevoU.co. (2025). Metode Identifikasi Skill Gap Digital di BUMN & Pemerintahan Indonesia. Diakses pada 2 Oktober 2025, dari https://www.revou.co/id/business-resource/metode-identifikasi-skill-gap-digital-di-bumn-%26-pemerintahan-indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?