Pelita Harapan di Tengah Reruntuhan: Puisi Haru dari Senator Lia untuk Korban Al Khoziny
SURABAYA| JATIMSATUNEWS.COM: Dua pekan telah berlalu sejak tragedi ambruknya Musholla Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. Namun duka tetap membayang di setiap sudut hati santri, orang tua, dan masyarakat. Di tengah kesedihan itu, muncul sebuah suara lembut penuh harapan: puisi dari Senator Dr. Lia Istifhama — sebuah ungkapan cinta, empati, dan penghormatan terhadap mereka yang menjadi korban dan wali santri.
Duhai Anak-anak sayang
Demikianlah bait-bait pembuka puisi yang dibacakan Lia saat mengunjungi rumah sakit dan lokasi bantuan. Dalam nada penuh kegetiran, puisi itu merayakan keberanian santri yang kini dikenal sebagai “pelita kehidupan” — menjadi cahaya bagi banyak orang meskipun terkaman duka.
“Tetaplah kalian menjadi pijaran cahaya, cahaya ilmu penuh kemuliaan… Karena setiap senyummu selalu kami nantikan.”
Ning Lia mengungkapkan bahwa puisi itu lahir dari pengamatannya sendiri di Rumah Sakit Bhayangkara, di mana para wali santri menunggu proses pemakaman jenazah dengan penuh ketabahan. Prosesnya sempat tertunda hingga hari kesembilan, dan hingga kini masih ada 19 jenazah yang belum teridentifikasi.
Kisah di Balikb
Kunjungan Lia ke ruang-ruang rumah sakit membawa saksi nyata penderitaan — namun juga ketegaran luar biasa. Salah satu kisah yang menyentuh hati adalah Haikal, santri yang berhasil dievakuasi setelah tiga hari tertimbun, namun harus menjalani amputasi kaki kiri. Ada pula Nur Ahmad, yang mengalami nasib serupa di antara yang terbaik.
Senator Lia menyebut mereka sebagai “insan pilihan” — mereka yang mampu meneguhkan hati dan menerima kenyataan yang pahit. Di sisi lain, para wali santri yang menolak santunan mencerminkan jiwa pengorbanan dan keikhlasan yang dalam sebagian di antara mereka.
“Bukanlah kesedihan yang dapat terobati, melainkan melalui pertolongan Allah SWT, yaitu ketegaran dan keihklasan… saya sangat mengagumi para wali santri.”
Refleksi & Pesan untuk Kita Semua
Puisi Lia bukan sekadar elegi liris, melainkan panggilan hati nurani bagi kita semua untuk menyimak dan memberi makna. Ia mengingatkan bahwa di balik statistik dan liputan, ada keluarga yang menunggu kabar, santri yang berjuang, dan hati yang meranggas rindu.
Dalam tragedi Al Khoziny — seperti banyak tragedi kemanusiaan lainnya — tak cukup hanya merenung. Harus ada tindakan nyata: perhatian, dukungan psikososial, serta proses penanganan jenazah dengan penuh rasa hormat dan keadilan.
Puisi Ning Lia seakan berkata: jangan biarkan mereka terbuang dari kenangan. Biarkan jerih dan tangis menjadi pijar harapan, yang menuntun kita pada aksi dan empati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?