![]() |
| Gambar 1. Bantuan dari pemerintah Indonesia siap diberangkatkan ke Mesir dan Sudan dari pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, 3 April 2024. (Foto:Courtesy/Biro Setpres) |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Dalam lanskap hubungan internasional yang kian dinamis, posisi negara-negara berkembang perlahan bergeser. Jika dulu negara-negara di kawasan Selatan terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin lebih dikenal sebagai penerima bantuan dari negara maju, kini mereka mulai menapaki peran baru sebagai pemberi bantuan. Fenomena ini menjadi cerminan lahirnya babak baru diplomasi Selatan, yang menandai perubahan paradigma dalam sistem bantuan global. Perubahan ini tak bisa dilepaskan dari meningkatnya kapasitas ekonomi dan politik beberapa negara Selatan seperti Tiongkok, India, Brasil, serta Indonesia. Negara-negara tersebut kini aktif menyalurkan bantuan ke negara lain di kawasan Global South, baik dalam bentuk hibah, investasi, maupun kerja sama teknis. Langkah ini menantang dominasi tradisional negara-negara Barat yang selama puluhan tahun memegang kendali atas arus bantuan global melalui lembaga seperti IMF, World Bank, dan OECD-DAC.
Dalam kerangka teori South-South Cooperation, praktik ini menunjukkan bentuk solidaritas horizontal antarnegara berkembang. Bantuan tidak lagi dimaknai sebagai bentuk ketergantungan politik, melainkan sebagai strategi berbagi pengalaman pembangunan. Misalnya, Indonesia melalui Badan Pembangunan Internasional Indonesia (Indonesian AID) telah menyalurkan bantuan ke beberapa negara di Asia Selatan, Afrika, dan Pasifik. Ini menunjukkan bahwa negara berkembang kini tidak sekadar objek, tetapi juga aktor aktif dalam percaturan global.
Jika ditinjau dari perspektif Teori Ketergantungan, fenomena ini sekaligus menjadi bentuk resistensi terhadap struktur global yang timpang. Ketika negara-negara Selatan mulai saling membantu, ketergantungan terhadap negara maju secara perlahan berkurang. Namun, muncul pula pertanyaan baru: apakah bentuk kerja sama ini benar-benar setara, atau justru melahirkan ketergantungan baru dalam sesama negara berkembang? kritik ini mengemuka karena beberapa negara besar di Selatan, seperti Tiongkok, menggunakan bantuan luar negeri untu kmemperluas pengaruh politik dan ekonomi di kawasan lain, terutama melalui proyek infrastruktur dalam skema Belt and Road Initiative (BRI).
Dari sisi lain, Teori Interdependensi Kompleks membantu menjelaskan bahwa hubungan antar negara kini tidak lagi bersifat hierarkis, melainkan saling membutuhkan. Dalam konteks ini, negara-negara Selatan terhubung bukan hanya lewat bantuan finansial, tetapi juga melalui pertukaran teknologi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan diplomasi ekonomi. Hal ini memperkuat posisi tawar negara-negara berkembang di panggung internasional, karena mereka membangun jejaring berdasarkan kesetaraan kepentingan, bukan tekanan politik. Pendekatan Postkolonial juga memberi makna tambahan terhadap dinamika ini. Banyak negara berkembang menggunakan kerja sama bantuan sebagai sarana untuk merebut narasi global yang selama ini dikuasai Barat. Dengan menjadi pemberi bantuan, negara-negara tersebut membangun citra baru bahwa mereka mampu berdiri sejajar dengan negara maju dan bahkan menawarkan alternatif model pembangunan yang lebih kontekstual bagi dunia Selatan. Bantuan yang diberikan tak lagi berbentuk doktrin, melainkan berbagi pengalaman menghadapi persoalan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, dan ketahanan pangan yang pernah mereka alami sendiri.
Perubahan peran ini juga mempertegas Emerging Donor Theory (Teori Donor Baru), yang menyoroti munculnya aktor-aktor nontradisional dalam sistem bantuan global. Negara seperti Indonesia, meski belum sebesar Tiongkok atau India, telah menunjukkan komitmen diplomasi yang lebih proaktif dengan menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Palestina, Myanmar, dan Afrika. Praktik ini bukan semata strategi politik luar negeri, melainkan juga wujud diplomasi empatik yang menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dengan prinsip “bebas aktif” yang relevan di era multipolar. Fenomena pergeseran peran dari penerima menjadi pemberi bantuan ini menandakan transformasi besar dalam arsitektur global. Ia menunjukkan bahwa dunia tidak lagi sepenuhnya berpusat pada Utara, melainkan bergerak menuju sistem yang lebih plural dan saling bergantung. Diplomasi Selatan kini bukan sekadar strategi geopolitik, tetapi juga simbol emansipasi global bahwa negara-negara berkembang mampu menentukan arah masa depannya sendiri.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?