Transformasi Wajah Demokrasi Di Era Digitalisasi oleh: Dr. Lia Istifhama, MEI
ARTIKEL| JATIMSATUNEWS.COM: Semenjak reformasi, wajah Demokrasi Indonesia mengalami perubahan secara signifikan. Demokrasi pasca reformasi 1998 menandai transisi menuju inklusivitas, dengan salah satu perubahan mendasar adalah lahirnya banyak Partai Politik ketika sebelumnya hanya tiga partai yang dikenal selama masa Orde Baru, yaitu PPP, Golkar, dan PDI.
Perubahan wajah demokrasi di Indonesia pun berubah semakin inklusif pasca amandemen UUD 1945. Amandemen Pertama misalnya, menjadi momentum fungsi trias politica yang seimbang dan memiliki batasan masing-masing, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, amandemen yang dilakukan pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999 tersebut juga memberikan regulasi pembatasan masa jabatan Presiden menjadi maksimal dua periode.
Transformasi Demokrasi semakin nampak signifikan pada tahun 2004, tepatnya 5 Juli 2004, melalui Pemilihan Presiden secara langsung pertama kalinya, ketika proses pemilu semenjak 1955, dilakukan melalui mekanisme Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perubahan besar dalam proses demokrasi tersebut, didasarkan pada amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 yang menghilangkan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan mengubah rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dari yang sebelumnya berbunyi
"Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)" menjadi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar".
Adapun perubahan model pemilihan presiden Indonesia disebutkan dalam amandemen tentang pergeseran model pengisian jabatan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya dilakukan oleh MPRS menjadi pemilihan langsung oleh rakyat (pilpres).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 6A Ayat (1), "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat."
Perubahan demi perubahan dalam wajah demokrasi Indonesia, merupakan bentuk kesadaran akan heterogenitas kepentingan rakyat yang harus dipenuhi demi keberlangsungan bangsa, tepatnya harmonisasi hubungan negara dengan rakyat.
Namun perkembangan global pasca pandemi covid 19, memberikan sentuhan besar dalam berbagai aspek, termasuk di dalamnya demokrasi. Demokrasi tidak sebatas ruang aspirasi rakyat, melainkan juga terpengaruh oleh dinamika digital.
Keluasan peran fungsi digital sebagai ruang distribusi informasi dan komunikasi, telah menjadi pengejewantahan paradigma masyarakat. Situasi sosial pun berubah sesuai dengan stigma atau stereotype yang terbentuk melalui berbagai platform media sosial yang lahir dan tumbuh sebagai bentuk digitalisasi.
Demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada penghujung Agustus 2025, menjadi potret besarnya pengaruh sosial media dalam aksi aspiratif yang semula dilakukan para mahasiswa. Meski, aksi demo masih berlanjut pada 5/9/2025 melalui tuntutan 17+8, namun aksi demo yang menjadi sorotan publik, bahkan dunia adalah yang terjadi pada tanggal 25 hingga 30 Agustus 2025. Banyak perilaku provokatif oknum tertentu yang membuat warna demonstrasi berbeda, yaitu diwarnai aksi perusakan berbagai fasilitas umum, bahkan cagar budaya. Hal ini disinyalir akibat dari gelombang penyebaran isu melalui sosial media, terutama tiktok dan live tiktok.
Aksi demonstrasi pun kembali sesuai tujuan awal semenjak Presiden Prabowo Subianto melakukan kebijakan wfh, work from home dalam instansi pemerintahan, termasuk pembelajaran daring, dan live tiktok yang sempat tidak bisa diakses kembali hingga situasi sosial kemudian reda.
Dari rangkaian peristiwa pada Agustus 2025 tersebut, kita kemudian dihadapkan pada fakta bahwa transformasi wajah demokrasi tak lagi disebabkan dinamika aspirasi rakyat, melainkan dinamika digitalisasi yang rentan dengan post truth, yaitu fakta obyektif lebih kecil daripada opini publik yang dibangun.
Dalam hal ini, branding atau pencitraan, baik positif maupun negatif yang secara tidak langsung menjelma seperti “konsensus publik”, sangat dipengaruhi oleh digital.
Kekuatan komunikasi memang dijelaskan dalam teori kultivasi (Cultivation Theory), yang dikembangkan oleh George Gerbner, menjelaskan bahwa paparan media massa jangka panjang, terutama televisi, secara bertahap "menumbuhkan" atau membentuk persepsi audiens terhadap realitas sosial, membuat mereka cenderung menganggap dunia nyata mirip dengan apa yang mereka lihat di media. Semakin banyak seseorang menonton televisi, semakin besar kemungkinan perspektif mereka terhadap dunia dibentuk oleh pesan-pesan yang ditampilkan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan salah persepsi mengenai dunia di sekitar mereka.
Teori kultivasi dan potensi post truth, itulah yang menjadi potensi indikator utama yang mampu mengubah wajah demokrasi saat ini. Tentu, dampak digital adalah sebuah keniscayaan dalam opini publik. Dan tantangan Indonesia adalah bagaimana bonus demografi yang selama ini ditasbihkan sebagai Indonesia Emas 2045, menjadi bentuk nyata bahwa digitalisasi yang begitu lekat dengan generasi muda, sangat berpotensi mengubah wajah demokrasi.
Dalam proses kontestasi pesta demokrasi misalnya, pencitraan dalam politik di era digitalisasi berkembang menjadi beragam, bahkan diantaranya kamuflase visual maupun pencitraan melalui instrumen-instrumen digital untuk menunjukkan rekam jejak yang dibenarkan oleh artificial intelligence (AI). Adu kecerdasan strategi melalui instrument digital adalah kebutuhan politik yang dibenarkan, meski tidak semua pencitraan didasarkan oleh realita sesungguhnya, atau bahkan melalui kaderisasi politik. Kalau
Meski, publik patut mengangkat topi dengan salah satu poin tuntutan 17+8 terkait reformasi kelembagaan wakil rakyat pada 3 September 2025, dimana Mahkamah Konstitusi diharap menjadikan S-1 (sarjana) sebagai syarat pendidikan minimum Calon Presiden, Calon Legislatif, hingga Calon Bupati. Hal ini menegaskan bahwa rakyat saat ini menginginkan wakil yang bukan sekadar piawai melakukan konstruksi preferensi publik melalui instrument digital, melainkan dalam faktanya memang memiliki kompetensi, integritas, serta berpihak pada kepentingan bangsa melalui kesungguhannya mengemban amanah rakyat.
Pada akhirnya, tantangan digital tentu tidak selalu dikonotasikan negatif, melainkan dapat bermuara pada stimulus positif, yaitu globalnya sebuah negara, dalam hal ini Indonesia. Dan salah satu instrumen penjaga pondasi bangsa adalah kembalinya PPHN atau Pokok-Pokok Haluan Negara, sebuah pedoman umum dan terpadu yang mengatur penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional, yang berfungsi sebagai panduan dan kompas pembangunan berkelanjutan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya.
Tentu, selain Pancasila yang tetap menjadi dasar segala aspek demokrasi melalui butir pertama tentang Ketuhanan sebagai dasar dari perilaku baik buruknya manusia, sila kedua tentang pentingnya aspek humanisme, sila ketiga tentang penguatan nasionalisme, sila keempat tentang proses demokrasi dari rakyat yang mengedepankan permusyarakatan, serta sila kelima yang menjunjung keadilan dalam segala aspek kenegaraan maupun demokrasi.
Sebuah negara tentu akan mengalami dinamika, namun landasan utama untuk merekatkan bangsa, itulah jawaban bagaimana sebuah negara akan terus berlangsung damai dan kondusif. Perkembangan digital serta berbagai opini publik akan terus menjadi gelombang perkembangan situasi sebuah negara. Namun jika pondasi kenegaraan kuat, maka dinamika dengan segala pengaruh digital, tidak akan melemahkan posisi negara, karena potret kuatnya sebuah negara, adalah pengejawantahan sebarapa kuat pertahanan negara tersebut dari ancaman disintegrasi dari negara asing.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?