Apakah Kita Sudah Merdeka? pertanyaan ini menggelayut dalam benak pikiran saya saat menemukan sebuah hadits yang dikutip dalam sebuah flyer digital di sebuah akun Instagram. Karenanya, pikiran-pikiran yang berseliweran itu menggerakkan jari-jari saya untuk menulis artikel ini.
Secara politik, mungkin kita telah lama merdeka. Tetapi, benarkah batin dan ruhani kita juga ikut merdeka? Kita bebas menyuarakan pendapat, tetapi kadang dibungkam oleh rasa takut kehilangan jabatan. Kita bisa bergerak ke mana pun, tetapi tidak jarang dibelenggu oleh rasa terikat kepada kekuasaan, kepentingan, dan utang budi.
Lalu, kemerdekaan seperti apa yang sesungguhnya kita butuhkan sebagai bangsa?
Apakah cukup dengan upacara bendera atau pesta rakyat dengan sound horeg yang memekakkan telinga? Ataukah perlu dimaknai lebih dalam sebagai kebebasan jiwa dari belenggu hawa nafsu, ketundukan buta kepada yang berkuasa, dan diamnya masyarakat terhadap kezaliman?
Hadits yang membuat tercenung adalah sebuah sabda Nabi Muhammad ﷺ: Tentang Penguasa, Kejujuran, dan Kezaliman. Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan umatnya tentang masa depan yang penuh ujian kepemimpinan. Dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Hudzaifah r.a., beliau menegaskan:
"Akan datang para pemimpin yang berdusta dan berbuat zalim. Barangsiapa membenarkan kebohongan mereka dan membantu mereka dalam kezaliman, maka ia bukan bagian dariku dan aku bukan bagian darinya, dan ia tidak akan datang ke telagaku. Tetapi siapa yang tidak membenarkan mereka dan tidak membantu dalam kezaliman, maka ia bagian dariku dan aku bagian darinya, dan ia akan datang ke telagaku."
(HR. Ahmad, no. 23260 – Shahih)
Coba kita angan-angan, sesungguhnya hadits ni bukan sekadar pesan untuk pejabat. Ini adalah peringatan bagi seluruh umat: bahwa siapa pun yang membenarkan kebohongan, menutup-nutupi ketidakadilan, atau membiarkan kezaliman terjadi tanpa suara, ia secara tidak langsung telah memutuskan hubungan ruhani dengan Nabi ﷺ.
Tanggung Jawab Bersama: Pemerintah Tidak Bisa Amanah Sendirian
Sering kita mendesak aparat pemerintah agar adil dan jujur. Tapi kita lupa: mereka tidak bekerja sendirian. Mereka berasal dari kita sesama rakyat. Mereka dibentuk oleh budaya yang kita rawat, norma yang kita wariskan, dan tekanan sosial yang kita biarkan.
Jika masyarakat menormalisasi suap, aparat pun terpaksa menyesuaikan diri.
Jika masyarakat diam terhadap kebijakan zalim, penguasa merasa bebas bertindak semaunya.
Jika kita lebih kagum pada kekayaan daripada integritas, maka akan sulit lahir pemimpin yang takut pada Allah.
Oleh karena itu, kemerdekaan moral adalah urusan kita bersama. tidak bisa hanya kita bebankan pada aparat pemerintahan semata.
Makna Kemerdekaan yang Hakiki
Kemerdekaan sejati bukanlah:
Kebebasan berkata seenaknya di media sosial.
Kebebasan menekan yang lemah karena merasa mayoritas.
Atau kemerdekaan memilih pemimpin yang “sejalan kepentingan”.
Kemerdekaan yang hakiki adalah: kemerdekaan dari hawa nafsu: bebas dari ketamakan, keserakahan, dan syahwat kekuasaan.
Kemerdekaan dari rasa balas budi: tidak membela kebatilan hanya karena “pernah dibantu”.
Kemerdekaan dari rasa takut kehilangan posisi atau kenyamanan ketika harus bersuara benar.
Kita masyarakat adalah penjaga kejujuran dengan membangun budaya yang sehat. Dengan budaya yang sehat itu, apapun profesi kita; apakah guru, pedagang, petani, pelajar, ulama, aktivis, pengusaha, bahkan seorang konten kreator, ia punya peran untuk menjaga arah bangsa ini tetap lurus.
Tugas kita bukan memberontak saat ada kedzaliman tapi kita wajib mengingatkan dengan kesantunan. Kita wajib senantiasa mendoakan dan menasehati bukan mencaci pemimpin dengan bumbu fitnah. Dalam sejarah Islam, Kita mengenal Imam Fudhail bin Iyadh yang dikenal sebagai salah satu tokoh sufi yang terkenal dengan kesalehan dan kebijaksanaannya. Salah satu pernyataannya yang sering dikutip adalah tentang pentingnya mendoakan pemimpin. Ia pernah menegaskan:
لَوْ أَنَّ لِي دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً مَا جَعَلْتُهَا إِلَّا فِي إِمَامٍ، فَصَلَاحُ الْإِمَامِ صَلَاحُ الْبِلَادِ
“Seandainya aku memiliki satu doa yang mustajab, aku tidak akan menggunakannya kecuali untuk seorang pemimpin. Karena kebaikan seorang pemimpin akan membawa kebaikan bagi negeri dan rakyatnya.” (Siyar A’lam an-Nubala, 2/777).
Meski demikian kita tetap harus bersuara dan tidak menutup mata, tapi suarakanlah sikap kita dengan adab. Karena kebaikan tidak butuh perantara caci maki. Sikap ini harus terus kita budayakan mengingat kejujuran adalah fardu ain dalam kehidupan bernegara, bukan hanya tugas pejabat tapi juga kita rakyat.
Hadis Telaga Haudh: Ukuran Pengakuan Nabi ﷺ
Ada dua hadis agung yang disampaikan Rasulullah ﷺ tentang penguasa zalim yang keduanya memiliki satu benang merah:
Siapa yang membela kebohongan dan kezaliman, ia bukan bagian dari Nabi.
Siapa yang menolak kebohongan dan kezaliman, ia akan disambut oleh Nabi di telaganya.
Inilah standar keimanan yang harus kita pegangi karena ia adalah jalan keselamatan. Telaga Haudh bukan sekadar tempat minum, tapi a adalah simbol pengakuan spiritual dan penerimaan Nabi ﷺ di akhirat.
Kita boleh melampiaskan ekspresi penolakan melawan kedzaliman dengan berdemo dan menyatakan pendapat dihadapan pejabat dan pimpinan, tetapi sekali lagi kita harus tetap waras dan mampu mengendalikan emosi. Bila kita melawan tindakan represif aparat penegak hukum kita, jangan pernah kita melukai mereka. Mereka adalah kita, sesama anak bangsa.
Penutup:
Merdekalah, dan menjadilah penjaga amanah bangsa di hari-hari kemerdekaan ini. Mari, kita bertanya pada diri sendiri:
Sudahkah aku merdeka dari kebiasaan diam terhadap kezaliman?
Sudahkah aku jujur dalam urusanku sendiri, walau tidak ada yang melihat?
Sudahkah aku memberi ruang pada yang benar, bukan sekadar yang menguntungkan?
Negara yang adil tidak lahir dari aparat yang hebat saja. Tapi dari masyarakat yang tulus, bersih hati, tidak berkompromi dengan kebohongan, dan dari jiwa-jiwa yang sudah merdeka dari hawa nafsunya sendiri.
Merdekakan diri sebelum menuntut perubahan di luar diri.
Bersihkan niat sebelum menunjuk siapa yang salah.
Dan yakinlah, setiap langkah kecil kita menuju kejujuran adalah langkah menuju Telaga Nabi ﷺ.
"Engkau dariku, dan aku darimu."
Wallahu a'lam
penulis: Shampton Masduqie
penulis: Shampton Masduqie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?