Banner Iklan

Ketika Guru Dipidanakan, Siapa yang Sebenarnya Gagal?

Admin JSN
07 Juli 2025 | 22.31 WIB Last Updated 2025-07-07T15:31:41Z

 

cr: IsolaPos.com

Oleh: Dra. Sri Endah Wahyudi
GPAI SMK Khairuddin Gondanglegi, Malang

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Dunia pendidikan kembali tercoreng oleh ironi. Seorang guru yang berusaha menegakkan kedisiplinan dan mengingatkan siswanya untuk menunaikan kewajiban salat, justru terancam pidana karena menepuk atau memukul siswa yang merespons dengan kata-kata kasar (misuh). Sebuah kenyataan pahit yang membuat saya sebagai guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) merasa sedih, kecewa, sekaligus cemas.

Dalam situasi ini, seharusnya semua pihak bisa menahan diri dan mengedepankan klarifikasi sebelum melangkah ke jalur hukum. Ketika keluarga siswa dengan mudah membawa perkara ini ke ranah pidana, tanpa dialog yang terbuka, sesungguhnya kita sedang menegasikan esensi dari pendidikan itu sendiri: membangun akhlak, menjalin komunikasi, dan menyelesaikan konflik dengan kepala dingin.

Sebagai GPAI, saya merasa beban moral yang kami tanggung lebih besar daripada guru bidang lain. Setiap perilaku siswa yang dianggap tidak sopan, tidak beretika, atau menyimpang, seringkali dikaitkan langsung dengan peran kami. Seolah-olah jika seorang siswa misuh atau berperilaku tidak terpuji, maka itu sepenuhnya kesalahan guru agama. Padahal, perlu diingat bahwa waktu siswa berada di sekolah jauh lebih sedikit dibandingkan waktu mereka bersama keluarga di rumah.

Ketika siswa sopan, mereka dianggap memang sudah seharusnya begitu. Namun saat mereka membuat kesalahan, guru dituding gagal mendidik. Ini adalah standar ganda yang tidak adil, dan menyudutkan peran guru secara sepihak. Yang lebih menyakitkan lagi, kegagalan itu bisa berujung pada kriminalisasi terhadap guru yang sejatinya sudah berjuang dengan segenap hati dan tenaga.

Di sinilah pentingnya komunikasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Komunikasi yang baik akan membangun ikatan emosional dan kepercayaan, sehingga setiap masalah bisa diselesaikan dengan dialog, bukan dengan amarah atau laporan polisi. Kita harus bersama-sama menciptakan ekosistem pendidikan yang aman dan nyaman, tidak hanya bagi siswa, tetapi juga bagi para pendidik.

Seorang guru, dalam menjalankan profesinya, juga membutuhkan perlindungan hukum dan sosial. Kewibawaan guru harus dijaga agar mereka bisa menjalankan tugasnya tanpa rasa takut atau terancam. Jangan sampai guru menjadi sosok yang dihormati hanya di lisan, namun dilecehkan di lapangan.

Saya sangat berharap ada solusi jangka panjang. Regulasi dan kebijakan yang melibatkan guru, orang tua, dan pengambil kebijakan harus disusun bersama demi kepentingan dunia pendidikan. Kesepakatan bersama sangat penting untuk mencegah kejadian seperti ini terulang kembali. Karena sekali guru merasa tidak aman dalam mengajar, maka sesungguhnya masa depan pendidikan kita dalam bahaya.

Akhir kata, saya ingin menyampaikan nasihat bagi para guru, terutama GPAI: mendidik memang butuh kesabaran luar biasa. Keikhlasan, ketelatenan, dan kemampuan mengelola emosi adalah senjata utama kita. Jangan sekalipun menggunakan kekerasan fisik, karena masih banyak cara lain yang lebih bijak dan efektif dalam membentuk karakter anak didik.

Mari kita rawat dunia pendidikan ini bersama. Jangan biarkan guru merasa sendiri dalam tugas suci ini. Karena saat satu guru jatuh karena kriminalisasi, maka sejatinya yang terluka adalah dunia pendidikan kita secara keseluruhan.

 

---------------------------

Biodata:

Sri Endah wahyudi, Malang; 11 Oktober 1971, Jl. Mucoyo I no.20 Rt.13 Rw.04  Gondanglegi Malang, S1 IAIN Sunan Ampel Malang, GPAI SMK Khairuddin Gondanglegi,  (pengen nulis tapi gak bisa-bisa)


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ketika Guru Dipidanakan, Siapa yang Sebenarnya Gagal?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now