Jakarta Feminist dan ILRC serukan pengakuan femisida seksual dalam kasus pembunuhan Cisauk, mendesak keadilan serta pemenuhan hak korban dan keluarganya.
JAKARTA, 22/07/2025 | JATIMSATUNEWS.COM - Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist) dan Indonesian Legal Resource Center (ILRC) mengapresiasi langkah Polda Metro Jaya yang telah mengungkap dan menangkap tiga orang laki-laki (RRP, IF, dan AP) yang diduga terlibat pembunuhan dan pemerkosaan terhadap seorang perempuan (22 tahun) di Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten. Kedua lembaga berpendapat bahwa kasus tersebut dikategorikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena gendernya atau biasa dikenal dengan istilah femisida. Adapun pada kasus yang terjadi pada relasi intim ini dapat dikategorikan sebagai femisida seksual (sexual femicide). Untuk itu, Jakarta Feminist dan ILRC mengingatkan agar peradilan pidana mengakui kekerasan seksual terhadap korban, dan memenuhi hak-hak korban serta keluarga korban atas keadilan, restitusi, kompensasi dan bantuan.
Fenomena femisida meningkat di seluruh dunia sehingga meminta perhatian seluruh negara untuk melakukan berbagai upaya pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan korban. Anindya Restuviani atau yang akrab dipanggil Vivi selaku Direktur Program Jakarta Feminis menyampaikan bahwa sepanjang 2024, Jakarta Feminist menemukan 204 kasus femisida di Indonesia. Sebanyak 42% dari kasus ini terjadi dalam relasi intim, di mana dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan.
“Korban femisida intim, mereka adalah istri, pacar, pasangan selingkuh, mantan istri atau pacar, dan teman kencan. Ini mencerminkan hubungan yang dianggap paling “dekat” secara emosional namun ternyata sarat dengan dinamika kuasa, kontrol, dan kekerasan. Pada kasus Cisauk yang diduga dilakukan oleh mantan pacar, menunjukkan upaya pelaku untuk mengontrol dan menguasai korban, dengan alasan sakit hati karena ditagih hutang, hal ini jelas menunjukkan pola femisida relasi intim itu sendiri yang bahkan sarat akan kekerasan berbasis gender dan seksual sebelumnya. Eskalasi kekerasan berbasis gender dan seksual yang menimpa korban di dalam relasi intim sering diabaikan bahkan tidak diperhatikan oleh masyarakat, terutama APH, sehingga eskalasi kekerasan ini berujung berujung femisida, Ujar Vivi
Terkait dengan motifnya, pemantauan Jakarta Feminist menemukan dari 204 kasus hanya ada 184 kasus dengan 223 motif yang teridentifikasi. Sisanya tidak ada keterangan lebih lanjut dalam pemberitaan, pelaku bunuh diri, dan pelaku atau kasus belum terungkap.
”25% kasus femisida dipicu oleh masalah komunikasi, disusul konflik asmara, problem ekonomi, penyerangan seksual, serta emosional. Kami juga menemukan mulai digunakannya UU TPKS dalam proses hukum kasus femisida di 2024 untuk memperkuat penanganan kasus-kasus femisida yang sarat akan unsur kekerasan seksual“ tambah Vivi.
Siti Aminah Tardi, Direktur Eksekutif ILRC menguatkan pernyataan Jakarta Feminist. ILRC sendiri secara khusus melakukan pemantauan pemberitaan terhadap femisida seksual. Ia menjelaskan indikator femisida seksual adalah terjadi kekerasan seksual sebelum, selama dan/atau sesudah pembunuhan korban, yang dapat berupa serangan seksual atau simbolis seperti membiarkan korban tanpa pakaian sebagian atau seluruhnya, dibuang atau diekspos di depan umum, hingga pemerkosaan dan mutilasi. Berdasarkan pemantauan pemberitaan daring pada 2024 teridentifikasi 18 kasus femisida seksual, yang terjadi sebelum, sepanjang kematian, dan setelah kematian yang masing-masing berjumlah 5 kasus (28%). Selain itu, terdapat masing-masing satu kasus di mana korban mengalami kekerasan seksual sebelum dan setelah kematian (5%) dan sepanjang dan setelah kematian (5%).
“Pada kasus Cisauk, korban mengalami kekerasan dengan cara dipitting, diborgol dan diperkosa yang menunjukkan tindakan sadistis. Pemeriksaan forensik dan kepolisian harus memastikan kapan perkosaan itu dilakukan, apakah sebelum, sepanjang atau setelah korban meninggal, atau bahkan berlapis sejak korban hidup sampai meninggal,” ungkap Siti Aminah Tardi.
Lebih lanjut Amik -sapaan akrabnya- menyampaikan bahwa UU TPKS adalah hukum pidana khusus yang diidentifikasikan dapat menjangkau femisida seksual sebelum seseorang meninggal. Kekerasan seksual yang menyebabkan kematian UU TPKS menambahkan 1/3 ancaman pidana atau setara dengan 20 tahun. Selain itu, UU TPKS juga dilengkapi dengan ketentuan Blanco Strafbepalingen yang menjembatani tindak pidana kekerasan seksual yang diatur di luar UU TPKS seperti KUHP untuk menjamin korban mendapatkan perlakuan hukum acara pidana khusus dan pemenuhan hak korban dan keluarganya sebagaimana yang telah dimuat di UU TPKS.
Secara normatif UU TPKS memiliki kelebihan dibandingkan undang-undang lain terkait hak korban. Korban tidak dimaknai secara sempit, tetapi juga menjangkau keluarga korban seperti anak atau orangtua yang menjadi tanggungan korban. Baik Jakarta Feminist maupun ILRC melihat implementasi UU TPKS terhadap kasus-kasus femisida seksual masih minim.
“Keluarga korban berhak mendapatkan perlindungan, pemulihan, dan pemulihan. Kami merekomendasikan APH dan UPTD PPA setempat memberikan perhatian kepada hak-hak keluarga korban,” tambah Vivi.
Terakhir, Amik menyampaikan hambatan hukum terkait femisida seksual, di mana kekerasan seksual dilakukan sesaat setelah korban meninggal. KUHP dan UU TPKS tidak menjangkau kekerasan seksual setelah meninggal.
“Jika korban diperkosa sebelum meninggal, menjadi tidak cukup dengan menyangkakan para pelaku dengan Pasal 340 dan 339 KUHP, tapi harus diperkuat dengan Pasal 285 tentang perkosaan dan Pasal 4 UU TPKS. Namun terdapat kekosongan hukum jika kekerasan seksual dilakukan setelah korban meninggal. Menjadi penting untuk mulai memikirkan hukum pidana khusus femisida yang dapat menjangkau kondisi ini” tutupnya.
Siti Aminah Tardi, ILRC (081908174177)
Anindya Restuviani, Jakarta Feminis (082114044282)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?