Ketakutan guru di ruang kelas mengancam pendidikan karakter; perlunya perlindungan dan dukungan untuk mengembalikan peran mereka sebagai pembina generasi.
Oleh Ardie Fajar, S.Pd.
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Di balik suasana kelas yang tampak tertib, dunia pendidikan sedang menyimpan luka yang dalam. Semakin banyak guru yang memilih diam, menghindari konflik, dan melepaskan peran sebagai pembina karakter. Bukan karena hilangnya kepedulian, tetapi karena munculnya ketakutan. Ketakutan untuk menegur. Ketakutan untuk membina. Ketakutan untuk mengambil sikap—karena satu tindakan kecil saja bisa berujung pada pelaporan, viral di media sosial, bahkan jerat hukum.
Dalam kondisi ini, guru tidak hanya berhadapan dengan beban kurikulum dan administrasi, tetapi juga ancaman kehilangan pekerjaan dan kehormatan. Sementara sebagian besar dari mereka hidup dalam keterbatasan, menjadi tulang punggung keluarga, dan tetap berusaha hadir setiap pagi dengan semangat mendidik. Banyak yang menggantungkan hidup pada gaji yang belum tentu cukup untuk kebutuhan dasar. Dalam tekanan seperti itu, tak sedikit yang akhirnya menyerah untuk mendidik secara utuh—mengajar sebatas materi, lalu menutup pintu pembinaan.
Ironisnya, bangsa ini sedang gencar bicara soal pendidikan karakter. Tapi orang-orang yang paling mungkin membentuk karakter justru dibungkam oleh sistem yang tak berpihak. Guru hari ini tidak hanya dituntut menjadi fasilitator dan motivator, tetapi juga harus menjadi negosiator yang selalu siap disalahkan. Ketika ruang mendidik dibatasi oleh ketakutan, maka yang akan lahir bukan generasi berkarakter, melainkan generasi tanpa arahan.
Paradoks Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter telah menjadi jargon besar dalam berbagai dokumen kebijakan. Mulai dari profil Pelajar Pancasila, kurikulum merdeka, hingga pelatihan-pelatihan guru yang penuh semangat membahas nilai-nilai luhur. Namun, dalam praktik di lapangan, guru justru kesulitan memainkan peran pembina nilai. Ruang itu semakin sempit karena tekanan dari luar: orang tua yang sensitif, masyarakat yang cepat bereaksi, hingga sistem hukum yang belum sepenuhnya memahami dinamika ruang kelas.
Tugas mendidik—dalam arti membentuk sikap, membenahi perilaku, membangun tanggung jawab—menjadi beban berat ketika tidak dibarengi perlindungan. Guru yang menegur bisa dituduh kasar. Guru yang membatasi bisa dianggap menekan hak siswa. Maka wajar jika banyak guru kemudian memilih jalur aman: selesaikan materi, hindari konflik, biarkan karakter berkembang sendiri. Padahal, siapa pun yang pernah berdiri di depan kelas tahu, karakter tidak bisa dibiarkan tumbuh liar.
Ketimpangan Perlindungan terhadap Profesi Guru
Dalam tatanan ideal, guru memiliki otoritas moral di ruang kelas. Namun dalam kenyataan, posisi itu kian rapuh. Ketika seorang siswa merasa tersinggung, ketika orang tua tidak berkenan, atau ketika potongan video beredar tanpa konteks, guru bisa tiba-tiba menjadi terdakwa opini publik. Banyak kasus yang berakhir tanpa pembuktian, tetapi kerusakan sudah terjadi: reputasi hancur, kepercayaan hilang, dan dalam beberapa kasus, karier pun tamat.
Yang menyedihkan, proses ini sering terjadi tanpa ada lembaga yang benar-benar berpihak kepada guru. Serikat guru lemah, sistem perlindungan hukum lamban, dan birokrasi pendidikan lebih sibuk menghindari konflik daripada menyelesaikannya. Akibatnya, guru harus berjalan sendiri di atas garis tipis antara ketegasan dan ketakutan.
Padahal, jika profesi ini ingin tetap bermartabat, maka perlindungan terhadap guru bukan sekadar opsi—melainkan prasyarat. Tanpa rasa aman, tidak ada ketegasan. Tanpa ketegasan, tidak akan pernah lahir generasi berkarakter.
Realitas Sosial dan Psikologis Guru di Lapangan
Menjadi guru hari ini menuntut lebih dari sekadar kompetensi akademik. Guru harus kuat secara mental, luwes secara sosial, dan tahan banting secara emosional. Namun di balik profesionalisme itu, banyak guru yang sesungguhnya berada dalam kondisi sosial yang rentan. Gaji yang tidak layak, beban kerja yang terus bertambah, dan ekspektasi publik yang kian tinggi—semuanya menyatu dalam satu tekanan psikologis yang tidak mudah ditanggung.
Dalam situasi seperti ini, wajar jika banyak guru akhirnya memilih menjadi “pengajar” saja, bukan “pendidik”. Mereka datang ke sekolah, menyampaikan materi, lalu pulang dengan membawa kekhawatiran. Keterlibatan emosional terhadap siswa makin dikurangi, karena makin besar kedekatan, makin besar pula risiko ketika terjadi kesalahpahaman. Guru menjadi sosok fungsional, bukan figur inspiratif. Ini bukan pilihan, melainkan mekanisme bertahan.
Arah Solusi dan Harapan
Namun, pesimisme bukanlah jalan keluar. Di tengah berbagai tantangan itu, tetap ada harapan untuk membalik keadaan. Pertama, negara perlu hadir secara nyata dalam melindungi profesi guru—bukan hanya lewat peraturan, tetapi melalui mekanisme respons cepat, pendampingan hukum, dan edukasi publik yang memadai. Masyarakat pun perlu diberi pemahaman tentang batas-batas yang wajar antara hak siswa dan wewenang guru.
Kedua, guru perlu diberdayakan kembali bukan hanya sebagai pelaksana kurikulum, tetapi sebagai aktor moral dalam proses pendidikan. Ini hanya bisa tercapai jika kepercayaan publik dipulihkan. Dan kepercayaan tidak lahir dari ketakutan—ia tumbuh dari dialog, transparansi, dan kerja sama yang sehat antara sekolah, orang tua, dan masyarakat.
Ketiga, perlunya peran organisasi guru dan komunitas profesional untuk saling menguatkan, saling menjaga, dan menciptakan ruang reflektif yang sehat. Karena tidak semua suara guru bisa terdengar di ruang formal, maka suara itu harus diperkuat di ruang komunitas. Guru yang merasa didengar akan lebih siap untuk kembali bersuara.
Penutup
Dalam diamnya sebagian guru hari ini, sesungguhnya ada jeritan panjang yang tertahan. Jeritan yang tidak selalu muncul di berita, tapi terasa di ruang-ruang kelas: ketika disiplin tidak lagi dijalankan, ketika keberanian mulai ditinggalkan, dan ketika idealisme perlahan memudar. Ini bukan karena guru tidak peduli, tetapi karena sistem tidak memberi ruang untuk peduli.
Sudah saatnya bangsa ini bertanya: siapa yang sebenarnya melindungi guru? Jika pendidikan karakter tetap ingin menjadi fondasi bangsa ini, maka karakter pertama yang harus dibela adalah karakter guru itu sendiri—agar mereka bisa berdiri tegak, membentuk generasi, tanpa harus terus-menerus merasa dalam bahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?