REARTIKULASI KEINTELEKTUALAN
DOSEN PERGERAKAN
Oleh :
Dr. Khoiron As_Saidany
Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Malang
Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan
Mantan Wakil Sekretaris Muktamar Pemikiran Dosen Alumni PMII
OPINI | JATIMSATUNEWS.COM: Pada tanggal 15-17 Mei 2025 ini, Asosiasi Dosen Pergerakan atau ADP menyelenggarakan event Harlah ke-4 berdirinya organisasi dosen yang alumni PMII se-Indonesia. Sebuah umur yang saya kira masih baru atau sangat muda jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi kecendekiawanan lainnya seperti ICMI. ADP tentu mempunyai kerja-kerja keintelektualan yang berbeda dengan organisasi lainnya. Namun, jika diperkenankan untuk ”urun rembuk”, menurut saya ADP tidak boleh kemudian larut dalam pekerjaan yang itu-itu saja. Sebab, jika kaum intelektual ini tidak mampu menawarkan wacana-wacana alternatif di tengah perdebatan isu yang muncul, maka organisasi ini akan dinilai banyak kalangan tidak lagi relevan, atau cukup seperti ini saja.
Apa perlu mendirikan organisasi dosen alumni PMII lagi yang lebih progresif, independen dalam nalar dan gagasannya? Entahlahh saya juga belum paham, tapi ide-ide itu ada saja yang berseliweran. Sebab, beroganisasi di akhir zaman ini seolah menjadi kebutuhan, yah...kebutuhan BKD, jabatan fungsional atau ditampilkan waktu pengukuhuan Guru Besar.
Sebelum membahas reartikulasi keintelektualan, saya perlu menyampaikan sejarah berdirinya Asosiasi Dosen Pergerakan atau ADP versi saya. Para sahabat yang lain bisa juga menulis dengan versi yang berbeda-beda. Hal ini penting, agar klaim-klaim kebenaran yang muncul dipermukaan mendapatkan perbandingan yang cukup dan sepadan.
Pada tahun 2020, saya masuk dalam group dosen alumni PMII. Entah siapa yang memasukkan nomor saya, saya sendiri sampai sekarang juga lupa. Waktu itu, di dalam benak saya, WAG ini cukup bagus jika ditindaklanjuti dengan sebuah event untuk mempertemukan para akademisi yang alumni PMII se-Indonesia.
Sebab, publik mafhum bagaimana IKA-PMII di seluruh pelosok negeri yang isinya banyak dari kalangan politisi, teknokrat, pengusaha dan lain-lain, namun tidak banyak di isi oleh kalangan akademisi yang bekerja dalam nalar keilmuan. Dalam benak saya waktu itu, waaaah WAG ini menarik jadi wadah para akademisi, sambil reunian dengan para pejabat kampus yang rektor atau profesor.
Informasi yang saya terima, WA group ini adalah ide dari sahabat-sahabat alumni PMII Sleman Yogja, di antaranya kalau tidak salah ada sahabat Tobroni, Citra dan Ali formen pada tahun 2018. Meski terkesan ”eksklusif”, sebab hanya dosen dan alumni PMII, namun dosen alumni PMII ini sebenarnya mempunyai logika berfikir yang saya kira cukup inklusif. Oleh karena itu, kesan pertama saya ketika masuk di group ini adalah adanya ruang dealektika dari para cendekiawan yang nanti akan mengisi ruang publik dengan pemikiran-pemikiran kritisnya.
Saat itu, sekitar tahun 2020 group telah berulang kali menggagas Muktamar atau semacamnya. Namun, berkali-kali pula ”gatot” alias ”gagal total”. Mungkin para sahabat belum merasa perlu, atau tidak perlu dibuat sebuah wadah bagi dosen alumni PMII se-Indonesia. Sebab mereka sudah asyik dengan dunia akademik yang penuh dengan capaian-capaian hebatnya. Ada yang sudah jadi rektor, ada yang sudah profesor dan ada yang sedang studi Ph.D di luar negeri yang tidak memerlukan lagi pemikiran kritis seperti waktu masih menjadi mahasiswa kader PMII.
Dalam sebuah guyunan alm. Gus Dur ketika ditanya soal perbedaan PMII dan HMI, kata Gus Dur bahwa kader PMII dinilai tidak tahu apa yang mau dikerjakan. Dari sinilah, saya memahami bagaimana kaum intelektual yang akademisi dan alumni PMII ini seharusnya berfikir kritis dan menelaah lebih dalam persoalan apa yang mau dikerjakan oleh kader-kader alumni PMII ini. Maksud saya, tetap saja kita menjadi akademisi, sambil lalu kita menawarkan wacana-wacana alternatif bagi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Dari peran inilah saya kira ADP menjadi cukup relevan untuk diperjuangkan.
Kembali soal sejarah lahirnya ADP, bahwa dari kegagalan menyelenggarakan sebuah event Muktamar itu, saya berinisiatif untuk menjapri sahabat Nur Rais (unwahas) sekitar bulan agustus awal (chat masih ada) dan segera mengelist nama-nama sahabat perwakilan kampus diberbagai daerah di Indonesia. Waktu itu saya katakan kepada sahabat Nur rois, (chat masih ada) pengalaman saya mendirikan ASDANU Indonesia tahun 2017, cukup 5-8 provinsi keterwakilan peserta dalam event semacam deklarasi/muktamar.
Dari hasil diskusi kecil itu, pada akhir bulan Agustus 2020 kita mendapatkan sekitar 7-8 orang yang mengelist nama keterwakilan kampus dari berbagai daerah untuk menjadi panitia inti pada Muktamar pemikiran dosen alumni PMII. Tidak lama, nama-nama yang telah bersedia menjadi panitia inti tersebut melakukan rapat perdana di akhir bulan agustus 2020 dan yang hadir saat itu antara lain ada sahabat Nur rois (Unwahas), saya sendiri (Khoiron_Unisma), Noor harisudin (IAIN Jember), Citra orwella (IAIN Kediri) dan Idi warsah (IAIN Curup). Setelah diskusi panjang lebar, penggerak utama Muktamar ini memilih kepantiaan yang semua sepakat kepada sahabat Prof. Haris (UIN Jember) sebagai ketua, dan sahabat Prof. Idi warsah (curup) sebagai sekretaris. Saya dan Nur rois sebagai wakil sekretaris dan Citra (IAIN Kediri) sebagai bendahara. Dalam perjalanan kepanitiaan, bendahara kemudian diamanahkan kepada sahabati Dr. Ida Farida dari (IAIN Samarinda), dan Citra sebagai wakil bendahara. Kepanitian berlanjut untuk mencari sahabat-sahabat lain yang senior untuk menjadi bagian dari pada kepanitian Muktamar ini. Walhasil Muktamar pun terlaksana, dan organisasi para dosen yang alumni PMII resmi lahir di Tulungagung Jawa Timur bulan April tahun 2021.
Reartikulasi Keintelektualan
Setelah 4 tahun ini, apa yang lebih ideal dikerjakan oleh para dosen alumni PMII ini melalui ADP? Tentu sudah banyak yang dianggap ideal, dan saya tidak hafal semuanya. Hanya saja, menurut hemat saya perlu kita untuk semacam menyegarkan kembali nalar keintelektualan kita agar peran dan kontribusi ADP ke-depan jauh lebih berdampak di tengah arus berbagai wacana yang telah lama mendekte, mempengaruhi serta menentukan sikap dan perilaku kita semua yang mengklaim sebagai ”intelektual”. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Padahal, keintelektualan itu bukan sesuatu yang dimiliki, direbut atau diwariskan. Jika menggunakan nalar kaum post-strukturalis, keintelektulan kita itu muncul justru hanya ketika dipergunakan di tengah pergulatan pemikiran atau wacana pada ruang dan waktu tertentu. Jadi, kalau kita mengklaim diri sebagai intelektual, dimensinya adalah sejauh mana kita mendayagunakan nalar kritis kita dalam ruang perdebatan, dan menawarkan wacana alternatif baru bagi kehidupan umat manusia. Laah..katanya kaum intelektual itu kaum pemikir, maka sudah seharusnya berpikir untuk memproduksi pengetahuan dan menawarkannya ke-ruang publik.
Dari sinilah, saya kira kedigdayaan atau ”atsar” dari kaum pemikir yang alumni PMII dalam mendayagunakan nalar kritis dan progresifnya melalui ADP sebagai wadah artikulasi keintelektualan kita semua. Saya kira itu, dan tulisan ini tidak bermaksud mereduksi kerja-kerja kita, namun saya kira perlu kita pikirkan ulang, apa maksud didirikannya organisasi mulia ini ditengah derasnya arus informasi, dan kita semua berhak untuk menyimpulkan sendiri-sendiri atas kinerja kita selama 4 tahun terakhir ini.
Selamat Harlah ADP yang ke-4, kaum intelektual masa depan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?