Ketika “Hajar Jahanam” Memicu Bara: Refleksi atas Polemik Tambang dan Marwah Jam’iyah
OPINI | JATIMSATUNEWS.COM: Beberapa pekan terakhir, jagat maya diramaikan oleh polemik yang melibatkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Perdebatan yang sejatinya bersifat internal jam’iyah itu justru menjelma menjadi konsumsi publik, lengkap dengan silang pendapat, tafsir, bahkan saling curiga di ruang digital. Situasi ini tentu mengundang keprihatinan, bukan karena NU asing dengan perbedaan, melainkan karena kegaduhan tersebut berpotensi menggerus marwah jam’iyah yang selama ini dikenal teduh dan menyejukkan.
Konon, salah satu sumber polemik itu bermula dari kebijakan negara yang memberikan konsesi tambang—khususnya batu bara—kepada sejumlah organisasi kemasyarakatan keagamaan, termasuk NU dan Muhammadiyah. Kebijakan ini, pada satu sisi, dimaksudkan sebagai ikhtiar negara untuk membantu pembiayaan ormas-ormas besar yang telah terbukti berjasa bagi bangsa, terutama dalam bidang pendidikan, dakwah, dan penguatan kapasitas sumber daya manusia.
Secara niat, kebijakan tersebut dapat dipahami. Ormas keagamaan telah lama menjadi mitra strategis negara, bahkan sering kali hadir lebih awal ketika negara belum sepenuhnya mampu menjangkau masyarakat. Namun dalam praktiknya, khusus bagi NU, konsesi tambang itu justru memunculkan mudharat yang tidak kecil: konflik internal, perbedaan tafsir, dan polarisasi di kalangan warga jam’iyah.
Batu Bara dan Bara Konflik
Menarik untuk direnungkan, dalam bahasa Arab fushah, batu bara diterjemahkan menjadi "Fahmun Hajariyyun" (Kamus Indonésia Arab, Asad M. Alkali 1987 hal.46). Namun boleh juga diterjemahkan secara simbolik sebagai hajar naar atau bahkan hajar jahanam—batu api, batu yang membara. Secara harfiah, ia adalah sumber energi; tetapi secara simbolik, ia juga menyimpan potensi api yang membakar jika tidak dikelola dengan bijak.
Bagi jamaah haji atau umrah, istilah hajar jahanam mungkin terasa akrab. Tidak sedikit pedagang di Tanah Suci yang menawarkan “batu ajaib” ini sebagai barang dagangan, konon berkhasiat meningkatkan vitalitas pria. Klaim tersebut, entah benar atau tidak, belum pernah terbukti secara ilmiah. Namun faktanya, banyak jamaah Indonesia tetap tertarik membelinya—barangkali karena sugesti, barangkali karena harapan.
Apakah hajar jahanam yang diklaim sebagai “obat kuat” itu memiliki kaitan dengan hajar jahanam berupa batu bara yang kini memicu bara konflik di tubuh PBNU? Wallahu a’lam. Namun sebagai simbol, ia cukup menggugah: sesuatu yang diyakini membawa manfaat, justru berpotensi menyalakan api jika salah niat, salah kelola, atau salah tempat.
NU, Kekuasaan, dan Jarak Etis
Sejarah panjang NU menunjukkan bahwa jam’iyah ini selalu menjaga jarak etis dengan kekuasaan. NU pernah berada sangat dekat dengan negara, tetapi juga pernah mengambil jarak demi menjaga independensi moral. Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah, maslahat tidak hanya diukur dari manfaat material, tetapi juga dari dampaknya terhadap ukhuwah, keadaban, dan persatuan umat.
Di sinilah letak persoalan konsesi tambang itu. Ketika manfaat yang dijanjikan belum terasa nyata, sementara mudharat berupa konflik internal justru tampak jelas, maka refleksi menjadi keniscayaan. Bukan untuk menyalahkan, apalagi menghakimi, melainkan untuk bertanya dengan jujur: apakah jalan ini sejalan dengan khittah, ruh, dan khidmah NU?
Menjaga Jam’iyah dari Bara yang Membakar
NU adalah rumah besar. Di dalamnya ada kiai, santri, akademisi, petani, nelayan, pedagang kecil, dan warga biasa yang menggantungkan harapan pada keteduhan jam’iyah. Ketika elite berdebat keras di ruang publik, yang retak bukan hanya struktur, tetapi juga rasa memiliki warga di akar rumput.
Karena itu, polemik ini semestinya menjadi momentum muhasabah. Tidak semua yang tampak menguntungkan secara ekonomi otomatis membawa maslahat jam’iyah. Tidak semua konsesi harus diterima, apalagi jika berpotensi menggerus persatuan dan mengundang fitnah di ruang publik.
Batu bara boleh saja menjadi sumber energi bagi negara, tetapi bagi jam’iyah, ia bisa berubah menjadi bara konflik jika tidak diletakkan pada tempat yang tepat.
Penutup
NU tidak kekurangan sumber kekuatan. Pendidikan, dakwah, jaringan sosial, dan kepercayaan umat adalah modal jauh lebih berharga daripada konsesi tambang mana pun. Tantangan hari ini bukan sekadar bagaimana membiayai organisasi, tetapi bagaimana menjaga marwah, persatuan, dan keteladanan di tengah godaan kekuasaan dan ekonomi.
Jika hajar jahanam benar-benar adalah batu api, maka tugas kita adalah memastikan ia tidak membakar rumah sendiri.
Wallahu a’lam bish-shawab.
---
Refleksi:
Edy Purwanto Achmad
Ketua PCNU Kota Singkawang



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?