Imung dan Sasetya Berkolaborasi Luncurkan Antologi Cerpen
SURABAYA | JATIMSATUNEWS.COM: Untuk kedua kalinya jurnalis senior Imung Mulyanto dan Sasetya Wilutama berkolaborasi meluncurkan buku. Kali ini sama-sama berupa buku antologi cerpen. Imung meluncurkan antologi cerpen “Runtah” dan Sasetya meluncurkan “Wali Katon,” kumpulan cerpen dan cerita cekak (berbahasa Jawa).
Peluncuran dua buku antologi cerpen tersebut berlangsung di Quds Royal Hotel, Jl. Sultan Iskandar Muda 85 (kawasan Ampel) Surabaya, Rabo (17/12).
Sebelumnya pada kolaborasi pertama, pada bulan September lalu, dilaksanakan di kampus Stikosa AWS. Saat itu Imung meluncurkan antologi puisi “Tuhan, Plis Deh...” dan Sasetya meluncurkan kumpulan esai “Wong Katrok Merambah Media.”
Kali ini, peluncuran dua buku itu dilaksanakan di tengah festival“Secangkir Kopi, Sejuta Ide”bersamaan dengan peluncuran Quds Coffee Corner di hotel tersebut.
RM Pungky Kusuma, General Manager hotel di Surabaya Utara ini memang kreatif. Dia memadukan peluncuran buku dengan pembukaan pameran lukisan bertajuk "Bingkai Masa" karya Edi Marga, Budi AN, Luthfi Satako dan Dewi Ulantina. Dipadu juga dengan dengan menghadirkan musik keroncong besutan seniman teater Meimura. Sedangkan dresscode bertema nuansa Jawa busana tempo dulu, sehingga suasana acara terlihat unik dan kenarik. Sambil ngopi dan mengudap kue maryam, audiens yang hadir tampak sangat menikmati jalannya acara.
Dalam sambutannya sebagai host Pungky menyatakan, hotel yang dipimpinnya sangat terbuka sebagai ajang mengekspresikan ide-ide, menggelar karya-karya para seniman, dan aneka kegiatan budaya lainnya. “Monggo, silahkan, kami siap bekerja sama dengan siapa saja,” ujarnya di depan audiens yang kebanyakan seniman dari berbagai bidang dan jurnalis.
Cerpen Jurnalistik
Buku Imung Mulyanto, “Runtah,” berisi sembilan judul cerita pendek yang sebagian besar belum pernah dipublikasikan kecuali “Tidur Panjang” yang berkisah tentang betapa pentingnya sebuah harapan, meskipun kecil agar orang tetap bertahan hidup dalam kondisi sesulit apa pun.
Mengapa disebut cerpen jurnalistik? “Sebagaimana karya jurnalistik, cerpen-cerpen saya kebanyakan ada news peg-nya, ada cantelannya, ada konteksnya. Atau dengan kata lain, kontekstual. Bahwa kemudian ada yang menjadi universal, itu sama sekali tak terpikirkan di saat menulis. Hal yang selalu tebersit dalam benak saya, sebagai jurnalis karya saya tak boleh lepas dari konteks masyakat. Syukur-syukur bermanfaat bagi masyarakat,” jawab mantan redaktur Surabaya Post dan GM Arek TV ini.
Hal lainnya, saat hendak menulis cerpen, Imung menjalani proses sebagaimana seorang jurnalis. Dia mengumpulkan data dengan riset dokumentasi, observasi, dan sesekali interview. Bedanya, bahan baku faktual itu bukan lantas ditulis atau direkonstruksi sebagaimana saat menulis berita, tetapi diendapkan untuk kemudian direfleksikan menjadi karya fiksi.
“Setelah tidak menjadi jurnalis yang selalu diburu-buru deadline, sekarang saya punya cukup waktu untuk kontemplasi dan sublimasi. Jadilah karya-karya saya sekarang berupa cerpen, puisi, dan novel,” tutur mantan penulis film seri AKu Cinta Indonesia (ACI) yang legendaris di tahun 1980-an ini.
Mantan Tim Ahli Dinas Kominfo Jatim ini menyadari, kaidah penulisan jurnalistik dan prosa atau puisi sangatlah berbeda. Karya jurnalistik berdasarkan fakta faktual, fenomena, atau opini, prosa atau puisi murni fiksi atau hasil imajinasi.
“Inilah eksperimen saya. Saya mencoba menyisipkan data faktual di antara fiksi hasil imajinasi. Hasilnya terserah pembaca. Mungkin ada yang suka karena memperkaya, tetapi bisa jadi ada yang merasa terganggu karena perjalanan alur cerita menjadi tidak mulus,” kata anggota komunitas Wartawan Usia Emas (Warumas) yang sudah meluncurkan tujuh antologi puisi ini.
Dr. Wawan Setiawan, Dosen Unesa yang juga sastrawan dalam cacatan pengantarnya juga mengingatkan, eksperimen memasukkan data sebagaimana sifat karya jurnalistik, terkadang memang mengganggu.
“Tetapi pembaca boleh memilih sikap yang mana, sebagai pembaca tradisional atau sebagai pembaca yang suka kekayaan info empiris. Pembaca tradisional mungkin bersikap yang pertama,” katanya.
Namun Adriono, editor buku ini menyebut, membaca kumpulan cerpen ini sungguh asyik karena sang penulis memiliki kepiwaian dalam mengolah cerita. Intronya dibikin memikat, sehingga memancing minat baca.
“Tentu ini point penting, mengingat tabiat pembaca zaman now yang tidak sabaran: segera scroll-scroll pindah mencari tulisan lain, begitu melihat alinea awal yang tidak memikat,” katanya.
Sebagian cerpen dimulai dengan kalimat langsung yang efektif untuk membetot perhatian. Seperti “Maling…. maling….!” (Runtah), atau “Cak... Cak Sipan... bangun, Cak!” (Tidur Panjang). Boleh jadi ciri khas ini terbentuk karena penulis juga seorang penulis skenario tv/film kawakan. Di dunia sinema, trik ini dikenal dengan konsep opening hook, yaitu adegan pembuka yang memang dirancang untuk mengundang curiosity, rasa ingin tahu penonton.
Kemungkinan kedua, jurus ini juga dipengaruhi oleh kaidah penulisan jurnalistik, mengingat penulis juga sosok wartawan senior. Di dunia pers dikenal istilah lead. Artinya, alinea pertama berita haruslah menohok, menyentuh, atau minimal bikin kepo.
Diakui atau tidak, kata Adriono, latar belakang profesi penulis memang memengaruhi karyanya. Kebiasaan sebagai jurnalis yang gemar melacak data dan menggali referensi, membuat beberapa cerpennya ikut bermuatan informasi. Muncul angka statistik jumlah napi yang tertangkap KPK, jumlah ponsel pintar di dunia, spesifikasi ilmiah biawak (varanus salvator), juga ciri-ciri penderita post power syndrome. Cerpen-cerpennya juga bersinggungan dengan isu aktual dan berkaitan dengan situasi kekinian seperti fenomena #KaburAjaDulu, SDG’s, restoratif justice, termasuk nasib perih pasien BPJS.
“Sah-sah saja, meskipun bagi sebagian orang mungkin penambahan referensi seperti itu dinilai dapat mengurangi taste sastranya,” ujarnya.
Pada cerpen “Runtah” yang dipilih sebagai judul buku, problem sampah tidak saja disajikan sebagai masalah konkret yang membelit tokoh-tokohnya, tetap ditarik naik hingga menjadi konseptual, filosofis, dan simbolik. Tak lupa disertakan pandangan reflektif Greg Kennedy hingga pemikiran eksistensialis Martin Heidegger.
“Mungkin karena alasan itu kemudian Imung menyebut antologinya ini sebagai kumpulan Cerpen Jurnalistik. Akhirnya, selamat menikmati berbagai kisah manusia dari berbagai strata ini. Mulai dari cerita tukang becak, pengantin baru kelas menengah, hingga president director perusahaan level multinasional, yang ternyata mereka memiliki satu kesamaan: sama-sama punya keruwetan hidup sendiri-sendiri,” kata editor dan penulis yang sangat produktif ini.
Pertanda ‘Bangun Tidur’
Akan halnya Sasetya Wilutama, penulis “Wali Katon” mengaku, kumpulan cerpen dan cerkak ini ibarat pertanda “bangun tidur,” maksudnya menandai masa “bangun tidur” dalam dunia tulis menulis, khususnya sastra.
“Tahun-tahun sebelumnya saya tertidur karena kesibukan yang sangat padat sebagai pekerja televisi dan berbagai masalah lain. Saya nyaris vakum dari kegiatan menulis sastra,” kata mantan redaktur majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat ini dan Produser Creatif SCTV ini .***



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?