Banner Iklan

Ikirim Mengurai Stres Akademik Melalui Healing di Malang: Apa Kata Neurosains tentang Otak yang Lelah?

Eko Rudianto
09 Desember 2025 | 20.20 WIB Last Updated 2025-12-10T02:49:13Z

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM : Laptop belum tertutup, jam sudah lewat tengah malam, notifikasi tugas dan WA grup masih berdenting. Di kepala, daftar to-do seperti tidak ada habisnya. Bagi banyak mahasiswa, suasana ini terasa sangat akrab. Neurosains menjelaskan bahwa kondisi “otak kewalahan” seperti ini bukan sekadar lelah biasa, melainkan sinyal serius dari sistem stres tubuh yang bekerja terlalu keras. Dan kabar baiknya: salah satu “obat” paling murah dan menyenangkan justru bisa ditemukan di luar kampus—di hutan pinus, air terjun, bahkan di langit Kota Batu.

Ketika Tugas Menumpuk, Apa yang Terjadi di Otak?

Saat dikejar tenggat tugas, ujian, skripsi, dan ekspektasi nilai tinggi, otak membaca semua itu sebagai ancaman. Bagian otak bernama amigdala—“alarm emosional” tubuh—menyala dan memberi sinyal bahaya. Tubuh kemudian mengaktifkan sistem stres: detak jantung meningkat, napas menjadi lebih cepat, otot menegang, dan hormon stres seperti kortisol serta adrenalin dilepaskan.
Dalam jangka pendek, respons ini bisa membantu fokus. Namun ketika stres akademik menjadi kronis—minggu demi minggu, semester demi semester—kortisol yang terlalu sering naik justru mengganggu kerja prefrontal cortex (pusat logika dan pengambilan keputusan) dan hipokampus (pusat memori). Penelitian menunjukkan bahwa stres yang berkepanjangan dapat menurunkan konsentrasi, mengganggu memori kerja, dan meningkatkan risiko kecemasan maupun depresi. Tidak heran jika banyak mahasiswa mengeluh: “Materi makin susah, tapi otak rasanya makin ‘buntu’.”

Angka Stres Akademik: Masalah Serius, Bukan Keluhan Individual
Berbagai kajian menunjukkan bahwa stres akademik bukan fenomena satu dua kampus saja. Secara global, persentase mahasiswa yang mengalami stres akademik diperkirakan berada di kisaran 38–71%, dengan Asia sekitar 39,6–61,3% (Ambarwati, 2019). Di Indonesia, beberapa kajian merangkum angka prevalensi sekitar 36,7–71,6% mahasiswa mengalami stres akademik (Saifudin, 2023) Stres akademik muncul bukan hanya karena sulitnya materi, melainkan kombinasi tuntutan IPK, adaptasi lingkungan baru, masalah keuangan, beban kerja sambil kuliah, hingga tekanan sosial. Artinya, ketika mahasiswa merasa kewalahan, itu bukan tanda mereka “lemah”, melainkan cerminan kondisi struktural dan beban belajar yang memang berat.

Mengapa Liburan dan Healing Bisa Menolong Otak?
Dari kacamata neurosains, liburan yang tepat bukan sekadar “kabur sebentar dari masalah”, tapi tombol reset alami buat otak. Sebuah riset di Jerman menemukan bahwa jalan santai selama satu jam di alam hijau mampu menurunkan aktivitas amigdala—bagian otak yang berperan sebagai alarm bahaya dan pusat rasa cemas. Menariknya, ketika kegiatan yang sama dilakukan di tengah hiruk pikuk kota, efek menenangkannya tidak muncul. Artinya, saat amigdala lebih tenang, seluruh sistem alarm stres di tubuh ikut menurunkan volumenya.
Penelitian lain tentang forest travel dan forest therapy pada mahasiswa juga menunjukkan hal serupa. Aktivitas sederhana di hutan—melangkah di jalur setapak, menghirup udara segar, mendengar suara daun dan burung, sampai sekadar duduk memandangi hijau pepohonan—terbukti menurunkan tekanan darah, menstabilkan heart rate variability (HRV), mengurangi rasa cemas dan lelah, sekaligus memperbaiki mood dan kejernihan pikiran. Buat mahasiswa, efek nyatanya bisa terasa ketika malam hari bisa tidur lebih nyenyak, bangun dengan kepala lebih ringan, dan esoknya mampu fokus lagi menghadapi tugas, kuis, dan skripsi yang menunggu di meja belajar. Berikut adalah contoh gejala stres dan coping healing yang bisa kamu terapkan. 


Level stres & gambaran

Contoh gejala utama

Coping harian (di rumah/ kampus)

Healing alam tenang (green / blue nature)

Healing petualangan / adrenalin*

Level 0 – Eustres / Stres rendah (adaptif)

- Deg-degan menjelang ujian tapi masih terkendali \n- Fokus masih baik \n- Tidur & makan normal

- Manajemen waktu belajar (blok 60–90 menit + istirahat 5–10 menit) \n- Latihan napas pelan 2–5 menit saat mulai tegang \n- Tetap jaga tidur 7–9 jam

- Melihat warna hijau: tanaman, foto/VR alam, atau jalan di taman 10–20 menit/hari → sudah terbukti menurunkan kortisol & meningkatkan mood.(Frontiers) \n- Duduk di ruang terbuka kampus (taman, halaman hijau) 10–15 menit di sela kuliah

- Belum perlu aktivitas ekstrem; cukup olahraga ringan (jalan cepat/sepeda 20–30 menit, 3–5x/minggu) untuk menjaga regulasi stres dan tidur

Level 1 – Stres ringan–sedang \n*(mulai mengganggu tapi masih fungsi)*

- Cemas ringan, tegang, mudah capek \n- Kadang sulit tidur, pikiran “kepenuhan” \n- Masih mampu kuliah, tapi kualitas belajar menurun

- Kombinasi problem-focused coping (prioritaskan tugas, pecah tugas besar jadi unit kecil) & emotion-focused (journaling, curhat dengan teman/mentor) \n- Batasi layar & notifikasi minimal 1 jam sebelum tidur \n- Jadwalkan micro-restorative break: keluar ruangan, lihat langit/pepohonan tiap 2–3 jam belajar

- Paparan hijau 20–30 menit, 3x/minggu (taman kampus, jalur hijau, duduk di dekat air/fountain) → studi menunjukkan 20–30 menit interaksi dengan alam efektif menurunkan hormon stres.(Harvard Health) \n- Jalan kaki 30–60 menit di area hijau (kampus/hutan kota) 1x/minggu; 1 jam jalan di alam terbukti menurunkan aktivitas amigdala (pusat stres) dan memperbaiki kinerja kognitif.(PMC)

- Aktivitas “seru tapi ringan”: flying fox, sepeda downhill lembut, wahana permainan sederhana 1x/2–4 minggu \n- Durasi cukup 2–5 menit per wahana: pola yang mirip dengan studi roller coaster yang menunjukkan lonjakan emosi diikuti pelepasan ketegangan (emotional reset).

Level 2 – Stres menengah / berkepanjangan \n*(resiko burnout; ini yang Ibu contohkan “butuh liburan 1–3 hari”)*

- Susah tidur ≥3 malam/minggu, sering sakit kepala/panas dingin \n- Prokrastinasi, sulit fokus walau sudah duduk belajar \n- Menarik diri dari teman, merasa “kosong” atau sinis pada kuliah \n- Nilai & produktivitas mulai turun nyata

- Review ulang beban akademik (re-arrange KRS, kurangi aktivitas non-prioritas) \n- Mulai konseling (BK kampus/psikolog) bila gejala bertahan >2 minggu \n- Latihan relaksasi terstruktur (mindfulness, napas diafragma 10–15 menit/hari) \n- Jadwalkan jam kerja otak dan jam off yang jelas setiap hari

- Liburan singkat 1–3 hari di lingkungan hijau (pegunungan, pantai yang tenang) → konsisten dengan studi travel & rekreasi pada mahasiswa yang menunjukkan penurunan stres dan peningkatan kebahagiaan setelah 1–7 hari liburan. \n - Idealnya: minim gawai, banyak paparan hijau/biru (gunung, hutan, laut). \n- Program “forest healing” terstruktur ala campus forest: jalan di hutan, stretching, latihan napas, meditasi ringan 1 jam/minggu selama ±8 minggu, seperti pada studi Kim dkk. yang menurunkan respons stres dan meningkatkan well-being mahasiswa. \n- Bisa pakai pola populer “20-5-3 rule”: 20 menit di hijau lokal (3x/minggu), ±5 jam/bulan di alam yang lebih “liar”, dan ±3 hari/tahun benar-benar unplug dari tuntutan kerja/kuliah.(Tom's Guide)

- 1 hari aktivitas outdoor intens setiap 1–2 bulan: rafting, hiking menanjak, high rope, theme park. Studi menunjukkan travel & rekreasi aktif mengurangi stres dan meningkatkan life satisfaction. \n- Kombinasikan dengan 1 hari tambahan untuk istirahat pasca-aktivitas agar tubuh dan otak sempat “cooling down”. \n- Penting: tetap pastikan keamanan, kondisi fisik layak, dan tidak digunakan sebagai pelarian untuk menghindari semua masalah akademik (setelah pulang tetap ada fase merapikan strategi belajar).

Level 3 – Stres berat / krisis \n*(indikasi masalah klinis)*

- Hampir tiap hari: sulit bangun, menangis, sangat putus asa \n- Tidak mampu menyelesaikan tugas harian sederhana \n- Gangguan tidur berat (insomnia/hipersomnia), nafsu makan berubah drastis \n- Muncul pikiran “hidup tidak berarti”, atau ide menyakiti diri

- Prioritas utama: bantuan profesional → psikolog/psikia-ter, layanan konseling kampus, hotline krisis \n- Mungkin perlu cuti akademik sementara \n- Libatkan keluarga/teman dekat sebagai sistem dukungan \n- Intervensi medis/psikologis (psikoterapi, bila perlu obat) untuk menurunkan level stres ke zona aman

- Healing alam hanya pendukung, bukan terapi utama. \n- Disarankan: lingkungan alam yang sangat tenang, dengan pendampingan (mis. tinggal 3–7 hari di rumah keluarga di desa/daerah sejuk) setelah ada penilaian tenaga profesional. \n- Kajian liburan menemukan bahwa cuti 1–2 minggu dapat meningkatkan well-being dan mengurangi burnout, tapi efeknya sementara bila sumber stres tidak diatasi.

- Hindari dulu wahana ekstrem/adrenalin tinggi jika ada kecemasan berat, serangan panik, atau gangguan jantung/tekanan darah. \n- Fokus pada aktivitas pelan: jalan pagi pelan di taman, duduk di pinggir danau/sungai, yoga ringan; semua dengan izin dokter bila ada komorbid medis.


Anda Bisa Mencoba Rekomendasi Dua Gaya Healing: Tenang vs Pemacu Adrenalin

Berdasarkan berbagai kajian tentang wisata alam, petualangan, dan kesehatan mental, pola pelepasan stres yang populer di kalangan anak muda dan mahasiswa dapat dipetakan menjadi dua gaya utama.


1. Healing ke Tempat yang Damai

Ini adalah pilihan bagi mereka yang ingin:

memperlambat ritme hidup,

merasakan hening dan kesunyian yang menenangkan,

mengistirahatkan sistem saraf dari kebisingan dan notifikasi terus-menerus.


Neurosains menunjukkan bahwa paparan lanskap hijau, suara air, dan udara sejuk membantu:

menurunkan aktivitas amigdala,

mengaktifkan sistem saraf parasimpatik (mode istirahat dan pemulihan),

meningkatkan perhatian yang tenang (soft fascination), di mana otak bisa mengembalikan energi tanpa harus fokus secara intens.

Penelitian tentang wisata alam dan kesehatan mental juga menemukan bahwa traveling ke destinasi alam berhubungan dengan penurunan stres, peningkatan kebahagiaan, dan kepuasan hidup pada mahasiswa.


2. Healing lewat Aktivitas Ekstrem dan Petualangan

Di sisi lain, ada kelompok yang justru merasa “hidup kembali” saat:

ikut arung jeram,

terjun tandem paralayang,

atau mencoba offroad di jalur tanah berbukit.


Penelitian mengenai adventure tourism dan program petualangan berbasis luar ruang pada mahasiswa menemukan bahwa aktivitas yang menantang secara fisik ini dapat:

menurunkan tingkat stres psikologis setelah kegiatan,

meningkatkan rasa percaya diri dan self-efficacy,

membangun resiliensi, rasa mampu mengatasi tantangan hidup.

Secara neurologis, kegiatan yang memicu adrenalin tetapi berlangsung dalam konteks yang relatif aman dan terkontrol dapat memberikan “ledakan” dopamin dan endorfin, hormon yang terkait dengan rasa senang dan pencapaian. Setelahnya, tubuh mengalami fase relaksasi yang justru terasa sangat menenangkan. Kuncinya tetap sama: porsi yang wajar, keamanan yang terjaga, dan tidak menjadikan wisata ekstrem sebagai pelarian permanen dari masalah akademik.



Malang–Batu: Laboratorium Healing di Ruang Terbuka

Bagi mahasiswa di Malang Raya, keberuntungan ada di lokasi. Kawasan Malang–Batu pada dasarnya adalah “laboratorium hidup” untuk menguji dua gaya healing tadi: tenang dan ekstrem.


Berikut beberapa rekomendasi yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan otak dan hati.


A. Untuk Otak yang Butuh Tenang: Wisata Damai di Alam


1. Taman Rekreasi 


Beberapa rekomendasi taman rekreasi di Malang seperti Florawisata Santerra De Laponte, Brakseng, dan Selecta menghadirkan suasana pegunungan yang sejuk, taman bunga yang rimbun, kolam renang ringan, dan udara terbuka yang menyegarkan kombinasi yang ideal untuk membantu otak menurunkan hormon kortisol dan memulihkan keseimbangan mental.


1. Coban Rondo – Pujon

 Salah satu ikon wisata alam Malang dengan air terjun sekitar 84 meter di tengah hutan pinus yang sejuk. Area sekitar dilengkapi taman, labirin, dan ruang terbuka hijau yang cocok untuk piknik santai, membaca buku, atau sekadar duduk mendengarkan suara air terjun.


2. Kawasan Hutan Pinus & Perkemahan di sekitar Batu

 Sejumlah kawasan coban dan perkemahan di Batu menawarkan suasana hutan pinus yang tenang, cocok untuk camping ringan, sesi journaling, atau diskusi santai bersama teman satu angkatan. Menghabiskan satu malam di alam terbuka bisa menjadi “reset button” untuk otak yang penat.


B. Untuk Otak yang Butuh Tantangan: Wisata Pemacu Adrenalin


1. Paralayang Gunung Banyak – Kota Batu

 Terletak di ketinggian lebih dari 1.300 mdpl, Gunung Banyak dikenal sebagai salah satu spot paralayang terbaik di Jawa Timur. Dari sini, pengunjung bisa terbang tandem ditemani instruktur profesional, sekaligus menikmati panorama Kota Batu di bawah. Sensasi “melayang di udara” sering digambarkan pengunjung sebagai cara melepaskan penat yang sangat cathartic—teriak sepuasnya, lalu turun dengan senyum lega.


2. Kaliwatu Rafting – Batu

 Mengalir di sungai berjeram di dataran tinggi Batu, Kaliwatu dikenal sebagai destinasi rafting dengan konsep wisata petualangan dan pelatihan pengembangan sumber daya manusia. Bagi mahasiswa, rafting bisa menjadi sarana team building: belajar kerja sama, komunikasi, dan manajemen risiko, sekaligus melepaskan stres lewat tawa dan percikan air.


3. Offroad & Wahana Petualangan di Sekitar Coban Talun

 Beberapa penyedia wisata menawarkan paket offroad di kawasan Coban Talun dan sekitarnya, menjelajahi jalur tanah berlumpur dan tanjakan ekstrem dengan mobil jeep.

 


Tips Healing Cerdas bagi Mahasiswa


Agar liburan benar-benar membantu memulihkan otak, bukan sekadar menunda stres, beberapa hal ini patut diperhatikan:


1. Kenali kebutuhan diri

 Jika tubuh terasa sangat lelah, sulit tidur, dan sering sakit kepala, healing tenang di alam hijau mungkin lebih tepat. Jika justru merasa “mati rasa” dan butuh pemicu semangat, aktivitas petualangan bisa membantu.


2. Batasi distraksi digital

 Manfaatkan momen di alam sebagai kesempatan digital detox. Kurangi membuka email kampus dan grup tugas selama beberapa jam pertama.


3. Rencanakan “re-entry” ke dunia akademik

 Setelah pulang, luangkan waktu untuk merapikan jadwal, memetakan ulang prioritas, dan menata strategi belajar. Otak yang lebih segar akan jauh lebih efektif jika diikuti manajemen waktu yang lebih terstruktur.


4. Cari dukungan, bukan hanya pelarian

 Healing penting, tetapi bukan satu-satunya jawaban. Konsultasi dengan dosen pembimbing, biro konseling kampus, atau tenaga profesional tetap krusial jika stres sudah mengganggu fungsi sehari-hari.

Liburan Bukan Kemewahan, Melainkan Investasi Otak

Dari sudut pandang neurosains, healing bukan tren media sosial semata. Jalan-jalan ke air terjun, duduk tenang di hutan pinus, atau sekali seumur hidup terbang di langit Batu adalah cara konkret membantu otak yang lelah memproses ulang stres akademik yang menumpuk.

Ketika mahasiswa memberi ruang bagi otak untuk beristirahat di alam—baik melalui ketenangan Coban Talun dan Coban Rondo, maupun adrenalin Gunung Banyak dan Kaliwatu Rafting—mereka sesungguhnya sedang berinvestasi pada kesehatan mental, kemampuan belajar, dan masa depan akademiknya.


Jadi, sebelum tubuh dan pikiran benar-benar tumbang, mungkin sudah waktunya menambahkan satu agenda di kalender kuliah: “Jadwal healing otak di Malang–Batu.”


Ditulis oleh : Zahra Firdaus, M.Pd (Mahasiswa S3 Pendidikan Biologi, UM)


Sumber referensi:

Fentahun, T., Abate, T., Fekadu, S., et al. (2025). Burden of perceived stress among university students in Africa: A systematic review and meta-analysis. BMC Public Health, 25, 2248.

Godoy, L. D., Rossignoli, M. T., Delfino-Pereira, P., Garcia-Cairasco, N., & de Lima Umeoka, E. H. (2018). A comprehensive overview on stress neurobiology: Basic concepts and clinical implications. Frontiers in Behavioral Neuroscience, 12, 127.

Habibah, U., et al. (2021). Depression, anxiety, and stress among university students in Indonesia. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(2), 130–141.

He, M., Hu, Y., Wen, Y., Wang, X., Wei, Y., Sheng, G., & Wang, G. (2024). The impacts of forest therapy on the physical and mental health of college students: A review. Forests, 15(4), 682.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Situasi kesehatan jiwa di Indonesia. InfoDATIN, Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI.

Kim, J. G., Jeon, J., & Shin, W. S. (2021). The influence of forest activities in a university campus forest on students’ psychological effects. International Journal of Environmental Research and Public Health, 18, 2457.

Sudimac, S., Sale, V., & Kühn, S. (2022). How nature nurtures: Amygdala activity decreases as the result of a one-hour walk in nature. Molecular Psychiatry, 27, 4446–4453.

Tim Badan Litbangkes. (2018). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.

World Health Organization. (2021). Adolescent mental health. Geneva: WHO.

Xiang, J., et al. (2025). The impact of physical activity on academic burnout in college students: A moderated mediation model. Frontiers in Psychology, 16, 1681455.

Chang, W.-Y., Wang, X., Guo, D.-S., Nguyen, L.-H.-P., Tran, N.-H., Yang, S.-J., Lin, H.-Z., & Wu, H.-C. (2024). Explore the effects of forest travel activities on university students’ stress affection. Frontiers in Psychology, 14, 1240499.

Eskiler, E., Yildiz, Y., & Ayhan, C. (2019). The effect of leisure benefits on leisure satisfaction: Extreme sports. Turkish Journal of Sport and Exercise, 21(1), 16–20.



Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ikirim Mengurai Stres Akademik Melalui Healing di Malang: Apa Kata Neurosains tentang Otak yang Lelah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now