DPD RI Cantik Lia Istifhama Soroti 53 Ribu Penipuan Belanja Online, Desak Pengesahan RUU Perlindungan Konsumen
JAKARTA| JATIMSATUNEWS.COM: Lonjakan penipuan digital yang merugikan masyarakat hingga triliunan rupiah dalam satu tahun terakhir membuat perlindungan konsumen kembali menjadi sorotan nasional. Anggota DPD RI asal Jawa Timur yang dikenal sebagai DPD RI Cantik Lia Istifhama menegaskan perlunya percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan Konsumen sebagai payung hukum baru untuk menghadapi maraknya kejahatan siber di era perdagangan digital.
Data dari Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan OJK mencatat lebih dari 180 ribu laporan penipuan digital sejak November 2024 hingga pertengahan Oktober 2025. Dari jumlah tersebut, terdapat 53.900 laporan yang berasal dari modus belanja online dengan rata-rata kerugian mencapai Rp 18,33 juta per korban .
Situasi ini menandakan bahwa ruang digital semakin tidak aman bagi konsumen, terutama tanpa regulasi yang tegas dan berkelanjutan.
YLKI juga mencatat 124 pengaduan e-commerce selama tahun 2023 , mencakup refund tidak diproses (23,4%), penipuan/pembobolan (14,8%), hingga barang tidak dikirim (5,5%).
Sementara itu, data Kementerian Perdagangan menunjukkan 20.942 pengaduan konsumen periode 2022–Maret 2025 , dan lebih dari 92 persen di antaranya terkait transaksi bold.
Menyikapi situasi tersebut, DPD RI Cantik Lia Istifhama menegaskan bahwa UU Perlindungan Konsumen Tahun 1999 sudah tidak relevan lagi dengan tantangan digital saat ini.
“ Tanpa aturan modern, konsumen semakin rentan terhadap penipuan, barang terbatas, hingga pemalsuan produk ,” tegas Ning Lia, yang juga keponakan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
Ia menambahkan, kasus-kasus ekstrem masih sering terjadi, seperti konsumen yang memesan iPhone tetapi menerima sabun mandi atau pembeli ponsel yang mendapatkan barang tidak sesuai deskripsi.
“ Banyak masyarakat yang akhirnya malas melapor karena prosesnya yang panjang, mahal, dan belum efektif, terutama untuk transaksi lintas negara ,” ujarnya.
Ning Lia menyebut contoh negara lain seperti Cina yang menerapkan sistem pengaduan ketat. Produsen yang tidak menanggapi keluhan konsumen dapat menjatuhkan hukuman:
- Denda tinggi
- Sanksi administratif
- Hingga ditarik izin usaha
Menurutnya, Indonesia memerlukan ketegasan serupa untuk menjaga ekosistem digital tetap sehat dan melindungi masyarakat dari kerugian yang berulang.
Menurut dokter ekonomi Islam UINSA tersebut, RUU Perlindungan Konsumen tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga memberi kepastian hukum bagi pelaku usaha .
“Dengan aturan baru nanti, hak konsumen semakin kuat, pelaku usaha pun nyaman berinovasi tanpa rasa dirugikan ,” jelasnya.
Ia juga menyoroti maraknya peredaran produk yang berakhir di platform bold akibat lemahnya pengawasan dan minimnya aturan detail.
DPD RI Cantik Lia Istifhama menegaskan bahwa perlindungan konsumen di era digital harus mencakup:
- Keamanan data
- Kejelasan asal produk
- Tanggal produksi & masa berlaku
- Mekanisme penyimpanan
- Transparansi rantai pasok
Selain itu, edukasi literasi digital bagi masyarakat juga wajib diperkuat agar konsumen dapat mengenali potensi penipuan.
Ia berharap RUU Perlindungan Konsumen memperkuat koordinasi antara Kemendag, OJK, BPKN, dan Kemenkominfo , sehingga pengaduan konsumen dapat ditangani lebih cepat dan efektif.
Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag, Moga Simatupang , menegaskan bahwa UU 8/1999 sudah tidak relevan lagi .
“Mekanisme penyelesaian konflik konsumen sudah ada, namun belum efektif. Kami mendorong revisi aturan agar sesuai perkembangan zaman,” ujarnya. ***



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?