ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Dalam beberapa tahun belakangan ini, China muncul sebagai salah satu kekuatan utama dalam tatanan pembangunan global. Sejak diluncurkannya kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) oleh Presiden Xi Jinping pada 2013, China bertransformasi dari negara yang dulu menerima bantuan menjadi negara yang memberi bantuan (emerging donor). Konsep emerging donor sendiri merujuk pada negara yang sebelumnya kurang aktif sebagai pemberi bantuan (Foreign Aid), tetapi kini mulai aktif menyalurkan bantuan seperti pembiayaan, investasi dan kerjasama pembangunan. Seperti yang dijelaskan oleh Woods (2008) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa emerging donor seperti China cenderung mengusung prinsip “win-win” dan prinsip kerja sama selatan-selatan, walaupun dalam praktiknya bantuan tersebut dapat berkaitan dengan kepentingan nasional dan politik ekonomi.
Menurut laporan dari AidData, sejak tahun 2000-2023 China telah memberikan pembiayaan pembangunan sekitar USD 69,6 miliar di Indonesia dan menjadikannya sebagai salah satu negara penyumbang finansial pembangunan terbesar. Posisi China sebagai emerging donor semakin terlihat nyata dalam kebijakan BRI yang merupakan program strategis pembangunan konektivitas lintas-benua melalui jalur darat dan laut yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu mitra strategisnya. Berdasarkan laporan Green Finance & Development Center 2024, Indonesia menerima investasi sebesar USD 9,2 Miliar dan menjadi negara penerima bantuan terbesar dari BRI pada tahun tersebut.
Namun, muncul pertanyaan: Apakah motif China dalam menyalurkan bantuan investasi ini bersifat selfish atau selfless?
Dalam literatur bantuan luar negeri, Heinrich (2013) membagi dua motif utama dalam bantuan luar negeri yaitu: motif selfless (altruistik) dimana donor membantu karena kebutuhan penerima, dan motif selfish (kepentingan sendiri) dimana donor membantu karena mendapat keuntungan. Jika ditelusuri dari pandangan motif selfish, beberapa faktor mendukung pandangan bahwa BRI di Indonesia lebih banyak menguntungkan China. Contohnya dapat dilihat pada proyek industri nikel di kawasan Morowali dan proyek Weda Bay yang dibiayai oleh perusahaan dan bank asal China. Investasi tersebut memungkinkan China yang memiliki industri kendaraan listrik memperoleh langsung pasokan bahan baku baterai dengan lebih efisien. Selanjutnya, bentuk pembiayaan yang ada dalam program BRI lebih banyak berbentuk pinjaman ketimbang hibah. Menurut laporan AidData 2023, lebih dari 90 persen program pembiayaan BRI berbentuk pinjaman yang berorientasi pada keuntungan bunga pinjaman. Selain itu, banyak dari proyek BRI melibatkan kontraktor dan tenaga kerja asal China yang berarti sebagian besar dana investasi kembali berputar pada ekonomi China. Dalam konteks geopolitik dan diplomatik, BRI memiliki kepentingan terhadap Indonesia yang memiliki posisi strategis di jalur pelayaran Indo-Pasifik. Bantuan dan Investasi BRI berpotensi memperkuat bargaining power China dalam hubungan bilateral dengan Indonesia
Meski begitu, aspek motif selfless yang memberikan manfaat bagi Indonesia dalam kerangka proyek BRI juga tidak dapat diabaikan. Pemerintah Indonesia meyakini bahwa kerja sama dalam kerangka proyek BRI dapat mendorong kemajuan infrastruktur dan industri di tingkat nasional. Dalam sebuah wawancara, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, pernah menyampaikan bahwa kolaborasi BRI “memberikan kontribusi bagi penguatan perekonomian, inovasi, serta pengembangan sumber daya manusia di Indonesia”. Salah satu contoh nyatanya ialah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh). Walaupun menuai banyak pro-kontra, tidak dapat dipungkiri bahwa proyek tersebut membuka kesempatan transfer pengetahuan bagi insinyur dan tenaga kerja lokal.
Dengan demikian, motif dibalik pemberian bantuan luar negeri China kepada Indonesia dibawah payung BRI sesungguhnya memiliki sifat campuran dengan menggabungkan kolaborasi selatan-selatan dan realitas dari kepentingan ekonomi dan politik China sendiri. Namun dalam pelaksanaannya tampak bahwa motif selfish lebih mendominasi, terutama terkait dengan struktur pendanaan, kepemilikan proyek, dan prioritas yang lebih menguntungkan China secara strategis. Selanjutnya, tantangan utama bagi Indonesia adalah mencari cara untuk menangani perbedaan kepentingan ini. Pemerintah perlu memastikan bahwa bekerja sama dengan BRI tidak akan menciptakan ketergantungan baru, tetapi benar-benar membantu pembangunan jangka panjang dan memberikan manfaat yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Pada akhirnya, posisi China sebagai emerging donor melalui BRI menunjukkan perubahan besar dalam geopolitik bantuan Internasional. Bantuan luar negeri kini bukan hanya tentang kebaikan dan kemanusiaan, tetapi juga alat diplomasi ekonomi. Jika Indonesia mampu mengelola kerja sama ini dengan baik dan mengoptimalkan potensi selfless, maka Belt and Road Initiative dapat menjadi sarana pembangunan yang bermanfaat, bukan sebuah jebakan ketergantungan baru.
Penulis : Debby Shafira Br Ketaren



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?