Foto: Kompasiana.com
Penulis: Ulul Fahmi Rosyida
(Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Airlangga)
ARTIKEL | Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program prioritas pemerintah periode 2025-2029 yang bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan dan menyehatkan anak-anak bangsa melalui ditribusi makanan bergizi secara merata. Namun, belum berjalan genap 1 tahun program ini justru menuai banyak kontroversi. Data dari Center of Indonesia’s Strategic Development Strategic Initiatives (CISDI) mencatat sejak diluncurkan pada 6 Januari 2025 hingga pertengahan September, ada 5.626 kasus keracunan yang tersebar di 16 provinsi akibat konsumsi Makan Bergizi Gratis. Insiden ini membuktikan bahwa masalah bukan hanya sekedar “insiden kecil” tetapi sistemik yang membutuhkan evaluasi yang serius.
Pangkal masalah terletak pada ambisi target kuantitas. Pemerintah mengejar target 82,9 juta penerima Makan Bergizi Gratis pada akhir 2025. Target tersebut menjadi mesin pemicu eksekusi yang terburu-buru, sehingga kualitas tata kelola, evaluasi, dan protokol keamanan pangan menjadi korban. Ketika skala operasional diperluas dengan cepat tanpa dukungan sistem pengawasan yang memadai. Serapan anggaran pun jadi indikator problematika. Pada September 2025, realisasi anggaran MBG baru mencapai Rp 13,2 triliun dari pagu Rp 71 triliun. Maka di satu sisi dana besar dialokasikan, namun eksekusinya masih jauh dari harapan. Ini bisa diinterpretasikan sebagai ketidaksiapan struktural dan kelemahan pada desain organisasi.
Dibalik distribusi makanan setiap hari, pelaksana kerja seperti catering dan staf dapur, bekerja dibawah tekanan yang luar biasa. Mereka dituntut memasak dengan ribuan porsi dengan waktu yang singkat. kondisi ini, mereka sering mengalami kelelahan (burnout), stress kerja. Dalam kerangka Job Demand-Resources Model (JD-R) beban kerja (job demand) yang tinggi tanpa dukungan sumber daya memadai memicu kelelahan, menurunkan kewaspadaan, dan meningkatkan risiko kesalahan. Banyak pelaksana yang akhirnya mengambil dan terpaksa untuk mengambil jalan pintas (cutting corners). Misalnya, melanggar batas waktu penyimpanan makanan, mengabaikan prosedur kebersihan ketat, pengolahan makanan yang tidak sesuai demi mengejar target pengiriman yang cepat. Kelalaian kecil yang dipicu stres dan kelelahan inilah yang menjadi penyebab kontaminasi dan keracunan massal.
Dalam prepektif Human Factor, manusia bukan robot. Para pelaksana kerja seperti catering, staf dapur, pengemudi memerlukan pelatihan, prosedur baku, sistem pemantauan dan dukungan organisasi. Bila orang tanpa kompetensi memimpin atau memutuskan aspek teknis tanpa memahami elemen kritis seperti sanitasi, handling suhu, dan jadwal distribusi, potensi kesalahan tinggi terjadi.
Masalah ini diperburuk dengan institusi Badan Gizi Nasional yang seharusnya menjadi otoritas uatama program, idelanya dipimpin maupun diisi oleh para ahli gizi, ahli kesehatan masyarakat, pakar keamanan pangan dan manajer operasional yang paham akan teknis penyediaan makanan masaal. Namun kenyataanya banyak posisi manajerial dan pengendali program diisi oleh pensiunan militer atau pejabat non linier. Kritik publik dan media menyoroti bahwa kompetensi teknis digantikan oleh pertimbangan struktural dan politik. Model penempatan seperti ini sangat berpeluang menciptakan konflik kompetensi karena jabatan tidak disesuaikan dengan keahlian. Dalam kerangka Job Design, tugas yang kompleks seperti merancang menu gizi optimal, verifikasi dapur, pengawasan kualitas, distribusi pangan, dan manajemen risiko pangan semestinya dibagi ke unit-unit dengan spesialis yang kompeten.
Pemerintah sering mengklaim bahwa perbaikan terus dilakukan sepanjang pelaksanaan program. Setelah kasus keracunan, pemerintah memutuskan untuk menutup dapur yang tidak memiliki sertifikasi, melarang penggunaan produk olahan tertentu dan memperketat verivikasi mitra dapur. Namun kasus keracunan terus muncul, hal ini membuktikan bahwa perbaikan sementara belum cukup untuk merombak kelemahan mendasar. Menurut CISDI, klaim pemerintah bahwa perbaikan berjalan seiring eksekusi program hal ini terbukti gagal, karena kasus keracunan Makan Bergizi Gratis terus meningkat.
Untuk menyelamatkan program yang seharusnya melindungi hak pangan anak, langkah revolusioner diperlukan. Pertama, penataan ulang desain organisasi agar posisi manajerial teknis ditempati oleh ahli gizi, pakar keamanan pangan, dan manajer operasional yang berkompeten. Kedua, redesain job design dan prosedur operasional yang realistis, termasuk pembagian tugas yang memungkinkan pengawasan mutu berjalan efektif. Ketiga, penguatan human factor melalui pelatihan berkala dan pengaturan jam kerja. Keempat, penetapan skala distribusi yang sesuai dengan kapasitas pengawasan dan sumber daya yang ada. Tanpa itu semua, target ambisius 82,9 juta penerima hanya akan menjadi angka yang menjerumuskan. Publik pantas menuntut akuntabilitas penuh: dari alokasi anggaran besar, klaim perbaikan, hingga tanggung jawab negara atas korban keracunan. Bila tidak, program yang semestinya menjadi bukti komitmen negara terhadap hak pangan dan kesehatan justru malah menjadi ancaman bagi anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?