Rifai Mau Bayar Angsuran Ditolak, Warga Karangploso Gundah Rumahnya Akan Disita
MALANG | JATIMSATUNEWS.COM: Duka menyelimuti hati Muchamad Rifai, seorang lelaki tua asal Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Niat baiknya untuk melunasi tunggakan angsuran justru berbuah penolakan. Kini, ia hidup dalam bayang-bayang penyitaan rumah satu-satunya yang telah ia huni bertahun-tahun bersama istrinya.
Masalah ini bermula dari sebuah keputusan yang ia ambil demi menyelamatkan anaknya, Berryl, yang bekerja di salah satu bank swasta, PT. BPR E D M. Berryl diduga melakukan penggelapan dana hingga puluhan juta rupiah. Tak ingin sang anak berurusan dengan polisi, Rifai pun rela menjaminkan sertifikat rumahnya yang sebelumnya sudah tergadai di bank lain (Bank R) untuk mengajukan pinjaman baru di tempat anaknya bekerja (Bank EDM) — meskipun riwayat kreditnya sebelumnya sudah bermasalah.
“Waktu itu saya pikir, asal anak saya selamat dari penjara, tak apalah saya ambil alih utangnya. Rumah jadi jaminan juga saya terima,” kenangnya sedih.
Pinjaman sebesar Rp120 juta itu diambil awal tahun 2024. Namun, baru berjalan setahun lebih, angka kewajiban pelunasan melonjak drastis hingga mencapai Rp256 juta lebih, berdasarkan rincian dari pihak bank yang terdiri dari pokok pinjaman, bunga, denda, hingga biaya lain-lain.
Padahal, Rifai sempat mencoba mencicil. Ia telah menitipkan Rp11 juta dan berniat menambahkannya menjadi Rp40 juta ketika kondisi keuangan membaik. Namun niat itu kandas. Pihak bank menolak pembayaran tambahan dan malah menyampaikan surat pemberitahuan bahwa rumahnya akan segera disita dan dilelang melalui KPKNL.
“Sudah saya titip Rp9 juta, mau saya tambah jadi Rp40 juta malah nggak diterima. Malah langsung dikasih surat penyitaan,” ujar Rifai getir.
Kini, ia merasa terjepit. Di satu sisi, ia terpaksa mengikhlaskan anaknya untuk dilaporkan ke pihak berwajib agar bisa mengakhiri lingkaran persoalan ini. Di sisi lain, ancaman kehilangan tempat tinggal terus menghantuinya.
“Biarlah anak saya dipenjara, asal rumah tidak disita. Ini aneh. Masak anak saya dilaporkan polisi, rumah saya mau disita pula,” katanya sambil menahan air mata.
Rifai juga mempertanyakan peran asuransi penjamin kredit (Jamkrida) yang pernah ia bayar sekitar Rp4 juta saat pengajuan pinjaman. Menurutnya, asuransi itu seharusnya bisa melindungi atau membantu pelunasan di saat debitur kesulitan.
“Dulu saya disuruh tanda tangan bayar asuransi Jamkrida. Katanya buat jaga-jaga. Tapi sekarang kok tidak ada gunanya?” tanya Rifai dengan nada kecewa.
Kisah Muchamad Rifai bukan hanya tentang utang dan angka, tapi juga tentang pengorbanan seorang ayah, dilema moral, dan pertarungan hidup untuk mempertahankan satu-satunya atap yang menaungi keluarganya.
Masyarakat sekitar berharap pihak bank bersikap lebih bijak dan manusiawi. Sementara Rifai, kini hanya bisa berharap keadilan berpihak padanya — bukan hanya sebagai angka dalam laporan keuangan, tetapi sebagai manusia yang sedang berjuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?