![]() |
Senator 'Cantik', Lia Istifhama yang juga berlatar belakang musisi ini turut menyoroti polemik hak royalti lagu karya dalam negeri./Instagram @mimie_jamila88 |
SURABAYA | JATIMSATUNEWS.COM - Seperti diketahui, publik diviralkan dengan pemberitaan polemik royalti lagu yang tak kunjung usai.
Terbaru, persoalan royalti lagu merembet pada salah satu waralaba makanan terbesar di Indonesia, yaitu mie gacoan.
Penyebabnya adalah pemutaran beberapa lagu di gerai. Salah satunya gerai di Jalan Teuku Umar, Denpasar, yang memutar beberapa lagu seperti Tak Selalu Memiliki (Lyodra), Begini Begitu (Maliq & D'Essentials), Hapus Aku (Giring Nidji), Kupu-Kupu (Tiara Andini), dan Satu Bulan (Bernadya).
Meski kemudian, pelapor, yaitu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI), menyebut bahwa pemutaran lagu telah berlangsung sejak 2022.
Akibat dari laporan tersebut, Direktur PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan di Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tunggakan pembayaran royalti yang diperkirakan mencapai angka yang sangat fantastis, yaitu miliaran rupiah.
Tak ayal, hal ini pun menjadi atensi publik, tak terkecuali senator muda Indonesia, Lia Istifhama.
Politisi perempuan yang dikenal dengan tagline Cantik sebagai akronim dari Cerdas, Inovatif, dan Kreatif ini memang sebelumnya juga dikenal sebagai aktivis sekaligus musisi.
Di sela kegiatan resesnya pada Senin (28/7), Ning Lia, sapaan akrabnya, berharap tidak ada ambiguitas dalam penerapan hukum terkait hak royalti lagu.
“Kebetulan, saya termasuk bagian dari masyarakat yang mencintai musik. Saya memulai karir politik, diantaranya melalui dunia seni, saya mengisi acara festival pasar rakyat di berbagai kabupaten/kota dengan konsep seni rakyat, yaitu menyapa masyarakat dengan selingan lagu lokal asli Indonesia. Bagi saya ini tindakan positif karena sekaligus mengangkat local wisdom atau kearifan lokal. Namun ketika sekarang yang ramai adalah royalti musik, jujur saya termasuk masyarakat yang berharap ini jangan menjadikan musik lokal sebagai momok di tengah masyarakat," ungkap Lia Istifhama.
“Kita semua pasti menghargai sebuah maha karya pencipta lagu, dan salah satu bentuk menghargai karya mereka, adalah mendengarkannya. Jika sekarang kemudian rentan menjadi polemik, maka harapan saya diperjelas saja detail penerapannya. Contoh, jika sudah masuk platform sosial media seperti YouTube misalnya, maka itu seharusnya menjadi ruang aggregator atau platform medsos untuk mengolah berapa pendapatan bagi pencipta lagu per detik sebuah lagu diperdengarkan," lanjutnya.
“Nah, jika hitung-hitungan seperti itu masih belum jelas, maka ayo kita kembali ke konsep lama, yaitu memperjualbelikan lagu melalui kaset maupun CD atau compact disk. Jadi sudah ada nilai dalam setiap kaset atau CD yang kita beli. Kemudian jika masih kurang jelas perhitungan, maka dibuat saja link atau nomor kontak dalam sebuah lagu agar jika kita mau memperdengarkan atau membawakan dalam acara apa pun, kita bisa menghubungi terlebih dahulu kontak tersebut. Jadi jangan sampai kecintaan masyarakat dalam musik, berujung pidana. Atau dengan kata lain, jangan sampai ambiguitas aturan membuat musik lokal tak lagi familier di tengah telinga masyarakat," tutur Anggota DPD RI dapil Jawa Timur ini.
“Terkait tindakan komersial, saya kira itu tidak bisa dianggap semua sama rata. Seseorang memutar ataupun membawakan lagu dalam sebuah kegiatan, jangan dipukul komersial, tapi seyogyanya dinilai positif karena yang dibawakan lagu lokal. Namun jika masih sangat ambigu yakni mana lagu yang bebas copyright dan tidak, maka mungkin dipublikasikan saja, mana lagu di bawah naungan para pelapor, seperti yang dialami mie gacoan, mana yang tidak. Sehingga, setiap lapisan masyarakat mengetahui setiap konsekuensi dari setiap lagu yang ia bawakan di tengah acara santai maupun diperdengarkan di tempat umum, seperti warung kopi," jelas senator muda kelahiran 1984 ini.
“Sebenarnya saya sendiri sangat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan para pencipta lagu, tapi jangan sampai upaya memperjuangkan itu ternyata tidak efektif meningkatkan kesejahteraan mereka akibat banyak keterlibatan banyak pihak dalam proses perjuangan hak pencipta lagu. Yang berikutnya, jangan disamaratakan kegiatan rakyat atau kegiatan yang tidak menjual musik sebagai sumber pendapatan dengan yang memang menjual musik sebagai sumber pendapatan. Dalam hal ini, harus beda antara konser berbayar dengan konser amal atau pesta rakyat karena jika pesta rakyat dilarang memutar musik, apa bisa ramai pengunjung?
“Dan harapan saya, segala bentuk pelanggaran royalti jangan sampai dibebankan kepada pengamen yang selalu membawa lagu-lagu kesukaan mereka karena bagi saya jauh lebih mulia orang yang menjadi pengamen dengan menjual suara daripada pencuri maupun profesi lain yang menjual sesuatu hal secara haram,” tandasnya.
Sebagai informasi, Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) melalui laman resminya, merilis biaya lisensi untuk berbagai kegiatan, dari seminar hingga restoran, sebagai berikut ini.
Seminar dan konferensi komersial: Rp 500.000/hari dikali jumlah layar.
Restoran dan kafe: Rp 120.000/kursi/tahun.
Pub, bar, dan bistro: Rp 360.000/m2/tahun.
Diskotek dan klub malam: Rp 430.000/m2/tahun.
Konser berbayar: 2 persen x jumlah tiket terjual ditambah 1 persen x tiket yang digratiskan.
Konser tidak berbayar: 2 persen x biaya produksi musik, termasuk sewa panggung, fee artis, biaya lighting, dan biaya sound system.
Pameran dan bazar: Rp 1.500.000/hari.
Bioskop: Rp 3.600.000/layar.
Karaoke keluarga: Rp 3.600.000/room/tahun.
Karaoke eksekutif: Rp 15.000.000/room/tahun.
Karaoke Hall: Rp 6.000.000/room/tahun.
Karaoke kubus (box): Rp 600.000/room/tahun.
***
Editor: YAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?