![]() |
Lia Istifhama, Anggota DPD RI Jawa Timur mendukung fatwa MUI terhadap larangan sound horeg dengan catatan adanya sosialisasi edukatif agar tak terjadi kesalahpahaman./dok. JSN-ANS |
SURABAYA | JATIMSATUNEWS.COM - Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama, mengungkapkan dukungannya terhadap Fatwa Haram Sound Horeg yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.
Melalui Fatwa MUI Jatim Nomor 1 Tahun 2025, penggunaan sound horeg dinyatakan haram karena dinilai lebih banyak menimbulkan mudharat daripada manfaat.
Ning Lia, sapaan akrabnya, menilai langkah MUI dalam melarang penggunaan sound horeg merupakan tindakan tepat. Apalagi juga disertai dukungan dari aparat penegak hukum.
"Fatwa haram yang dikeluarkan MUI hadir di tengah masyarakat karena dinilai mudharatnya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Namun, hal ini juga perlu dimaknai sebagai peluang edukasi agar para pelaku usaha dapat beradaptasi," ungkap Ning Lia di tengah peresmian Kantor DPD RI Perwakilan Surabaya, pada Jumat (18/7).
Menurut pemilik tagline Cerdas Inovatif dan Kreatif (Cantik) ini, suara keras dari sound horeg yang melebihi ambang batas wajar bukan hanya mengganggu kenyamanan masyarakat, tetapi juga berpotensi membahayakan kesehatan. Termasuk merusak fasilitas umum, hingga memicu terjadinya kemaksiatan.
Pada fatwanya, MUI Jatim menyebutkan bahwa penggunaan sound horeg yang disertai musik dan joget pria-wanita, membuka aurat, serta menampilkan unsur kemungkaran, hukumnya haram.
Larangan ini berlaku baik di ruang publik, tempat terbatas, maupun saat digunakan berkeliling pemukiman warga.
Walau demikian, penggunaan sound system masih diperbolehkan untuk kegiatan positif seperti pengajian, shalawatan, resepsi pernikahan, dan aktivitas sosial lain dengan catatan intensitas suara wajar dan tidak disertai hal-hal yang diharamkan.
"MUI telah melakukan kajian mendalam sebelum mengeluarkan fatwa ini. Karena faktanya, sound horeg kerap menjadi sarana syiar al-fussaq, mendorong ikhtilath (campur baur lawan jenis), joget yang dilarang, dan membuka pintu maksiat lainnya," jelas Ning Lia yang juga merupakan pengurus MUI Jawa Timur.
Lia mengutip pandangan ulama dalam kitab Qalaid al-Kharaid yang menyatakan bahwa menjaga ketenangan publik adalah kewajiban.
"Jika anak-anak membuat gaduh dan mengganggu ketenangan warga, maka wali dan pemimpin wajib mencegah. Jika tidak, boleh dikenai hukuman ta’zir," bebernya.
Ia menegaskan bahwa gangguan dari sound horeg sudah masuk dalam kategori adh-dharar al-'am alias bahaya umum yang harus ditolak oleh syariat.
Ning Lia turut menyebut pandangan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna' al-Maulid bi al-Munkarat yang menyatakan bahwa acara keagamaan yang dibarengi dengan kemungkaran adalah haram, bahkan termasuk hanya hadir atau memberikan dukungan dana terhadapnya.
Namun, Lia juga mendorong agar pelaku usaha sound system tidak langsung tersingkir akibat fatwa ini.
Ia berharap ada pendekatan edukatif dan solusi pemberdayaan guna menghindari kesalahpahaman terhadap penafsiran dari fatwa MUI.
"Kita perlu pikirkan matang-matang. Jangan sampai larangan ini mematikan ekonomi warga, tapi justru jadi momentum untuk beralih ke usaha yang lebih bermanfaat dan selaras dengan nilai-nilai syariah," imbaunya.
Dirinya yakin jika pelaku usaha bisa beradaptasi dengan menghadirkan layanan sound system yang sesuai untuk kegiatan positif dan religius.
"Saya berharap penggunaan sound system dapat dialihkan untuk kepentingan yang lebih positif sesuai preferensi masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan yang matang agar langkah ini tidak sekadar menjadi larangan, tetapi juga mendorong solusi dan pemberdayaan," tandasnya. ***
Editor: YAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?