Banner Iklan

Petaka Relaas Tak Sampai PN Kota Pasuruan, Pelaku UMKM Pasuruan Bantal Harvest Dikirim Jaksa ke Lapas

Admin JSN
10 Juni 2025 | 20.55 WIB Last Updated 2025-06-11T10:45:57Z

Sahlan, (putih), Istri Deby Afandi dan Pelaku UMKM Asurban Asosiasi Kasur dan Bantal Sukorejo Pasuruan.

PASURUAN| JATIMSATUNEWS.COM: Deby Afandi, pelaku UMKM asal kota Malang yang memiliki usaha di Baujeng Beji Kabupaten Pasuruan,  dikenal melalui usaha bantal rumah tangga bermerek Harvest, harus menerima kenyataan pahit. Rumahnya tiba-tiba didatangi tiga mobil kejaksaan pada siang hari. Tanpa banyak bicara, Kepala Seksi Intelijen Kejari Kota Pasuruan, Eko, bersama jaksa eksekutor Dias Tasya Ulima, datang membawa surat perintah eksekusi, Selasa 10/5/2025.

Deby pun digiring ke Lapas Kelas IIB Kota Pasuruan untuk menjalani hukuman 10 bulan penjara dan denda Rp50 juta, berdasarkan putusan banding Pengadilan Tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Ironisnya, putusan banding itu terasa jauh lebih berat dibanding vonis awal Pengadilan Negeri Kota Pasuruan yang hanya menjatuhkan denda Rp50 juta tanpa pidana kurungan.

Tanpa perlawanan, Deby mengikuti proses itu dengan wajah terpukul. Ia tidak pernah menyangka akan menjalani hukuman fisik—bukan karena kalah berargumentasi di pengadilan, tapi karena tidak pernah tahu bahwa putusan banding itu telah keluar.

Kasus ini bermula dari laporan Fajar Yuristanto yang menuding Deby mendistribusikan produk bantal rumah tangga dengan merek Harvest secara ilegal, tanpa izin resmi, serta dengan pelabelan yang dianggap menyesatkan konsumen.

Deby sendiri memasarkan produk Harvest sejak 2019 sedangkan Fajar memiliki HAKI Harvest pada 2023 dan langsung menuntut Deby atas pasal persamaan pada pokoknya sesudah memperoleh legalitas.

Kalah di pengadilan niaga dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri Surabaya, justru Deby yang menang. Merek Harvesuxury milik pelapor, Fajar Yuristanto, dibatalkan oleh hakim karena didaftarkan dengan itikad tidak baik. Pengadilan mengakui bahwa Deby telah menggunakan merek Harvest secara sah sejak 2019, bahkan mendapatkan pengalihan hak resmi dari pemilik awal, Andrie Wongso, pada 2024.

Satu sisi menang, satu sisi lain masuk penjara. Inilah paradoks hukum yang menimpa Deby.

Masalah utama dalam tragedi penahanan ini bukan semata soal vonis, tapi soal prosedur. Kuasa hukum Deby, Sahlan Azwar, mengaku tidak pernah menerima relaas atau pemberitahuan resmi soal putusan banding tersebut—baik melalui surat, email, maupun pemberitahuan fisik sebagaimana mestinya.

“Satu-satunya yang disebut pemberitahuan itu cuma pesan WhatsApp dari staf pengadilan. Tapi saat diminta bukti? Mereka bilang pesannya sudah terhapus karena memori penuh,” ungkap Sahlan dengan nada getir menceritakan protesnya pada Pengadilan Negeri Kota Pasuruan.

Padahal, dalam perkara banding, tidak ada sidang terbuka. Para pihak tidak dipanggil ke persidangan. Artinya, relaas menjadi satu-satunya jalur informasi yang memberi hak pada terpidana untuk melakukan kasasi. Ketika relaas tak diterima, hak itu hilang.

Deby pun tidak sempat mengajukan kasasi. Batas waktu lewat. Yang tersisa hanya jalur Peninjauan Kembali (PK), yang prosesnya jauh lebih rumit, panjang, dan sulit.

Menurut Sahlan, di tengah gembar-gembor digitalisasi sistem peradilan, kasus Deby menjadi tamparan keras. 

"Kita memang hidup di zaman serba cepat dan praktis. Tapi efisiensi digital bukan alasan untuk mengabaikan prosedur formal. WhatsApp bukan media resmi pemberitahuan hukum.

Sistem bisa error. Jaringan bisa terganggu. Pesan bisa tidak terkirim. Tapi akibatnya nyata—seorang warga negara kehilangan hak hukumnya karena relaas tidak pernah sampai dengan cara yang sah," ujarnya.

Menurutnya, dalam dunia hukum, pemberitahuan bukan sekadar etika, tapi soal hak dasar. Hak untuk tahu. Hak untuk membela diri. Dan hak untuk mencari keadilan di tingkat yang lebih tinggi.

Bagi Sahlan di hadapan Asurban, Asosiasi Kasur dan Bantal kawan kawan sesama pelaku UMKM Deby Afandi, peristiwa ini mengungkap wajah muram sistem hukum yang kerap membingungkan masyarakat awam. 

"Pak Deby bukan penjahat kelas kakap. Ia pelaku UMKM yang tengah berjuang menjalankan usaha legal, dengan merek yang ia pakai secara sah. Namun, satu kelalaian administratif bisa membuatnya kehilangan kebebasan.

Jika relaas resmi digantikan oleh pesan singkat yang tidak bisa diverifikasi, maka rasa percaya publik pada keadilan perlahan akan luntur," ujarnya.

Hari ini Deby Afandi kehilangan hak kasasi karena satu pesan WhatsApp tak pernah terbaca. Bukan karena ia melawan hukum, tapi karena sistem hukum tidak memberi akses yang layak. Tragedi ini seharusnya tidak terjadi di negara hukum.

"Apa gunanya kecepatan digital jika prosedur dasar diabaikan? Apa gunanya efisiensi kalau keabsahan dikorbankan?

Deby bisa saja menjadi simbol dari korban sistem yang lebih besar," ucap Sahlan.

" Hari ini mungkin Deby. Besok, bisa siapa saja," keluhnya. Ans


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Petaka Relaas Tak Sampai PN Kota Pasuruan, Pelaku UMKM Pasuruan Bantal Harvest Dikirim Jaksa ke Lapas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now