ARTIKEL|JATIMSATUNEWS.COM - Tepat hari ini, 9 Mei 2025, UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) berusia 3 (tiga) tahun sejak ditetapkan dan diundangkan pada 9 Mei 2022 lalu. Sejumlah upaya terus dilakukan berbagai pihak untuk memastikan UU TPKS dilaksanakan. Untuk mengetahui penerapan UU TPKS untuk konteks femisida seksual (sexual femicide) dan memperkaya diskursus publik tentang femisida, The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), lembaga swadaya masyarakat yang mempromosikan keadilan sosial dalam pendidikan tinggi hukum melakukan monitoring media terhadap femisida seksual.
Menurut Renata Arianingtias, Badan Pengurus ILRC, monitoring media ini dilatarbelakangi laporan terbaru dari UNODC dan UN Women, yang menunjukkan bahwa femisida meningkat di seluruh dunia. Diperkirakan 85.000 perempuan yang dibunuh dengan sengaja, diantaranya 60 persen atau sekitar 51.100 dibunuh oleh pasangan intim atau anggota keluarga pada 2023.
Femisida secara sederhana adalah pembunuhan yang disengaja dengan motivasi terkait gender. Motivasi gender ini menjadi elemen utama untuk membedakanya dengan pembunuhan biasa. “Femisida menjadi manifestasi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang paling ekstrem dan brutal yang terjadi pada kontinum berbagai bentuk kekerasan baik fisik, psikis, seksual atau ekonomi yang saling terkait satu sama lain. Salah satu jenis femisida adalah femisida seksual (sexual femicide) yang sampai saat ini belum mendapatkan banyak perhatiaan,” menjelaskan alasan dan definisi femisida seksual.
Indikator femisida seksual adalah “terjadi kekerasan seksual sebelum, selama dan/atau sesudah pembunuhan korban” sebagaimana didefinisikan oleh PBB yang dapat berupa serangan seksual atau simbolis seperti membiarkan korban tanpa pakaian sebagian atau seluruhnya, dibuang atau diekspose di depan umum, hingga pemerkosaan dan mutilasi. Femisida seksual yang lekat dalam ingatan publik adalah Tragedi Mei 1998, Kasus Marsinah, Kasus Y di Bengkulu, Kasus pemerkosaan termasuk dengan cangkul di Tangerang dan terakhir Kasus Pedagang Gorengan di Sumatera Barat.
Siti Aminah Tardi, peneliti sekaligus Direktur ILRC menjelaskan bahwa dari monitoring pemberitaan online untuk periode 1 Januari sd 31 Desember 2024 setelah dilakukan penyaringan terdapat 18 (delapan belas) femisida seksual. Propinsi Jawa Barat menempati urutan teratas, disusul Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Untuk tempat terjadinya, femisida seksual umumnya terjadi di tempat publik dalam arti tempat yang bisa diakses atau dipergunakan oleh masyarakat yang mencapai 67%. Seperti di tempat pembuatan batu bata, kebun, hutan, pinggir parit, kuburan, kandang ayam, semak-semak, dan gubuk di sawah. Sementara untuk tempat privat terjadi di rumah korban atau pelaku yang mencapai 33%. Kondisi ini memperlihatkan tempat publik tidak aman dan dibutuhkan upaya-upaya pencegahan dan partisipasi publik untuk mengenali kekerasan di sekitarnya.
Dari sisi usia korban termuda berusia 7 tahun, yang tertua berusia 34 tahun. Sebagian besar korban berada pada rentang usia 18-35 tahun (42%) dan rentang usia anak 0-18 tahun (42%). Demikianhalnya pelaku sebagian besar juga berada pada rentang usia 18-35 tahun, disusul rentang usia 36-65 tahun. “Terdapat femisida seksual dengan gang rape yang dilakukan anak terhadap anak pada rentang usia 12-16 tahun, yang didorong oleh fantasi seksual akibat paparan pornografi. Hal ini memerlukan perhatiaan kita agar anak-anak tidak mengakses pornografi dan menolak ajakan teman sebaya untuk melakukan kekerasan seksual,” ujar Amik.
Lebih lanjut Amik yang juga tengah mempelajari femisida dalam berbagai konteks ini, menyampaikan dari monitoring ini diketahui relasi korban dan pelaku didominasi oeh teman (38%), pacar (29%), lain-lain (13%) anggota keluarga dan tetangga masing-masing (8%). Dengan demikian femisida yang paling banyak terjadi adalah femisida relasi intim yang mencapai 67% yang merupakan gabungan relasi pacar dan teman. Teman akan dikategorikan dalam femisida intim ketika didalamnya terdapat kekerasan seksual.
Sementara terkait cara pembunuhan dilakukan, dimana salah satu indikator femisida adalah sadistis, pada femisida seksual yang dimonitoring cara pembunuhan dilakukan melalui kekuatan fisik (39%), senjata tajam (17%), Penggunaan benda di sekitar pembunuhan (11%), gabungan cara yaitu kekuatan fisik dengan penggunaan benda di sekitar (28%) atau kekuatan fisik dengan senjata tajam (5%). Penggunaan kekuatan fisik seperti dicekik, dijambak, diikat, ditendang, diinjak-injak, dibenturkan, ditenggelamkan, dipiting, sampai leher dan tangan diikat. Benda-benda di sekitar tempat femisida berlangsung diantaranya tali, helm, bambu, balok kayu, kayu, sapu, meja. Selanjutnya salah satu elemen femisida seksual adalah adanya kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan yang dialami oleh korban.
Kekerasan seksual berdasarkan pengakuan pelaku diidentifikasikan terjadi sebelum, sepanjang kematian dan setelah kematian yang masing-masing terdapat 5 kasus (28%) dan terdapat masing-masing satu kasus dimana korban mengalami kekerasan seksual sebelum dan setelah kematian (5%) dan sepanjang dan setelah kematian (5%) atau korban mengalami lebih dari satu perkosaan. Kekerasan seksual yang terjadi sebelum kematian umumnya dilakukan untuk menghilangkan jejak kekerasan seksual yang dilakukan, sementara sepanjang kematian adalah korban mengalami kekerasan fisik terlebih dahulu sampai tidak sadarkan diri, lalu dilakukan perkosaan. Kekerasan seksual juga dilakukan ketika korban diketahui sudah tidak bernapas atau diduga sudah meninggal. “Terdapat kasus dimana korban gang rape, setelah tewas, pelaku memasukkan kayu ke dalam vagina korban, yang menunjukkan tubuh perempuan sebagai obyek penundukan dan penganiayaan”, Aminah menjelaskan elemen kekerasan seksual dalam femisida terhadap perempuan.
Dari pemantauan femisida seksual ini, nampak bahwa tempat publik menjadi ruang yang tidak aman, anak sebagai korban dan pelaku femisida seksual yang membutuhkan perhatiaan, fantasi seksual akibat paparan pornografi, penggunaan miras dan narkoba yang memperburuk kekerasan fisik dan/atau seksual. Kehadiran UU TPKS belum digunakan secara optimal, khususnya pada femisida seksual yang menimpa anak yang umumnya tidak dikaitkan dengan UU TPKS.
Renata mengingatkan kembali salah satu terobosan hukum UU TPKS adalah dijaminnya hak korban, hak keluarga korban dan hak anak atau tangungan dari korban. Dengan dihubungkan tindak pidana pembunuhan dalam KUHP, UU Perlindungan Anak dengan UU TPKS, berarti korban dan keluarga korban dijamin dan dilindungi hak-haknya berdasarkan UU TPKS. Hasil monitoring ini sekaligus mengingatkan agar peraturan pelaksana UU TPKS khususnya PP Pencegahan, Pelindungan, Penanganan dan Pemulihan (4P) dan RPP Dana Bantuan Korban (DBK) untuk segera disahkan, dan diintegrasikannya UU TPKS dalam tindak pidana lain yang didalamnya terdapat kekerasan seksual. Sekali lagi agar negara hadir untuk korban,keluarga korban kekerasan seksual, termasuk femisida seksual” tutupnya.
Narasumber: Renata Arianingtyas (0815-9108-870), Siti Aminah Tardi (081908174177)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?