Awal mula perbankan syariah secara internasional dapat ditelusuri dari Konferensi Dunia Bangsa-Bangsa Islam yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 21–27 April 1969. Konferensi ini dihadiri oleh 19 negara peserta dan menghasilkan keputusan penting mengenai perlunya sistem perbankan yang bebas dari unsur riba, serta beroperasi dengan prinsip bagi hasil dan pembagian risiko (profit and loss sharing). Sebagai bentuk komitmen terhadap prinsip-prinsip tersebut, konferensi merekomendasikan pendirian bank syariah yang sepenuhnya tidak mengenakan bunga. Namun, dalam masa transisi, bank konvensional yang berbasis bunga masih diperbolehkan beroperasi dalam kondisi sangat mendesak.
Meski membawa visi ekonomi Islam yang kuat, kebangkitan perbankan syariah tidak serta-merta diterima oleh semua pihak. Sejumlah kalangan meragukan kelayakan sistem keuangan tanpa bunga dalam praktiknya. Kekhawatiran muncul mengenai efektivitas operasional dan daya saing bank syariah dibandingkan bank konvensional. Namun, di sisi lain, bank syariah justru dinilai sebagai alternatif yang lebih adil dan beretika dari sistem ekonomi konvensional yang kerap dianggap eksploitatif dan menimbulkan ketimpangan.
Secara filosofis, pendirian bank syariah dilandasi oleh ajaran Islam yang secara tegas melarang praktik riba dalam segala bentuk transaksi, baik finansial maupun non-finansial. Dari sisi praktis, sistem bunga dinilai menyimpan kelemahan mendasar dalam menciptakan keadilan ekonomi. Nasabah dituntut membayar bunga tetap tanpa mempertimbangkan hasil usahanya, baik untung maupun rugi. Bahkan dalam kondisi merugi, kewajiban membayar bunga tetap harus dipenuhi, yang jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.
Lebih jauh, sistem bunga konvensional juga berdampak negatif pada struktur ekonomi secara keseluruhan. Bank cenderung hanya menyalurkan kredit kepada kalangan yang dianggap aman secara finansial, seperti perusahaan besar, sehingga pelaku usaha kecil dan menengah kesulitan mengakses pembiayaan. Akibatnya, ketimpangan sosial-ekonomi semakin melebar dan inovasi dari sektor UMKM terhambat karena tekanan beban utang dan risiko kegagalan usaha.
Perbankan syariah hadir membawa misi strategis: menyelaraskan aktivitas ekonomi dengan nilai-nilai Islam. Tujuan utamanya adalah menjauhkan umat dari praktik riba, penipuan (gharar), dan transaksi yang tidak etis. Di sisi lain, bank syariah juga mendorong keadilan distribusi pendapatan melalui sistem investasi yang berkeadilan, memberikan akses usaha yang lebih luas bagi masyarakat menengah ke bawah, serta meningkatkan kemandirian ekonomi umat.
Selain mengurangi ketimpangan, sistem perbankan syariah juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pengentasan kemiskinan dan menjaga stabilitas keuangan nasional. Dengan tidak mengandalkan bunga dan menjunjung tinggi transparansi serta keadilan dalam setiap transaksi, bank syariah mendukung kegiatan ekonomi riil dan menjauhi spekulasi. Hal ini menjadikan sistem syariah lebih stabil secara sosial dan ekonomi.
Dengan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, perkembangan perbankan syariah di Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk terus tumbuh. Dari sisi makroekonomi, sistem ini mampu menjadi kekuatan pendorong terciptanya stabilitas dan keadilan ekonomi nasional. Perbankan syariah tidak hanya menjadi solusi keuangan yang religius, tetapi juga menawarkan model ekonomi yang lebih manusiawi, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?