Lelaki Jahanam Part 8

Anis Hidayatie
25 Mei 2021 | 18.47 WIB Last Updated 2023-03-04T06:37:45Z

Hujan bergemuruh dalam dada, petir menyambar setiap otot penyangga. Nyeri tak tertahankan mendera. Tia menatap tak percaya, Wahyu berada tepat di hadapannya, tak lebih dari dua meter. Meskipun rambutnya tak lagi gondrong, sedikit cambang menghiasi dagu dan rahang, ia masih mengenali dengan baik. 

Sering ia berandai-andai, suatu saat bila bertemu dengan separuh jiwa, maka pelukan pertanda rindu akan menyambut. Kalau perlu, Tia rela membuang harga diri, berlutut untuk membuat suaminya kembali merajut mahligai yang terkoyak. Jauh di dasar hati, wanita itu masih menyimpan sebongkah cinta membara. 

Kenyataan pahit menerkam, Tia bahkan tidak sanggup menatap wajah kebingungan itu terlalu lama. Sandal japit hijau menjadi tumpuan saat tubuh kurus itu oleng, berusaha menenangkan debaran liar di dalam rongga dada, menenangkan diri. 

"Ibu, aku berangkat dulu. Nanti terlambat." Suara Aza menyadarkan Tia, membuatnya kembali menapak ke bumi. Melupakan sejenak hantaman luka. 

"Iya, Le. Hati-hati." 

Aza mengecup punggung tangan yang bergetar itu, mata beningnya melihat ke sosok yang masih berdiri terpaku. Pria itu juga menatapnya dengan mata menyipit. 

"Mari, Om," sapa Aza ramah, seulas senyum mampu membuat Wahyu membayangi tubuh kecilnya hingga berbelok di ujung jalan. Ketika ia menoleh ke depan, Tia sudah tidak berada di tempatnya. 

Deru matik mendekat, Dini datang dengan rambut berkibar tertiup angin. Setelah memarkir kendaraan, Dini menyelipkan tangannya di pinggang Wahyu. Mereka masuk ke dalam rumah, saling menatap penuh arti. Saat senyum Dini masih mengembang, wajah Wahyu perlahan berubah kaku. 

"Aku kangen sama kamu, Kevin." Dini melingkarkan lengannya pada leher kokoh Wahyu. Sedetik kemudian bibirnya terbuka, menunggu serangan dari lelaki yang selalu memuaskan dahaganya. Satu detik kemudian, mereka bergelung dalam kenikmatan terlarang. 

***

Tengah malam belum bergulir, Dini terlelap setelah tenaganya terkuras habis. Dengkur halus menggema, bersahutan dengan suara denging AC dalam temaram kamar. Wahyu sudah berpakaian lengkap, ia duduk di sofa warna gading sambil meneguk soda. Memerhatikan tubuh Dini di bawah selimut. Wanita kesepian yang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk dipuaskan. 

Empat tahun lalu, mereka bertemu di klub malam tempatnya bekerja. Wahyu hapal dengan ekspresi wanita yang butuh pelampiasan. Dengan mudah ia mendapatkan tubuh dan uang Dini. Rekening semakin menggendut. Wanita itu benar-benar royal dan tak segan memberi hadiah-hadiah mahal. Ia tak perlu repot-repot mencari mangsa lain, kantung emas anak pewaris beberapa pabrik makanan ringan itu sudah mencukupi segala kebutuhannya. 

Selama ini, tak pernah terbesit bayangan Tia, gadis desa yang membuatnya hampir gila. Ia bahkan tak ingat kalau pergi saat Tia mengandung benihnya. 

Sampai kejadiaan beberapa jam lalu sangat mengusik ketenangan. Bukan Tia yang terlihat jauh lebih tua dari usianya, tetapi senyuman bocah kecil yang mampu menggetarkan dada. Naluri yang tidak pernah dirasakan mendesak keluar. Kenyataan bahwa ia telah menjadi seorang ayah membuatnya tak percaya. 

Seorang anak. Anaknya. 

Garis melengkung menghiasi bibir tipis itu. Perlahan Wahyu berdiri, melangkah keluar dari kamar. Menuju ruangan mungil di depan air mancur buatan. 

Gulita. Rupanya Tia mematikan lampu dalam kamar. Korden tertutup rapat. Sayup terdengar suara isakan. Wahyu menurunkan tangan yang hendak mengetuk pintu. Sedikit penyesalan melintas, dengan cepat ditepis jauh-jauh. Ia sudah melupakan Tia sejak kabur dari kehidupannya bertahun-tahun lalu. 

***

Adzan Subuh mendayu, menelusuk ke dalam gendang telinga wanita yang tertidur di atas sajadah. Semalaman ia mengadukan deritanya kepada Sang Penenang Jiwa. Terhuyung kakinya melangkah ke kamar mandi setelah melepas mukena. Air wudhu sedikit menyegarkan wajahnya yang kuyu. Kembali ia memintal doa, berharap ada jalan keluar terbaik. 

Hari sudah terang ketika Tia keluar dari kamar, memulai pekerjaan yang sekarang terasa seperti memanggul dunia dan seisinya. Tinggal seatap dengan wanita yang berbagi kehangatan dengan Wahyu membuatnya mual. Tia cukup tahu diri kalau dia tidak akan pernah menang melawan Dini. 

Hanya ada satu jalan. Menyerah. 

Tia berharap Wahyu sudah pergi, sama seperti hari-hari sebelumnya. Alangkah kecewanya ia saat melihat mobil Wahyu masih terpakir. Ragu, Tia melangkah memasuki rumah. Sepi, seperti biasanya. Kamar Dini tertutup rapat. Hati Tia panas membayangkan lengan kekar suaminya memeluk Dini. 

Lantai dua, itulah satu-satu tempat yang bisa dijadikan pelarian. Saat hendak menaiki tangga, sosok Wahyu menghalangi. 

"Aku ingin bicara denganmu, Tia."

Suara yang begitu dirindukan Tia membelai telinganya. Ia ingin memeluk sekaligus menampar lelaki yang masih menguarkan pesona. 

"Nggak ada yang harus dibicarakan." Tercekat, bahkan wanita itu tak sanggup berkata banyak. 

"Siapa namanya?"

Tia menatap tajam manik hitam yang masih memenjarakan hatinya. Pura-pura tidak mendengar. Bibirnya terkatup rapat. 

"Siapa nama anak kita?" Kembali Wahyu bertanya. 

"Jangan berani-berani mendekati anakku. Dia tidak punya ayah bejat sepertimu!"

Tia mendorong Wahyu, ia berderap naik tangga. Tak menyadari kalau pintu kamar Dini sudah terbuka. 

Beberapa saat kemudian, terdengar deru mesin dinyalakan. Tia berlari menuju balkon, ia melihat mobil Wahyu meluncur pergi. 

***

"Tia, sebenarnya apa hubunganmu dengan Kevin?" Dini mendatangi Tia yang sedang memutar tuas mesin cuci. "Aku penasaran."

"Kevin? Kevin siapa, Nyonya?"

"Temanku barusan."

"Kenapa, Nyonya? Dia bukan siapa-siapa." 

"Kamu merahasiakan sesuatu dariku, Tia?"

Dini memutar bahu Tia yang sedari tadi memunggungi. Wajah pembantunya itu terlihat pucat, otot matanya bertonjolan. Seperti menahan luapan air mata. 

"Kamu pasti bertanya-tanya, kenapa aku memasukkan laki-laki lain dalam rumah."

"Itu bukan urusan saya, Nyonya. Bukankah Nyonya sendiri yang bilang kalau saya harus tutup mata dan telinga."

"Apa kamu membenciku, Tia?"

Tia terdiam. Sejujurnya ia ingin memaki perempuan gila yang begitu menawan ini. 

"Apa gunanya pendapat pembantu rendahan seperti saya, Nyonya?"

"Betul juga katamu. Buat apa aku minta pendapatmu. Kalau begitu, lakukan tugasmu dengan baik. Akhir minggu nanti akan kutambahi bonus."
Dini melenggang pergi. Meninggalkan keharuman Azalea di udara. Ia tak sanggup berdiri, kakinya lemas. Ia terduduk, menyandar pada mesin cuci yang bergetar. 

***

Sampai sore, Aza belum kelihatan batang hidungnya. Tia gelisah, ia minta ijin Dini untuk pergi ke musholla, menjemput putranya. Namun tempat itu sudah sepi. Abah Mahsun berkata bahwa para santri sudah pulang dari tadi pagi. 

Tia mencari Aza ke rumah teman-temannya. Tak ada seorangpun yang tahu. Mereka semua melihat Aza berjalan pulang setelah acara menginap bubar. Gelombang kecemasan menerjang, kali ini berlipat-lipat lebih dahsyat dibanding kejadian semalam. Tia berteriak-teriak memanggil nama Aza. Namun anak semata wayangnya itu tak pernah membalas panggilannya. Sampai matahari terbenam, Aza belum ditemukan. 

"Aza, di mana kamu, Nak?" Tia bersandar lemas di depan pagar rumah majikannya. Ia mengintip tempat sandal di depan kamarnya, tak ada jejak Aza. 

Beban yang selama ini ditahan akhirnya meledak. Tia terisak-isak sendirian. Tak memperdulikan nyamuk yang menggigit kulit, ataupun tetangga yang kebetulan lewat. 

"Tia, kamu kenapa?" Zain yang baru pulang kaget melihat Tia duduk bersimpuh sambil menangis. Ia berjongkok, ekspresi wajahnya kebingungan. 

"Aza hilang, Pak. Saya harus bagaimana?" jawab Tia tersendat, bahunya naik turun menahan guncangan. 

"Sudah berapa lama?"

"Harusnya Aza pulang tadi pagi, tapi sampai sekarang dia belum pulang. Aku takut terjadi sesuatu dengan Aza, Pak ...." Tangis Tia pecah lagi. 

Sebenarnya Zain ingin meringankan beban Tia dengan tepukan ringan di bahu atau sebuah pelukan . Tapi niat itu ia urungkan. Takut terjadi salah paham. Zain mengepalkan tangannya.

"Ayo aku bantu mencari Aza."

"Saya belum salat magrib, Pak. Tunggu sebentar." 

Entah kekuatan dari mana. Perlahan wanita itu berdiri. Ia berjalan menuju kamarnya dan menjalankan ibadah yang tak pernah ditinggalkan sejak selesai nifas. Dengan air mata berderai membasahi mukena, Tia mengadukan segala derita kepada Sang Penyembuh Lara. Berharap Dia menjaga Aza di manapun berada. Tia menitipkan keselamatan anaknya dalam genggaman-Nya. Tia percaya, kekuatan doa seorang ibu akan mengguncang kerajaan langit. 

Tiba-tiba sebuah harapan muncul. Tia tahu apa yang harus dilakukan. Ia melemparkan mukena dan berderap berlari keluar kamar. Matanya nyalang menuju ke sebuah tempat. Menemui seseorang yang mungkin mengetahui keberadaan Aza. 

Bersambung Part 9

Baca juga novel lainnya disini
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lelaki Jahanam Part 8

Trending Now