Lelaki Jahanam Part 9

Anis Hidayatie
04 Juni 2021 | 07.54 WIB Last Updated 2023-03-04T06:40:34Z

Apartemen nuansa mocca yang berada di wilayah Gunung Anyar berkilauan. Lampu-lampu ruko dan pusat perbelanjaan di sisi kanan kirinya membuat bangunan itu menjulang megah. Tepat di lantai tiga kamar nomer 25, Wahyu tengah bercengkrama dengan anak yang tak pernah ditemuinya selama sepuluh tahun. Mereka duduk bersila di atas permadani persia berwarna keemasan. Menghadap ke layar berkedip-kedip yang menempel di dinding. Tangan mereka asyik memencet tombol game. Konsentrasi pada permainan game sepak bola yang sedang seru. 

Pancaran kebahagiaan terlihat jelas dari wajah bocah berkulit putih itu, tak henti-henti mulutnya meneriakkan 'gol!' sambil menggerakkan kedua kaki bersamaan. Ekor mata Wahyu menangkap aura kegembiraan dari pori-pori kulit Aza. Pagi tadi setelah harga dirinya dicabik oleh Tia, Wahyu pergi membawa amarah. Marah karena kaget dengan kenyataan bahwa selama ini, dia telah mencampakkan ibu dari anaknya. Usia menjelang 40 tahun membuatnya banyak berpikir. Saatnya pensiun dari pekerjaan kotor dan memulai hidup baru. 

Saat hendak membuka pintu mobil, Wahyu melihat Aza berjalan dari kejauhan. Ia menunggu bocah itu mendekat dan mengajaknya serta. Saat keraguan menyelimuti, Wahyu langsung mengaku kalau di ayahnya. Dengan raut wajah penasaran, Aza mau ikut. Mereka menghabiskan hari bermain dan belanja di Transmart Mini. Setelah capai, Wahyu mengajak putranya ke apartemen. 

"Ayah, ayo kita pulang. Ibu pasti sudah menunggu." Aza menghentikan permainan, entah kenapa ia teringat ibunya. 

"Tenang, Aza. Aku akan bilang kalau kamu bersamaku. Apa kamu sudah lapar?" Aza mengangguk. 

"Tunggu sebentar."

Wahyu mengambil dua bungkus ayam goreng yang dibeli dari restorant yang berada di sisi kiri apartemen. Mereka makan tanpa suara. Aza menghabiskan makanannya dengan cepat. 

"Kalau punya uang, Ibu biasanya membelikanku ayam goreng. Tapi Ibu sering memasak tahu dan tempe." Aza menjilati potongan tulang paha. "Ibu paling suka tulang muda ayam. Kriuk-kriuk enak."

"Kalau sudah selesai, cuci tangan dulu, sana."

Bocah itu berderap menuju kamar mandi, menuju wastafel bercorak hitam putih. Setelah beraih, ia kembali ke ruang depan. Duduk di sofa putih tepat di sebelah Wahyu. 

"Ayah kerja nggak pulang-pulang. Aku dan Ibu kangen sama Ayah."

Wahyu mengacak rambut kemerahan itu, "Ayah cari uang banyak buat Aza."

Aza beringsut, ia menyandarkan kepala pada lengan Wahyu. Sesaat kemudian, ia berdiri di depan Wahyu. Bocah itu menelusuri wajah yang biasanya dilihat dalam foto yang disimpan Tia. Ibunya sering menatap foto-foto kebersamaan mereka yang tersimpan rapi dalam album. Ia hapal wajah ayahnya. 

Kerinduan membuncah. Jemari kurus itu perlahan terulur, menangkup wajah Wahyu. Mata bocah itu memerah, bibirnya bergetar. 

"Boleh aku memelukmu, Ayah?" 

Wahyu mengangguk, wajahnya sekilas terlihat bingung. Ia tidak pernah memeluk anak kecil.Aza merentangkan tangan kurusnya dan merengkuh leher Wahyu erat-erat. Dentuman dalam rongga dadanya terasa di permukaan kulit pipi Wahyu. Detakan itu semakin cepat, disusul isakan tertahan. Aza membenamkan wajahnya dalam keharuman rambut tebal Wahyu. 

"Jangan pergi lagi, Ayah."

Tak pernah hatinya hangat sekaligus tersayat dalam waktu bersamaan. Pelukan Aza semakin erat, membuat Wahyu terempas dalam kubangan rasa bersalah. Ia menarik napas panjang, sesak. Lengannya yang kokoh merengkuh tubuh mungil itu. Membelai punggung putranya yang terasa keras. Ia tersentak, merasakan tulang belulang Aza yang menonjol. 

Gelombang kesedihan menerjang keras. Rasa bersalah semakin memuncak. Menyentuh putranya seperti ini membuat nalurinya terusik. Insting untuk melindungi darah dagingnya. Wahyu telah jatuh cinta dengan Aza. Cinta tulus seorang ayah untuk anaknya. 

"Ayah akan bersamamu, Nak."

Bergetar, suara itu sangat pelan. Hampir seperti desisan. Mereka tenggelam dalam isakan. 

***

Masih memakai mukena lusuh, Tia berlari ke rumah induk. Mencari keberadaan majikan perempuannya yang kemungkinan tahu di mana Aza berada. Dini terlihat sedang duduk selonjoran. Jemari lentiknya sibuk menggeser layar ponsel. 

"Nyonya, Aza hilang. Tolong bantu saya, Nyonya." Tia menyentuh bahu majikannya yang terbuka.

"Ada apa Tia?" Dini menegakkan tubuh, meletakkan ponsel di atas meja kaca berbentuk lingkaran. 

"Aza belum pulang. Aku yakin dia dibawa sama Mas Wahyu. Tolong saya, Nyonya. Berikan alamatnya, saya akan menjemput Aza."

Bulu mata lentik itu mengerjap, lalu melirik Zain yang baru saja bergabung. Wanita itu berdehem pelan. Ia tahu suaminya sudah faham seluk-beluk kebusukannya, namun di depan seorang pembantu, ia merasa harga dirinya jatuh. 

"Aku nggak ngerti apa maksudmu, Tia. Siapa Wahyu? Aku nggak kenal."

"Dia Kevin yang sering menginap. Di sini." Tia menabahkan hati. "Kevin ayah kandung Aza.Tolong beritahu alamat rumahnya, saya mohon."

Semburat merah menyebar di pipi putih Dini. Ia menjilat bibirnya. Gugup.

"Aku ... Aku ...."

"Berikan saja alamatnya, Din. Aku akan mengantar Tia." Zain menyela. Dia mendekati istrinya, berbisik tepat ditelinga "Aku sudah tahu semua perbuatanmu."

Dini menggaruk rambut coklatnya. Lalu menyebutkan sebuah alamat yang berlokasi tak jauh dari komplek perumahan. 

"Aku ikut." Dini mau berdiri, namun tangan Zain menekan pundaknya keras. 

"Kamu nggak usah ikut campur, Din."

"Lalu apa urusanmu? Tia cuma pembantu di sini!"

Dini mengibaskan tangan Zain. Dia berdiri menantang manik hitam. "Atau jangan-jangan kamu menyembunyikan sesuatu di belakangku?" 

"Kamu memang sudah gila. Ayo Tia, kamu akan kuantar."

Zain melangkah menuju keluar, tapi teriakan melengking membuatnya sedikit ragu. 

"Berhenti di sana! Jangan berani-beraninya keluar rumah ini!"

Suami Dini tak menggubris, keraguan yang sempat melanda dibuang jauh-jauh. Detik berikutnya, sepasang kaki panjang itu berjalan lagi. 

"Berhenti! Dasar lelaki impoten!"

Kali ini, teriakan Dini berhasil menghentikan langkahnya. Setiap kali bertengkar, kata-kata mematikan itu selalu keluar dari mulut wanita yang telah dinikahinya selama empat belas tahun. Biasanya Zain akan membiarkan dan menghindarinya. Namun, saat ini ada orang lain. Zain begitu tak nyaman rahasianya terbongkar tepat di hadapan Tia. 

"Aku memang sudah cacat, Dini. Silahkan lakukan apapun maumu." Tanpa berbalik, Zain menghamburkan kata-kata bernada dingin. "Ayo Tia, berangkat."

Tia hanya bisa memandang kedua sosok yang menjauh itu dengan pandangan nanar. Ia menyapu permukaan meja dengan napas tersengal. Ponsel dan vas bunga melayang sebentar, lalu mendarat di lantai porselen putih dengan auara nyaring. Detik berikutnya, wanita itu berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri. 

***

Setengah berlari, wanita yang masih memakai mukena itu mengikuti langkah majikannya. Zain membukakan pintu depan. Setelah Tia masuk, ia swgera duduk di belakang kemuni. Mobil segera meluncur menuju apartemen Wahyu. 

Memulai pembicaraan pada saat mengetahui borok masing-masing sangat berat. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tia tak menyangka kalau Zain menghadapi masalah yang sangat ditakutkan para pria. Tanpa senjata, harga diri kaum Adam itu akan remuk. Apalagi bila mengingat kepiawaian Wahyu beraksi di atas ranjang. Tia masih sering memimpikan saat-saat surga dunia menyapa dalam kamar kecilnya di desa. 

Wanita itu menggelengkan kepala kuat-kuat. Mencoba mengusir bayangan laknat antara Wahyu dan Dini. Dia sudah mengambil keputusan. Lebih baik menghilang tanpa jejak daripada menanggung derita tak tertahankan. 

"Jadi, Kevin itu ayah Aza?" Zain akhirnya melontarkan pertanyaan. Wajahnya keruh, meskipun pendingin udara menyembur keras. 

Tia hanya mengangguk pelan. Tak sanggup bersuara. 

"Dia pria penghibur Dini."

"Iya, aku tahu." Tia memandang kemacetan yang memanjang di depannya. "Dia orang jahat yang tega menelantarkan anak dan istrinya."

"Tia, sebaiknya kamu jangan berurusan dengan orang seperti itu. Selama ini aku diam dan menahan diri. Aku tak sanggup berpisah dengan Dini. Kupertahankan rumah tangga demi kebaikan putri kami satu-satunya."

"Kalau kamu tak sanggup, kenapa bertahan, Pak?"

Kata-kata Tia bagaikan godam, menohok tepat di ulu hati. 

"Aku mencintai Dini."

Jawaban singkat itu membungkam Tia. Cinta? Kenapa goresanmu yerasa sakit sekali?, keluhnya dalam hati. Ia mengerti perasaan Zain. Rela berbuat apa saja asal kekasih tetap berada di sisi. 

"Lima tahun lalu, aku operasi ambeyen yang sudah sangat parah. Setelah penyakitku diangkat, kemampuan di atas ranjang lenyap. Selama dua tahun Dini merawatku dengan sabar. Akulah yang membuatnya seperti ini, Tia." Zain tak sanggup meneruskan kata-katanya. Ia terdiam membisu. 

Dari kejauhan, terlihat apartemen Puri Mas yang berkelip indah. Mobil mulai memasuki komplek, melewati jajaran ruko dan restoran terkenal. Tia memejamkan mata, berdoa agar bisa membawa Aza tanpa kurang satu apapun. 

Wanita itu siap berperang.

***

Bersambung

Baca Juga Lainnya
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lelaki Jahanam Part 9

Trending Now