Lelaki Jahanam Part 7

Anis Hidayatie
23 Mei 2021 | 16.31 WIB Last Updated 2023-03-04T06:37:13Z

Novel -  
Terkadang, pertengkaran dalam sebuah hubungan bisa membuat jalinan hati semakin lekat. Mengalah, itulah kuncinya. Ketegangan akan berbuah manis bila mau mengakui kesalahan dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Kenyataannya, sebuah pertengkaran bisa membuat luka mendalam yang menembus hati terdalam. Mengakar, membusuk, menunggu meledak bersama serapah.

Sosok tegap berkemeja biru langit berjalan tergesa. Wajah yang dihiasi kumis tipis di atas bibir mengeras. Pintu mobil warna silver yang parkir di depan pagar dibuka, lalu ditutup dengan kasar. Deru mesin kendaraan roda empat itu menjauh, meninggalkan sumber api yang membuat hati pemiliknya terbakar. 

Sepasang mata mengintip dari balik jendela. Jantung Tia bertalu, dia selalu gugup bila ada perseteruan. Suasana berubah hening, wanita itu penasaran dengan apa yang terjadi. Baru hari pertama kerja, sudah dihadapkan dengan masalah. 

"Aza, baik-baik di sini, Le. Ibu mau kerja dulu. Ingat, jangan keluar dari sini." Aza mengangguk ragu. 

"Jangan khawatir, kalau sudah selesai, Ibu akan segera ke sini."

"Iya, Ibu."

Tia mengecup kening anaknya, ia memperbaiki kerudung instan hitam yang melorot sampai mata. Dalam hati, ia berdoa agar bisa melalui semua ini dengan lancar. Ia tidak akan ikut campur dengan urusan majikannya. 

Dengan perasaan campur aduk, Tia masuk ke dalam rumah. Pintunya dibiarkan terbuka. Mungkin Zain tak ingat untuk menutupnya. Ucapan salam lirih keluar dari bibirnya. Sepi, tak ada jawaban. Terdengar suara terisak dari arah dapur yang berada tepat di belakang kamar yang ditempatinya. Tia mendekat, ia melihat Dini sedang terduduk. Punggungnya bersandar di dinding, kedua tangannya menutupi wajah. 

Tia terpaku. Bingung akan melakukan apa. 

Suasana dapur benar-benar kacau. Pecahan kaca tersebar di atas porselen putih. Rupanya suara mengejutkan tadi adalah piring pecah. 

"Maaf, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?"

Dini menegakkan kepalanya. Menatap Tia dengan mata merah. Bibirnya bergerak menahan isakan. 

"Bantu aku ke kamar, Tia."

Berjingkat menghindari pecahan kaca, Tia membimbing Dini masuk ke dalam kamarnya yang berada di tengah ruangan. 

"Laki-laki memang brengsek! Mereka hanya memikirkan diri sendiri. Aku sudah tidak tahan lagi!" 

Tia hanya mematung melihat Dini mengomel. Wanita berambut panjang itu memencet sebuah nomer pada layar ponselnya.

"Kevin, temui aku di tempat biasanya sekarang."

Dini mengambil kunci mobil, menatap tajam Tia yanf masih terpaku. "Tia, bersihkan pecahan kaca. Semua peralatan kebersihan ada di samping kamar mandi belakang. Aku mau pergi sebentar

"Iya, Nyonya."

"Aku percaya padamu, Tia. Tolong jaga rumahku."

"Baik, Nyonya."

Pintu lemari kaca dibuka, Dini mengambil sebuah jaket rajut. Memakainya dengan cepat. Tia berlari ke depan membuka gerbang. Mobil silver segera meluncur, hilang dibalik tikungan. Setelah mengunci pagar, Tia melakukan tugasnya. Membuat rumah megah itu tetap bersih.

***

Tepat ketika adzan Duhur berkumandang, semua pekerjaan telah selesai. Tia mengembalikan semua peralatan kebersihan di gudang belakang. Lantai berkilap, harum. Hasilnya memuaskan. Tia berpikir alangkah capeknya pembantu terdahulu harus mengepel sehari dua kali. Tapi memang setara dengan gaji yang diberikan. 

Rasa letih menyergap. Ia kembali ke kamarnya. Aza sedang asyik bermain dengan tobot yang dibelikan Bu Mini tempo hari. Melihat ibunya datang, Aza menyambut dengan pelukan hangat. Bocah itu mengambil sesuatu dari dalam ransel. Sebungkus nasi campur yang dibeli tadi pagi cukup mengenyangkan. Ditambah minum air putih banyak-banyak, bisa menyimpan tenaga sampai matahari terbit keesokan harinya. 

Mereka berbaring di atas kasur lipat setelah salat Dhuhur. Tia memandang wajah anaknya yang sangat mirip dengan Wahyu. Hidung mancung, bibir merona, alis bertaut, dagu yang runcing, membuat wanita itu begitu merindukan suaminya. Tia membelai pipi Aza, menatap netra bening penuh cinta. 

"Kamu mirip sekali dengan Ayahmu, Le."

"Sebenarnya Ayah kerja di mana, Bu? Kenapa nggak pernah pulang?" 

"Ayah kerja di tempat yang sangat jauh. Aza selalu berdoa, ya, semoga Ayah segera pulang dan kembali bersama kita."

"Apa ibu kangen Ayah?"

Anggukan pelan berpadu dengan senyum getir, meskipun dicampakkan begitu saja, Tia tak mampu membeci Wahyu. Ia masih berharap bisa bertemu kembali dengan orang yang telah merenggut seluruh kehidupannya. Waktu sepuluh tahun tak bisa menghapus kenangan. Tia sadar, Wahyu melarikan diri karena kesalahannya. Cinta yang sakit, egois dan serakah. Sayang, kesadaran datang terlambat. Setelah suaminya pergi, tak ada seorangpun yang bisa menggetarkan hati. 

"Kalau sudah besar, aku akan mencari Ayah. Ibu jangan sedih, ya."

"Aza memang anak Ayah. Ayah pasti bangga kalau melihatmu tumbuh baik. Terimakasih, Nak."

Bocah berambut kemerahan itu beringsut memeluk Ibunya. Belaian angin elektronik membuat kantuk menyerang. Perlahan, kelopak mata mereka terpejam. Meninggalkan dunia yang keras ini beberapa saat. Lelap bisa menghapuskan luka, memperbaiki kerusakan jiwa dan menyiapkannya mengarungi tantangan selanjutnya. 

***

Gemercik suara miniatur air terjun memanjakan pendengaran. Di dasarnya, ikan berwarna-warni berkejaran memainkan gelembung. Tia memandang binatang itu dengan tatapan teduh. Benar kata orang, mendengar melodi air dan ikan berenang bisa membuat pikiran tenang. 

Baru saja ia mengantarkan Aza hingga depan gerbang. Bocah itu meneruskan mengaji di Musholla An-Nur dekat indekost dulu. Mentari senja membuat bayang-bayang memanjang saat Dini pulang. Kembali Tia membuka pagar lebar-lebar. Majikannya itu memasukkan mobil ke dalam garasi. Tubuhnya agak limbung ketika keluar dari pintu depan. 

Tia membantu menuju kamar. Aroma alkohol menembus hidungnya. 

"Tia, apapun yang kamu lihat dan dengar, jangan pernah membicarakannya kepada orang lain. Mengerti?"

Entah apa maksudnya Dini bicara seperti itu, Tia hanya mengangguk segan. Dia tak pernah berhadapan dengan orang mabuk. Tia khawatir Dini akan melakukan hal yang bisa mengancam keselamatannya. Bukankah di bawah pengaruh alkohol, pikiran bisa menjadi kurang waras? 

"Nanti malam ada temanku yang akan menginap di sini. Kamu nggak usah membukakan gerbangnya, biar aku saja."

"Baik, Nyonya."

"Aku mau istirahat dulu, rasanya capek sekali."

"Saya akan meneruskan pekerjaan, Nyonya."

Dini mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang nuansa lavender. Melemparkan jaketnya sembarangan dan bergelung. Tia mengambil jaket itu dari lantai, meletakkan di atas sandaran kursi rias dan keluar kamar setelah menutup pintu. 

Tak terasa, matahari sudah lelap dalam peraduan. Digantikan kegelapan yang tenang. Suasana perumahan itu begitu hening. Hanya suara beberapa kendaraan bermotor yang melintas. Aza sudah tertidur dari tadi, bibirnya mengukir senyum. Tak bosan-bosan Tia menatap mukjizat dalam hidupnya. Saat netranya hampir terpejam, terdengar suara mesin kendaraan dimatikan tepat di depan rumah. Disusul besi beradu dan gesekan pagar. Mungkin teman Zain sudah pulang kerja, atau bisa saja itu teman yang mau menginap, pikir Tia. 

Hatinya penuh dengan harapan, ia hanya perlu menutup mulut dan tidak ikut campur dalam permasalahan keluarga majikannya. Bukankah sejatinya hidup itu adalah masalah? Tia akan memposisikan diri dalam bayangan, seperti yang diharapkan Dini. Tidak begitu susah, toh dari dulu Tia memang bukan tipe yang suka mencampuri urusan orang. Begitulah caranya dia bertahan selama ini. 

Semua prinsip yang dibangun semalaman seolah runtuh begitu saja. Ketika menyirami tanaman pada keesokan harinya, Tia mendapati mobil hitam yang bukan milik Zain terparkir di luar. Apalagi saat matanya menyapu sebuah mobil yang lewat, berputar balik di ujung jalan lalu pergi menghilang. 

Zain duduk di belakang kemudi, melirik kendaraan hitam yang berhenti di depan rumahnya. Lebih baik berpura-pura tidak tahu daripada membuat rumah tangganya karam. Matanya seolah berkabut, ia benar-benar payah! 

Bersambung Part 8
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lelaki Jahanam Part 7

Trending Now