Suamiku Ditikung Kakakku

Anis Hidayatie
18 Desember 2021 | 19.43 WIB Last Updated 2021-12-18T12:45:55Z
Baca Novel Online Suamiku Ditikung Kakakku


Novel - Episode 1 Semangkuk Racun

Aku tidak pernah menyangka bila kakak yang sangat kusayangi akan menjadi duri dalam pernikahanku dengan Mas Ferdi.

🥀🥀🥀

"Gimana dengan pembukaan swalayan Hemat ke lima, Mas? Apakah lancar?" Aku bertanya kepada Mas Ferdi ketika kami sedang santai di depan televisi. 

Secangkir teh pahit kesukaannya menemani kebersamaan kami di malam ini. Andien sudah tidur sedari tadi. Ujian daring akhir semester membuatnya kecapean. Gadis kelas 7 itu pamit untuk istirahat setelah selesai melakukan salat Isya.

Mas Ferdi menyesap tehnya dengan nikmat. Aku menatap wajah suami yang terlihat semakin ganteng pada usianya yang ke-34 tahun. 

"Semuanya lancar dan tidak ada kendala, Dek. Mulai saat ini sepertinya Mas akan tambah sibuk mengurus bisnis kita. Kamu nggak apa-apa kan di rumah sendiri?"

"Nggak apa-apa Mas kan ada bibi Nur dan Andien yang menemaniku. Mas fokus saja pada pekerjaan nggak usah terlalu khawatir dengan kami."

Lelaki yang berkulit bersih itu pun merangkulku dalam pelukannya. Wangi misk yang lembut membuat indera penciumanku. Harum yang sangat membuatku tergila-gila. 

Rasa-rasanya cintaku kepada Mas Ferdi semakin hari semakin membesar dan tumbuh subur di rimbunan taman hati. 

Kami berdua bertemu untuk pertama kalinya di sebuah swalayan 14 tahun yang lalu. Mas Ferdi saat itu menjadi kasir dan aku sedang belanja pembalut. Saat itu Mas Ferdi meminta nomor ponselku dan berapa bulan kemudian kami pun memutuskan untuk menikah.

Ya, aku menikah ketika usia baru menginjak 19 tahun. Aku memilih untuk menikah cepat karena tidak ingin membebani Ayah sambung. Ibuku adalah janda beranak satu dan ayah tiriku adalah duda yang juga mempunyai satu putri.

Menikah muda rupanya memang pilihan tepat. Meskipun banyak melalui cobaan dan rintangan dalam rumah tangga, tidak sampai membuat kami putus asa. Mas Ferdi memutuskan untuk keluar dari swalayan tempatnya bekerja dan membangun bisnis ritel sendiri. 

Berawal dari sebuah toko kelontong kecil yang yang berada di depan rumah kontrakan kami, hingga sekarang kami mempunyai lima cabang swalayan yang tersebar di kota besar provinsi Jawa timur. 

Kehidupan pun semakin membaik. Mas Ferdi mampu membeli rumah juga sebuah mobil untuk bekerja. Aku tidak mau dibelikan mobil karena takut menyetir sendiri, aku memilih menggunakan motor untuk aktivitas sehari-hari. 

"Mas tadi Mbak Ajeng menelepon. Perusahaan tempatnya bekerja memutuskan untuk merumahkannya. Kasihan Mbak Ajeng Mas, dia sepertinya bingung mencari pekerjaan.  Mbakku itu juga baru saja putus dari pacarnya padahal mereka berencana akan menikah tahun ini. Duh, aku nggak bisa membayangkan gimana hancur hatinya Mbakku."

"Jadi?" Mas Ferdi bertanya singkat. 

Dasar lelaki dia tidak peka dengan maksud perkataanku yang panjang kali lebar tadi. 

"Ya maksudnya kalau ada lowongan di swalayan kita kenapa nggak mempekerjakan Mbak Ajeng saja?" Aku mengedipkan mata kepada Mas Ferdi. Dia membalas dengan mencubit pipiku.

"Kalau nggak ada lowongan gimana?" 

"Adakanlah, Mas," sahutku manja.

"Ada sih ih lowongan menjadi asisten kasir. Apakah Mbak Ajeng bisa?"

"Bisa Mas bisa!" Aku antusias. "Mbak Ajeng kan lulusan sarjana akuntansi, Dia pasti sudah familiar dengan hitung menghitung seperti itu."

"Oke, besok Mbak Ajeng suruh datang saja ke kantor, ya." 

"Makasih, Mas. Mas Ferdi memang terbaik. aku akan mengirim pesan buat Mbak Ajeng supaya ketemu sama Mas Ferdi di kantor."

kami pun melanjutkan mengobrol hingga larut malam membahas semua hal-hal yang ringan. Sampai akhirnya mata sudah terasa berat, waktunya istirahat.

🥀🥀🥀

Keesokan harinya ketika aku masih sibuk membantu Bibi Nur di dapur, Mbak Ajeng datang. Bibi tergopoh membuka pagar. 

"Mbak? Apa kabar?" Aku berjalan tergesa memeluk sosok wanita bertubuh semampai itu dengan erat. "Kukira Mbak Ajeng langsung ke kantor, enggak tahunya mampir ke rumah. Kalau gitu sekalian sarapan ya, Mbak. Ayo masuk dulu."

"Kamu bahagia banget ya, Ci? Punya suami yang ganteng dan sukses sampai badanmu mengembang subur begini." Mbak Ajeng mencubit pipiku dengan gemas. Aku tidak merasa tersinggung dengan ucapan Mbak Ajeng barusan. Dia hanya bercanda, aku yakin itu. Toh kenyataannya badanku memang sekarang gemuk dan berlemak. 

"Alhamdulillah Mbak, semuanya tercukupi dan aku kerjanya cuma makan sama tidur. Gimana nggak mengembang coba?"

"Duh irinya aku. Doain ya semoga tahun ini aku juga bisa menikah dengan orang yang yang mapan dan baik seperti suamimu."

"Aamiin. Aku selalu mendoakanmu, Mbak. Ayo langsung ke dapur saja makanan sepertinya sudah siap."

Aku dan Mbak Ajeng berjalan beriringan masuk ke dalam rumah menuju ke dapur. Kebetulan saat itu Mas Ferdi baru saja keluar dari kamar mandi. Dia mempunyai kebiasaan buruk yaitu hanya memakai handuk yang melingkari bagian bawah tubuhnya. Perutnya yang rata terekspos sempurna.

Untung saja Mbak Ajeng bersikap pura-pura tidak melihat Mas Ferdi, sehingga suamiku itu itu tidak begitu merasa malu. 

"Mbak langsung ke dapur saja aku mau menemani Mas Ferdi ganti baju," bisikku. 

"Oke," jawab wanita berambut panjang itu.

Kubuka pintu kamar dan mendapati Mas Ferdi sudah memakai kemeja dan celana. 

"Mbak Ajeng ngapain ke sini, Dek?"

"Enggak apa-apa Mas nanti bisa sekalian bareng ke kantor. Mungkin dia nggak tahu alamat kantor jadi langsung ke sini."

Mas Ferdi menganggukkan kepalanya. Setelah dia siap kami pun menuju ke dapur dan sarapan bersama. 

Baca Juga :




Aku memandang mobil yang menjauh dari halaman rumah. Perasaanku gembira sekali karena pada akhirnya bisa menolong Mbak Ajeng. Sedari kecil aku sangat dekat dengan kakak tiri yang hanya lebih tua dua bulan saja. Mbak Ajeng menyayangiku, aku pun juga sangat memujanya. 

Sebenarnya kalau dibandingkan wajahku dengan wajahnya Mbak Ajeng itu jauh berbeda. Parasku biasa saja sementara Mbak Ajeng cantik jelita. Sayang sekali hingga usia di atas kepala tiga, Mbak Ajeng masih belum bertemu dengan jodohnya. 

Aku berniat mengenalkannya dengan beberapa teman Mas Ferdi yang masih jomblo. Semoga saja diantara mereka ada jodohnya Mbak Ajeng. 

Tak terasa malam hari sudah tiba. Sekitar pukul 7, deru mobil Mas Ferdi datang. Suamiku itu turun dari mobil dan diikuti oleh Mbak Ajeng. Mereka berdua tampak semringah dan berbicara dengan raut wajah bahagia. Syukurlah kalau Mas Ferdi ternyata cocok dengan Mbak Ajeng. Bagaimanapun kami adalah sebuah keluarga. 

"Cici, aku belum tempat mencari kost. Malam ini biar aku menginap di sini saja, ya?" Mbak Ajeng mendekat. 

Aku  Mas Ferdi sembari mengangguk ke arahnya. "Nggak apa-apa, Mbak. Kamar di lantai atas kosong satu. Mbak pakai saja sampai dapat kost." 

Mbak Ajeng mengucapkan terima kasih kemudian dia langsung menuju ke lantai dua. Semuanya berjalan lancar, dalam waktu singkat Mbak Ajeng mendapatkan kost yang tak jauh dari toko berada.

Aku tidak pernah menyangka kalau kebaikanku akan dibalas dengan segelas racun. Hingga enam bulan setelah Mbak Ajeng bekerja di swalayan, tiba-tiba suatu malam Mas Ferdi mengucapkan sebuah kalimat yang membuat duniaku kiamat.

"Cici, aku ingin menikahi Mbak Ajeng. Aku tidak butuh ijinmu, aku hanya memberitahukanmu."

Aku tidak pernah menyangka bila kakak yang sangat kusayangi akan menjadi duri dalam pernikahanku dengan Mas Ferdi.

Bersambung.

Teganya Ajeng. Minta diapakan ya orang kek gitu.

Happy reading dan salam bahagia senantiasa.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Suamiku Ditikung Kakakku

Trending Now