Banner Iklan

Ketika Guru Kehilangan Wajah Keteladanan

Anis Hidayatie
29 Desember 2025 | 09.13 WIB Last Updated 2025-12-29T07:01:31Z

Foto: Bersama guru KH. Abdurrohim Thohir pengasuh PP. Hidayaturruhama Singkawang

OPINI | JATIMSATUNEWS.COM: Dunia pendidikan kita hari ini sedang diuji bukan pada aspek kurikulum atau metode pembelajaran, melainkan pada fondasi etik dan moralnya. Sejumlah peristiwa yang mengemuka ke ruang publik belakangan ini menyisakan kegelisahan yang mendalam. Guru dilaporkan ke aparat penegak hukum karena upaya mendisiplinkan murid, sementara di sisi lain ada pendidik yang justru memilih bersikap abai ketika pelanggaran dilakukan terang-terangan di hadapan mereka. Disiplin dianggap kekerasan, pembiaran dikira kebijaksanaan. Dua sikap ekstrem yang sama-sama melahirkan kebingungan nilai.

Kegelisahan itu kian menguat ketika publik dikejutkan oleh kasus seorang dosen Universitas Islam Makassar (UIM), Amal Said, yang dilaporkan ke kepolisian atas dugaan penghinaan terhadap seorang kasir swalayan muda di Makassar, Sulawesi Selatan. Tindakan meludahi, yang secara hukum dapat dijerat Pasal 315 KUHP dengan ancaman pidana penjara 4 bulan 2 minggu, bukan hanya persoalan hukum semata, melainkan juga persoalan adab dan akhlak. Sebab yang dipertaruhkan bukan sekadar nama pribadi, tetapi marwah seorang pendidik di mata publik.

Dalam perspektif sosiologis, guru dan dosen menempati posisi simbolik sebagai penjaga nilai dan penuntun perilaku sosial. Masyarakat menaruh harapan moral yang lebih tinggi kepada mereka, bukan semata karena gelar akademik, melainkan karena peran strategisnya dalam membentuk watak generasi. Ketika seorang pendidik gagal menjaga laku dan lisannya di ruang publik, kegagalan itu tidak berhenti pada ranah personal, tetapi berdampak kolektif, mencederai kepercayaan sosial terhadap dunia pendidikan.

Dalam khazanah Islam, guru bukan sekadar penyampai ilmu, melainkan pembimbing akhlak. Ia disebut sebagai waratsatul anbiya’, pewaris tugas para nabi. Gelar ini bukan simbol kehormatan, melainkan amanah yang menuntut kesalehan pribadi, kesabaran, dan kemampuan mengendalikan emosi. Rasulullah SAW dikenal sebagai pendidik agung yang mampu menahan amarah, bahkan ketika diperlakukan dengan kasar dan tidak adil. Akhlak mulia justru tampak paling jelas saat seseorang berada dalam kondisi tertekan.

Ajaran agama-agama lain pun sejalan dalam hal ini. Dalam tradisi Kristen, pendidik dituntut mengajar dengan kasih dan penguasaan diri. Dalam Hindu dan Buddha, guru dituntut menaklukkan ego dan hawa nafsu, sebab seseorang yang belum mampu mendidik dirinya sendiri tidak layak membimbing orang lain. Nilai-nilai ini menegaskan satu hal mendasar: pendidikan adalah kerja batin sebelum menjadi kerja akademik.

Namun realitas hari ini menunjukkan adanya pergeseran makna. Sebagian pendidik mudah larut dalam amarah dan merasa benar atas nama status sosial dan intelektual. Di sisi lain, ada pula yang memilih aman dengan bersikap permisif, membiarkan pelanggaran terjadi demi menghindari konflik. Kedua sikap ini sama-sama problematik. Pendidikan yang keras tanpa kebijaksanaan melahirkan luka, sementara pendidikan yang lunak tanpa ketegasan melahirkan kekacauan nilai.

Guru sejatinya adalah problem solver, bukan sumber kegaduhan. Ia hadir untuk menenangkan, bukan memprovokasi. Menjadi penengah, bukan pemantik konflik. Dalam perspektif sosiologi pendidikan, kewibawaan guru tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari konsistensi moral dan keteladanan sosial yang terus dijaga, baik di ruang kelas maupun di ruang publik.

Mungkin inilah saatnya dunia pendidikan melakukan muhasabah kolektif. Bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk mengembalikan makna luhur profesi pendidik sebagai jalan pengabdian. Pembenahan sistem dan regulasi tentu penting, tetapi tanpa pembinaan kepribadian dan akhlak pendidik, semua itu akan kehilangan ruhnya.

Pada akhirnya, menjadi guru bukan sekadar profesi, melainkan amanah yang kelak dimintai pertanggungjawaban. Ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kesombongan, dan kekuasaan tanpa pengendalian diri akan menjelma kezhaliman yang halus. Dalam tradisi Islam, kemuliaan seseorang diukur dari kemampuannya menahan amarah, menjaga lisan, dan berlaku adil bahkan ketika emosinya diuji. Pendidikan akan kembali menemukan ruhnya jika para pendidiknya menyadari bahwa keteladanan adalah dakwah paling sunyi namun paling menentukan. Sebab murid-murid lebih banyak belajar dari sikap yang mereka lihat, daripada nasihat yang mereka dengar. Dari sanalah wajah keteladanan itu hidup—atau perlahan sirna.

Penulis:

Edy Purwanto Achmad

Alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN (sekarang UIN) Malang & Unissas Sambas/Pegawai Pemda Kota Singkawang/Pengajar di beberapa lembaga swasta)


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ketika Guru Kehilangan Wajah Keteladanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now