Bupati Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Malang, Wiwid Tuhu P., SH., MH.,
Malang, JATIMSATUNEWS.COM
Aktivitas penarikan tarif di Jembatan Bendungan Lahor–Karangkates, yang Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar, tersiar viral di media sosial belum lama ini.
Pada video itu tampak sejumlah petugas meminta tarif antara Rp2.000 hingga Rp4.000 kepada pengguna kendaraan roda dua dan empat yang melintas.
Viralnya video ini langsung menuai reaksi keras dari warganet. Banyak yang menilai kebijakan tersebut tidak masuk akal karena jembatan Lahor merupakan fasilitas publik milik negara, bukan kawasan wisata yang boleh dikenai pungutan.
Warganet menilai penarikan tarif itu tidak sesuai dengan fungsi utama jembatan sebagai penghubung transportasi. Mereka meminta Perum Jasa Tirta I (PJT I) selaku pengelola Bendungan Lahor untuk memberikan penjelasan terbuka kepada publik.
PJT I sebelumnya menyebut penerapan sistem pembayaran non-tunai di Gerbang Wisata Karangkates merupakan bagian dari upaya modernisasi pengelolaan kawasan.
Langkah ini diklaim untuk meningkatkan transparansi pendapatan non-pajak, mengurangi pungutan liar, dan memperkuat akuntabilitas keuangan.
Namun penjelasan tersebut belum cukup menjawab keresahan masyarakat yang hanya ingin melintas tanpa tujuan wisata. “Kalau hanya lewat, kenapa harus bayar?” tulis salah satu pengguna media sosial di kolom komentar.
Menanggapi polemik ini, Bupati Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Malang, Wiwid Tuhu P., SH., MH., meminta agar PJT I segera memberikan penjelasan resmi terkait dasar pemungutan tarif tersebut.
“Secara prinsip, PJT I tidak memiliki nomenklatur usaha berupa jalan bebas hambatan berbayar. Maka perlu ada penjelasan publik—mengapa dikenai biaya, apakah dianggap wisata, bagaimana dasar hukumnya, dan ke mana dana itu disalurkan,” tandas Wiwid, Minggu (26/10).
Wiwid menilai, masyarakat akan menerima bila pungutan dilakukan secara transparan dan memberikan manfaat nyata.
Namun jika tidak, kebijakan seperti ini bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan aset negara.
“Yang penting adalah keterbukaan dan sistem pertanggungjawaban yang jelas. Kalau semua transparan, tidak akan menimbulkan kesalahpahaman,” tambahnya.
Secara hukum, Bendungan Lahor–Karangkates berada di bawah pengelolaan Perum Jasa Tirta I (PJT I), BUMN yang dibentuk berdasarkan PP Nomor 5 Tahun 1990 dan diperbarui dengan PP Nomor 46 Tahun 2010.
Dalam regulasi tersebut, jelas Tuhu PJT I diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya air serta usaha non-air seperti pariwisata dan jasa lingkungan.
Pada video itu tampak sejumlah petugas meminta tarif antara Rp2.000 hingga Rp4.000 kepada pengguna kendaraan roda dua dan empat yang melintas.
Viralnya video ini langsung menuai reaksi keras dari warganet. Banyak yang menilai kebijakan tersebut tidak masuk akal karena jembatan Lahor merupakan fasilitas publik milik negara, bukan kawasan wisata yang boleh dikenai pungutan.
Warganet menilai penarikan tarif itu tidak sesuai dengan fungsi utama jembatan sebagai penghubung transportasi. Mereka meminta Perum Jasa Tirta I (PJT I) selaku pengelola Bendungan Lahor untuk memberikan penjelasan terbuka kepada publik.
PJT I sebelumnya menyebut penerapan sistem pembayaran non-tunai di Gerbang Wisata Karangkates merupakan bagian dari upaya modernisasi pengelolaan kawasan.
Langkah ini diklaim untuk meningkatkan transparansi pendapatan non-pajak, mengurangi pungutan liar, dan memperkuat akuntabilitas keuangan.
Namun penjelasan tersebut belum cukup menjawab keresahan masyarakat yang hanya ingin melintas tanpa tujuan wisata. “Kalau hanya lewat, kenapa harus bayar?” tulis salah satu pengguna media sosial di kolom komentar.
Menanggapi polemik ini, Bupati Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Malang, Wiwid Tuhu P., SH., MH., meminta agar PJT I segera memberikan penjelasan resmi terkait dasar pemungutan tarif tersebut.
“Secara prinsip, PJT I tidak memiliki nomenklatur usaha berupa jalan bebas hambatan berbayar. Maka perlu ada penjelasan publik—mengapa dikenai biaya, apakah dianggap wisata, bagaimana dasar hukumnya, dan ke mana dana itu disalurkan,” tandas Wiwid, Minggu (26/10).
Wiwid menilai, masyarakat akan menerima bila pungutan dilakukan secara transparan dan memberikan manfaat nyata.
Namun jika tidak, kebijakan seperti ini bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan aset negara.
“Yang penting adalah keterbukaan dan sistem pertanggungjawaban yang jelas. Kalau semua transparan, tidak akan menimbulkan kesalahpahaman,” tambahnya.
Secara hukum, Bendungan Lahor–Karangkates berada di bawah pengelolaan Perum Jasa Tirta I (PJT I), BUMN yang dibentuk berdasarkan PP Nomor 5 Tahun 1990 dan diperbarui dengan PP Nomor 46 Tahun 2010.
Dalam regulasi tersebut, jelas Tuhu PJT I diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya air serta usaha non-air seperti pariwisata dan jasa lingkungan.
Namun belum ada ketentuan yang secara jelas memperbolehkan penarikan tarif di jalur lintasan umum seperti Jembatan Lahor.
Publik pun berharap pemerintah daerah dan PJT I segera duduk bersama untuk memberikan kejelasan agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi di lapangan.
Bagi masyarakat sekitar, jembatan Lahor bukan sekadar akses wisata, melainkan jalur vital untuk bekerja, berdagang, dan beraktivitas setiap hari.
“Kalau memang untuk wisata, kami tidak masalah. Tapi untuk kami yang cuma lewat, ya jangan disamakan,” ujar seorang warga yang biasa melintas, Minggu siang.
Polemik ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan fasilitas publik harus berorientasi pada keadilan dan kepentingan masyarakat luas, bukan sekadar pemasukan dari retribusi.HM
Publik pun berharap pemerintah daerah dan PJT I segera duduk bersama untuk memberikan kejelasan agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi di lapangan.
Bagi masyarakat sekitar, jembatan Lahor bukan sekadar akses wisata, melainkan jalur vital untuk bekerja, berdagang, dan beraktivitas setiap hari.
“Kalau memang untuk wisata, kami tidak masalah. Tapi untuk kami yang cuma lewat, ya jangan disamakan,” ujar seorang warga yang biasa melintas, Minggu siang.
Polemik ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan fasilitas publik harus berorientasi pada keadilan dan kepentingan masyarakat luas, bukan sekadar pemasukan dari retribusi.HM



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?