Scroll-scroll media sosial, saya menemukan catatan dawuh KH. Abdul Karim Lirboyo yang menyatakan: “"jangan pernah membicarakan guru meskipun berbuat salah. paksalah dirimu bersikap dan berakhlak sebaik mungkin kepada guru, walaupun hal tersebut terasa berat". Penasaran kenapa tidak boleh membicarakan guru? Apakah karena guru adalah penghantar ilmu yang menjadi cahaya Allahkah? Guru yang seperti apakah yang dimaksud dari dawuh Kyai Abdul Karim ini?
Imam Ibn Athoillah al-Askandarī, seorang sufi besar dari
Mesir abad ke-13 yang terkenal dengan kitab Al-Hikam (Kebijaksanaan),
memberikan pemahaman mendalam tentang hakikat guru yang jauh melampaui sekadar
peran guru sebagai pengajar formal. Dalam rangkaian kalimat tajam dan penuh
makna, beliau menguraikan bahwa guru sejati bukan hanya seseorang yang
kata-katanya sekadar didengar dan diingat, melainkan sosok yang mampu
mentransformasikan batin dan jiwa murid melalui ilmu, akhlak, dan kehadiran spiritual.
Ia mengenalkan muridnya kepada sang Pencipta bukan sekedar memindahkan ilmu
dari otaknya ke otak murid.
Imam Ibn Athoillah mengatakan:
“ليس
شيخك من سمعت منه وإنما شيخك من أخذت عنه”
Guru sejati bukan sekadar orang yang suaranya didengar, melainkan yang dari
dirinya diambil hikmah dan akhlak.
“ليس
شيخك من واجهتك عبارته وإنما شيخك الذى سرت فيك إشارته”
Bukan yang sekadar membimbing melalu kata-kata, tapi yang ikut tersusup isyarat
dan petunjuknya ke dalam sanubari murid hingga menyentuh batin.
“وليس شيخك
من دعاك الى الباب وإنما شيخك الذى رفع بينك وبينه الحجاب”
Guru sejati adalah pembuka hijab atau penghalang antara murid dengan hakikat
ilmu dan ma'rifat, bukan sekedar mengantar sampai ke pintu saja.
“ليس
شيخك من واجهك مقاله وإنما شيخك الذى نهض بك حاله”
Guru yang hakiki adalah yang kehadirannya membangkitkan jiwa dan semangat dalam
diri murid, bukan sekadar kata-kata.
“شيخك
هو الذى أخرجك من سجن الهوى و دخل بك على المولى”
Seorang guru spiritual adalah pembawa murid dari penjara hawa nafsu menuju
kedekatan dengan Tuhan.
“شيخك
هو الذى مازال يجلو مرآة قلبك حتى تجلت فيها انوار ربك”
Guru sejati selalu berusaha menjernihkan cermin hati murid supaya cahaya Ilahi
dapat tampak bersinar dalam dirinya.
| Guru Sejati Selalu Menyisipkan Murid-Muridnya Dalam Doa |
Pernyataan Imam Ibn Athoillah tersebut mencerminkan prinsip dasar ajaran tasawuf tentang hubungan guru-murid (murshid dan murid) yang bersifat batiniah, integral, dan transformatif. Di dalam tasawuf, guru bukan hanya pengajar ilmu pengetahuan atau agama secara lahir, tetapi juga pembimbing spiritual yang membukakan pintu ma'rifat dan membersihkan batin murid menuju kesempurnaan iman.
Kitab Taysir al-Khallaq fi Akhlaq al-Mu’allim wal Matlub karya Syekh Hafizh Hasan Al-Mas’udi, ulama besar Al-Azhar, memperkuat konsep guru sebagai sosok pembimbing yang membangun akhlak dan membawa murid ke tingkat kesempurnaan ilmu serta moralitas.
Di bab kedua, Adab al-Mu’allim, disebutkan bahwa guru
adalah penuntun yang membantu murid meraih kesempurnaan ilmu dan pengetahuan
(tilmidzi ila ma yakunu bihi kamaluhu min al-‘ulumi wal ma’arifi).
Syekh Al-Mas’udi menegaskan bahwa guru tidak cukup hanya
sekadar menyampaikan materi, tetapi harus punya komitmen untuk membentuk akhlak
mulia dan memandu perkembangan spiritual murid secara menyeluruh.
Hal ini menegaskan kesesuaian pemikiran Ibn Athoillah dengan
perspektif pendidikan Islam yang menyatukan aspek intelektual dan akhlak.
Pandangan Imam al-Ghazali tentang Guru
Imam al-Ghazali, dalam karya monumentalnya Ihya' Ulum
al-Din, menempatkan guru pada posisi sangat mulia sebagai sosok yang
menyempurnakan, mensucikan, dan menjernihkan hati murid sehingga mereka dapat
mendekat kepada Allah.
Menurut al-Ghazali, guru tidak hanya mengajarkan ilmu secara
formal, tetapi juga menjadi pembimbing yang memurnikan batin dan membentuk
karakter spiritual murid. Guru adalah kunci suksesnya perjalanan menuju
akhirat.
Al-Ghazali bahkan menegaskan bahwa mengajarkan ilmu dan
membimbing manusia adalah pekerjaan yang sangat mulia dan merupakan bentuk
ibadah dan amanah yang besar di hadapan Allah.
Ia menekankan hubungan batin dan kepercayaan mendalam antara
guru dan murid, agar murid menerapkan ilmu bukan sekadar secara lahir, tapi
pada batin yang penuh kesadaran dan takwa.
Kajian Modern tentang Peran Guru Spiritual
Penelitian kontemporer menegaskan bahwa peran guru dalam
pendidikan spiritual Islam mencakup dimensi yang melampaui pengajaran
intelektual, yaitu pembimbing moral dan spiritual yang membawa perubahan
menyeluruh pada murid.
Dalam jurnal pendidikan Islam, guru dianggap sebagai sosok
yang bertanggung jawab membentuk karakter, akhlak mulia, dan spiritualitas
murid secara holistik, bukan sekadar mentransfer ilmu kognitif.
Studi psikospiritual juga menemukan pentingnya karisma dan
keberkahan (barakah) guru yang dirasakan secara langsung oleh murid untuk
menciptakan pengalaman spiritual yang autentik dan mendalam.
Kesimpulan
Hakikat guru yang diajarkan oleh Imam Ibn Athoillah al-Askandarī menekankan bahwa guru sejati adalah pembimbing spiritual yang mampu mentransformasikan batin, membangkitkan semangat jiwa, dan membersihkan hati murid dari pengaruh hawa nafsu. Guru bukan hanya penyampai kata-kata, melainkan sosok yang hadir dengan keberkahan dan isyarat yang menyusup ke dalam jiwa.
Pandangan ini sesuai dengan tuntunan dari kitab Taysir
al-Khallaq yang menegaskan fungsi guru sebagai pembentuk akhlak dan
penuntun ke kesempurnaan ilmu serta pandangan Imam al-Ghazali yang mendudukkan
guru sebagai pembimbing integratif untuk kemurnian hati dan kedekatan kepada
Allah. Kajian modern pun memperkuat urgensi peran guru spiritual yang holistik
dalam konteks pendidikan Islam.
Referensi
Ibn Athoillah al-Askandarī, Al-Hikam
Syekh Hafizh Hasan Al-Mas’udi, Taysir al-Khallaq fi
Akhlaq al-Mu’allim wal Matlub, Darul Ulum Al-Azhar
Imam al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?