Dokumentasi kegiatan Intelectual Leadership Training HMP FEB UB 2025
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM: Hari Tani Nasional setiap 24 September selalu dirayakan dengan jargon kedaulatan pangan dan penghormatan terhadap petani sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun di balik perayaan itu, ada ironi besar yang terus berulang, jutaan petani di negeri yang disebut “agrari” ini justru tidak memiliki lahan yang memadai untuk digarap bahkan ada petani yang tidak memiliki lahan sama sekali.
Perayaan hari tani bukan saja sekedar menjadi formalitas dan pidato formal para pejabat, hari tani seharusnya menjadi bentuk perlawanan ketidakadilan terhadap Masyarakat kelas bawah (petani) yang berusaha bertahan ditengah ancaman penggusuran tanah dan kebijakan yang tidak berpihak terhadap para petani
Sensus Pertanian 2023 mencatat jumlah petani gurem—yakni petani dengan lahan di bawah 0,5 hektar—mencapai 16,89 juta rumah tangga usaha pertanian. Angka ini melonjak 18,54% dibanding 2013, yang berjumlah 14,25 juta. Lebih mengejutkan lagi, 62% petani pengguna lahan di Indonesia adalah petani gurem. Dengan luas lahan sekecil itu, sulit bagi mereka untuk memperoleh penghasilan yang cukup, apalagi mencapai taraf hidup sejahtera.
Ketimpangan ini semakin terlihat bila dibandingkan dengan korporasi besar. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sekitar 1% penduduk Indonesia menguasai 68% tanah. Sementara itu, perusahaan perkebunan sawit menguasai 16 juta hektar lahan, lebih luas daripada total lahan persawahan yang hanya 7,4 juta hektar. Dalam logika sederhana, tanah subur lebih banyak dinikmati oleh korporasi ketimbang petani kecil yang seharusnya menjadi tulang punggung pangan nasional.
Pemerintah selama beberapa periode selalu menjadikan reforma agraria sebagai program unggulan. Namun hingga kini, yang lebih banyak terealisasi adalah program legalisasi aset berupa sertifikasi tanah, bukan redistribusi tanah baru. Sertifikasi memang memberi kepastian hukum, tetapi jika lahan yang dimiliki tidak mencapai luas produktif, sertifikat itu hanya menjadi selembar kertas legal, tanpa daya ungkit ekonomi bagi petani.
Lebih ironis lagi, konflik agraria terus terjadi. Data KPA setiap tahun mencatat ribuan kasus konflik tanah yang melibatkan masyarakat dengan korporasi atau pemerintah, baik akibat pembangunan infrastruktur, tambang, maupun perkebunan. Artinya, alih-alih menyelesaikan ketimpangan, kebijakan negara justru sering memperparah perebutan lahan antara rakyat dan pemodal besar.
Petani gurem dan buruh tani menanggung beban paling berat. Dengan lahan di bawah 0,5 hektar, rata-rata pendapatan mereka jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Tak sedikit petani yang akhirnya menjadi konsumen beras, cabai, atau jagung yang justru mereka tanam. Kondisi ini menjelaskan mengapa kemiskinan pedesaan sulit ditekan, sekalipun produksi pangan nasional secara makro terlihat cukup.
Di sisi lain, krisis regenerasi petani semakin nyata. Anak muda desa lebih memilih bekerja di sektor non-pertanian atau pindah ke kota karena melihat pertanian tidak menjanjikan. Akibatnya, usia rata-rata petani di Indonesia kini berada di kisaran 50 tahun ke atas. Jika tren ini dibiarkan, dalam dua dekade ke depan Indonesia bisa menghadapi krisis tenaga kerja pertanian, sementara lahan tetap dikuasai oleh segelintir pihak.
Hari Tani Nasional seharusnya menjadi titik refleksi, bukan sekadar seremoni. Ada beberapa langkah penting yang bisa segera diambil pemerintah: Redistribusi tanah yang nyata dan adil. Negara harus berani memutus dominasi korporasi atas tanah dengan mendistribusikan lahan berlebih kepada petani tanpa lahan. Perlindungan lahan pangan produktif. Alih fungsi sawah harus dihentikan, dengan regulasi ketat dan sanksi tegas bagi pelanggar. Dukungan khusus untuk petani gurem. Akses kredit mikro, subsidi input, irigasi, dan pemasaran produk harus difokuskan ke mereka, bukan hanya ke petani besar atau korporasi. Membangun ekosistem regenerasi. Petani muda harus diberi ruang bukan sekedar program slogan petani milenial, digitalisasi, serta koperasi modern agar bertani kembali menarik. Mengakhiri konflik agraria. Pemerintah harus hadir sebagai penengah yang adil, bukan pembela kepentingan modal.
Ironi Hari Tani Nasional tidak bisa lagi ditutupi oleh slogan dan upacara. Fakta bahwa lebih dari separuh petani Indonesia adalah petani gurem menunjukkan kegagalan kebijakan agraria selama ini. Negeri yang mengaku agraris justru membiarkan petani tanpa lahan, sementara tanah subur dikuasai korporasi.
Jika pemerintah sungguh ingin mewujudkan kedaulatan pangan, langkah pertama bukanlah sekadar membagi sertifikat, melainkan memastikan petani memiliki lahan yang cukup, terlindungi, dan berdaya secara ekonomi. Tanpa itu, Hari Tani hanya akan menjadi perayaan simbolis—sementara petani tetap menjadi buruh di tanah sendiri. Penulis: Muh Ikbal (Mahasiswa Universitas Brawijaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?