Banner Iklan

DPD RI Cantik Lia Istifhama Minta Pajak E Commerce Jangan Hambat UMKM

Anis Hidayatie
02 Juli 2025 | 12.27 WIB Last Updated 2025-07-02T05:27:36Z

 

Lia Istifhama, cantik berhijab biru Dongker Minta Pajak E-Commerce Jangan Hambat UMKM

FINLANDIA| JATIMSATUNEWS.COM: Rencana pemerintah untuk mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap transaksi pedagang di e-commerce memicu respons kritis dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama. Wanita cantik keponakan Gubernur Khofifah ini menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepatuhan pajak dan keberlangsungan pertumbuhan ekonomi digital nasional.

“Kami mendukung penuh upaya pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan pajak, namun penerapannya harus adil, transparan, dan tidak boleh membebani pelaku usaha lokal, khususnya UMKM,” tegas Lia, yang akrab disapa Ning Lia, dalam keterangannya, Selasa (2/7/2025).

Ning Lia mengingatkan bahwa ekosistem digital Indonesia telah menjadi tulang punggung ekonomi inklusif. UMKM merupakan bagian vital dari ekosistem ini. Oleh karena itu, setiap kebijakan fiskal, termasuk perpajakan digital, seharusnya dirancang sebagai katalisator transformasi digital, bukan malah menjadi beban baru yang bersifat sepihak.

Keadilan Pajak untuk Perusahaan Asing

Dalam pernyataannya, Ning Lia juga menyoroti ketimpangan dalam pengenaan pajak digital yang selama ini terjadi. Menurutnya, perusahaan teknologi asing yang meraup keuntungan besar dari pasar Indonesia seharusnya menjadi target utama dari kebijakan pajak.

“Pendapatan iklan digital dan penjualan layanan seperti aplikasi, cloud computing, dan marketplace justru didominasi oleh raksasa global seperti Google, Meta, TikTok, Apple, dan Amazon,” tegasnya. Namun ironisnya, kata Ning Lia, perusahaan-perusahaan ini hanya dikenai PPN PMSE sebesar 11 persen, tanpa kontribusi PPh yang sepadan.

Akibatnya, lanjut Ning Lia, media lokal dan UMKM justru menjadi korban. Pendapatan iklan menurun karena pergeseran ke platform global, sementara UMKM dipaksa menanggung beban pajak di dalam negeri. “Kalau seperti ini terus, UMKM bisa merasa dirugikan oleh negara sendiri, sementara perusahaan asing bebas mengekstraksi nilai ekonomi Indonesia tanpa kontribusi nyata,” kritiknya.

Ning Lia menyarankan agar pemerintah Indonesia mencontoh langkah negara-negara lain yang sudah lebih tegas dalam mengatur pajak digital. Ia menyoroti Kanada yang pada Juni 2024 resmi memberlakukan Digital Services Tax (DST) sebesar 3 persen kepada perusahaan digital asing dengan omzet global di atas 750 juta euro dan pendapatan domestik minimal 20 juta dolar AS.

“Kalau negosiasi global lewat OECD masih jalan di tempat, maka Indonesia perlu mempertimbangkan penerapan DST serupa agar tidak terus-menerus menjadi pasar yang dimanfaatkan tanpa timbal balik,” ujar Ning Lia.

Ia juga menyinggung praktik transparansi pajak yang diterapkan negara seperti Finlandia. Negara Skandinavia itu, menurutnya, menarik pajak tinggi namun dengan kejelasan tujuan dan pemanfaatannya. “Masyarakatnya percaya karena tahu bahwa pajak digunakan untuk pendidikan, layanan kesehatan, dan kesejahteraan sosial, bukan sekadar penambahan beban tanpa arah,” jelasnya.

Sementara itu, pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan bahwa kebijakan ini bukanlah pajak baru, melainkan perubahan mekanisme pemungutan. Marketplace akan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menyederhanakan administrasi dan mengurangi praktik ekonomi bayangan. “UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap tidak akan dikenai pajak,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Meski demikian, sejumlah asosiasi marketplace mengaku masih menunggu aturan teknis yang kini tengah difinalisasi. Mereka berharap pemerintah melakukan sosialisasi yang komprehensif agar tidak terjadi kebingungan di lapangan.

Di tengah derasnya arus ekonomi digital, Ning Lia menegaskan kembali bahwa negara harus hadir dengan regulasi yang adil dan berimbang. “Pajak harus menjadi alat negara untuk memajukan, bukan justru menghambat. Transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada pelaku usaha lokal harus menjadi landasan utama kebijakan ini,” pungkasnya.


) Redaksi Kejoranews.com


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • DPD RI Cantik Lia Istifhama Minta Pajak E Commerce Jangan Hambat UMKM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now