Banner Iklan

Pajak Warung Makan Malam Kota Malang Jadi Belum Final

Anis Hidayatie
19 Mei 2025 | 12.48 WIB Last Updated 2025-05-19T05:51:23Z
Pajak Warung Makan Malam Kota Malang Jadi Belum Final 

MALANG | JATIMSATUNEWS.COM: Wacana penerapan pajak terhadap usaha makanan dan minuman (mamin), termasuk warung makan yang beroperasi malam hari, menjadi sorotan publik Kota Malang. Hal ini menyusul pembahasan perubahan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang tengah digodok Pemerintah Kota (Pemkot) Malang bersama DPRD. Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat, menegaskan bahwa kebijakan ini belum final dan masih dalam tahap evaluasi serta pemetaan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD). 

 “Perda lama memang menetapkan ambang batas omzet Rp 5 juta per bulan untuk dikenai pajak. Tapi sampai saat ini belum kami jalankan karena saya masih ingin mengevaluasi dan mempertimbangkan kembali dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat,” kata Wahyu saat ditemui awak media, Rabu (14/5). 

 Menurutnya, penerapan pajak belum tentu langsung dikenakan kepada seluruh pelaku usaha. Saat ini pemerintah masih dalam tahap pendataan untuk mengetahui seberapa besar omzet dari masing-masing usaha. 

 “Kami ingin tahu berapa banyak usaha mamin yang omzetnya Rp 5 juta, Rp 10 juta, hingga Rp 30 juta. Ini belum tentu semua langsung kena pajak,” tegasnya.

 Lebih lanjut, Wahyu mengusulkan perubahan ambang batas omzet yang dikenai pajak dari Rp 5 juta menjadi Rp 10 juta per bulan. Ia menilai angka Rp 5 juta terlalu rendah dan bisa membebani pelaku UMKM yang masih rentan.

 “Kalau pun ambang baru disahkan, belum tentu langsung dijalankan. Harus melihat kondisi ekonomi warga. Saya punya kewenangan untuk menunda pelaksanaannya,” ujarnya. 

 Ketua Panitia Khusus (Pansus) Ranperda PDRD, Indra Permana, menyebutkan bahwa kenaikan ambang batas merupakan hasil kajian mendalam. Menurutnya, tujuan perubahan ini adalah untuk melindungi pelaku UMKM dari beban pajak yang terlalu dini. 

 “Melalui pembahasan di Pansus, kami sepakat menaikkan ambang batas menjadi Rp 10 juta. Ini agar UMKM punya ruang napas dan tidak terbebani di awal,” ujar Indra. 

 Ia menjelaskan bahwa Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10 persen sebenarnya tidak dibayarkan langsung oleh pelaku usaha, melainkan dititipkan dari konsumen. Namun, ia tak menampik bahwa perubahan ambang batas akan berpengaruh pada potensi PAD Kota Malang.

 “Jika ambang dinaikkan menjadi Rp 10 juta, potensi kehilangan PAD bisa mencapai Rp 8 miliar per tahun. Tapi kami tidak bisa mengorbankan pelaku usaha kecil demi angka itu,” tambahnya.

 Dukungan untuk menaikkan ambang batas juga datang dari sejumlah anggota DPRD Kota Malang. Ketua Fraksi PKB Saniman Wafi serta anggota Pansus bahkan mengusulkan agar ambang batas dinaikkan lebih tinggi lagi.

 “Kami dari PKB mendorong agar ambang dinaikkan ke Rp 25-30 juta. Itu angka yang lebih adil. Dengan begitu, keluhan UMKM bisa ditekan dan pengawasan lebih mudah dilakukan,” ujarnya.

 Senada, Arief Wahyudi dari Komisi C DPRD Kota Malang menyoroti tantangan teknis dalam pelaksanaan pajak ini, khususnya dalam hal akurasi pelaporan dan pengawasan. 

 “Banyak pelaku UMKM belum punya sistem kasir atau e-tax. Kalau tak diatur dengan bijak, ini rawan penyelewengan,” jelasnya. 

Ia meminta agar Pansus menyusun aturan yang realistis dan berpihak pada pelaku usaha kecil. Sementara itu, Asmualik dari Fraksi PKS menekankan pentingnya kajian mendalam sebelum kebijakan pajak ini diterapkan. Ia menilai, kebijakan terkait pajak makanan dan minuman menyentuh aspek mendasar masyarakat, yakni kebutuhan pokok. 

 “Pemerintah harus melakukan penelitian yang cermat karena ini menyangkut pendapatan masyarakat kecil dan menengah. Jangan sampai kebijakan ini mengganggu kebutuhan pokok mereka,” ujar Asmualik. 

 Ia juga menyoroti pentingnya transparansi besaran pajak dan kontribusi nyata dari pemerintah terhadap pelaku UMKM.

 “Kalau pelaku usaha ditarik pajak, pemerintah juga harus hadir memberikan pelayanan dan kemudahan, bukan hanya menagih. Jangan sampai pajak ini jadi beban yang tidak sepadan,” tegasnya.

 Hingga saat ini, Pemkot Malang belum menetapkan secara resmi besaran pajak untuk warung makan malam. Perubahan Perda PDRD masih dalam tahap pembahasan dan evaluasi, termasuk usulan kenaikan ambang batas omzet dari Rp 5 juta menjadi Rp 10 juta hingga Rp 30 juta per bulan.

 Pemerintah Kota dan DPRD berkomitmen mencari titik temu terbaik antara peningkatan PAD dan perlindungan terhadap pelaku UMKM, agar kebijakan ini bisa berjalan adil dan berkelanjutan.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pajak Warung Makan Malam Kota Malang Jadi Belum Final

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now