MALANG|JATIMSATUNEWS.COM — Dibalik ketangguhan fisik dan semangat juang para atlet muda, ternyata ada ancaman tersembunyi yang mulai menghantui: sarkopenia, sebuah kondisi yang menyebabkan penurunan massa dan kekuatan otot. Jika selama ini sarkopenia dikenal sebagai penyakit usia lanjut, kini gejalanya mulai menjangkiti para atlet muda di Jawa Timur.
Kondisi ini bukan sekadar dugaan. Berdasarkan hasil tes fisik pertama yang dilakukan pada Januari 2024, sebanyak 70% atlet Puslatda Jawa Timur mengalami penurunan performa, yang disinyalir sebagai gejala awal pra-sarkopenia. Ironisnya, penurunan massa otot ini terjadi meski para atlet menjalani latihan intensif setiap hari.
"Seharusnya atlet mengalami peningkatan massa otot, bukan sebaliknya," tegas Prof. Bambang Purwanto, dr., M.Kes, Ketua Tim Pengabdian kepada Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR). “Sarkopenia bukan hanya menurunkan performa, tapi juga meningkatkan risiko cedera serius seperti patah tulang dan robekan ligamen."
Menjawab kekhawatiran ini, FK UNAIR menyelenggarakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat bertema "Pelatihan Skrining Mandiri dan Pencegahan Pra-Sarkopenia Sebagai Upaya Pemberdayaan Atlet Muda Jawa Timur yang Sehat dan Berprestasi”, Selasa (27/05/2025) di Universitas Insan Budi Utomo (UIBU) Kota Malang. Kegiatan ini diikuti 30 atlet dan didukung penuh oleh Asosiasi Bola Tangan Indonesia (ABTI) Kota Malang serta didanai oleh Universitas Airlangga melalui skema Program Kemitraan Masyarakat bidang kesehatan (SDG 3).
Menurut Prof. Bambang, salah satu kunci penting dalam pencegahan adalah skrining dini yang terjangkau dan akurat. Dua metode yang telah divalidasi dan kini diperkenalkan adalah kuesioner SARC-F dan pengukuran lingkar otot betis, yang dinilai memiliki sensitivitas tinggi, bahkan mendekati 100% untuk usia 18–29 tahun.
Pada sesi pelatihan, para atlet, pelatih, dan pengurus mendapat pembekalan menyeluruh, mulai dari pengisian kuesioner, pengukuran lingkar betis, hingga penggunaan alat Bio Impedance Analyzer (BIA) dan dynamometer untuk mengukur kekuatan genggaman tangan. Kegiatan ini dipandu oleh tim pengabdian lintas disiplin dari FK UNAIR, termasuk dosen dan mahasiswa dari program S2 Ilmu Kesehatan Olahraga, S1 Kedokteran, Profesi Bidan, dan S3 Ilmu Kedokteran.
Narasumber lain, Rr. Shinta Arisanti, dr., M.Kes, AIFO, menambahkan bahwa stres kronis dan inflamasi adalah faktor risiko utama sarkopenia pada atlet. Ia menekankan pentingnya kewaspadaan dan kemampuan atlet untuk mendeteksi pra-sarkopenia secara mandiri.
“Banyak atlet tidak menyadari bahwa massa otot mereka mulai menyusut. Saat terdeteksi, biasanya sudah terlambat untuk mengejar performa puncak,” imbuh dr. Shinta.
Melalui program ini, atlet tidak hanya dibekali pengetahuan, tapi juga diberdayakan untuk melakukan skrining secara mandiri. Harapannya, kegiatan ini menjadi langkah awal menuju skrining berkala yang lebih luas oleh pelatih dan pengurus, serta menjadi data awal evaluasi oleh KONI dan asosiasi olahraga terkait.
Prof. Bambang optimistis, “Dengan skrining rutin dan modifikasi faktor risiko, kita bisa menyiapkan atlet muda Jatim yang tidak hanya sehat, tapi juga unggul dan berprestasi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?