ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM: Setiap manusia menyimpan kisah. Ada yang terang benderang, ada yang tersembunyi. Semua tersaji di balik senyum dan tawa menghadapi apapun kejadian di dunia. Semua kisah dialami, disaksikan bahkan terdengar namun tak semua terbaca apalagi tercatat.
Padahal, setiap cerita memiliki nilai: pelajaran, kekuatan, dan harapan.
Maka, bukukanlah ceritamu. Biarkan ia menjadi dokumentasi abadi, referensi untuk anak cucu kelak, dan lentera bagi jiwa-jiwa yang butuh cahaya.
Kita hidup di tengah masyarakat yang kerap menilai dari tampak luar. Novel Salikah, Tentang Cinta dan Ruang Sunyi adalah bukti betapa perjuangan seorang perempuan bisa tertelan sunyi jika tidak dituliskan. Ditinggal mati suami, Salikah harus menjalani masa iddah—sebuah fase duka dan keterasingan.
Ia mengajar sambil menjadi pedagang asongan, menelan cemooh masyarakat yang tak paham perjuangan. Tapi karena kisahnya dibukukan, Salikah kini menjadi simbol keteguhan, dan sosok perempuan mandiri yang disegani, setidaknya bagi dirinya sendiri dan anak anaknya.
Lain lagi dengan kisah dalam novel Jangan Jadi Guru, Jadilah Kuli Bangunan. Sebuah sindiran tajam dari realita getir sulitnya menembus dinding kebijakan kampus. Seorang ibu guru sederhana berjuang menurunkan UKT anaknya agar tetap bisa kuliah. Anak itu bekerja sebagai tenaga TU sambil kuliah, tetap dihina karena dianggap cuma jadi TU dengan ibunya hanya guru. Dianggap tak mungkin mampu membayar UKT tersebab gaji yang diterima sangat kecil.
"Jangan jadi guru, jadilah kuli bangunan. Tiap hari bisa dapat uang setidaknya seratus ribu. Kalau guru paling hanya ratusan setiap bulan. Mana mungkin cukup bayar UKT," ujar Kajur di kampus anaknya.
Lewat kisah itu, tangan Tuhan turun, viral, petinggi pusat hingga kampus turun tangan, berkenan memberi bantuan. Si anak kini bergelar S2 dan memiliki pekerjaan mapan. Cerita itu, jika tidak dituliskan apalagi dibukukan, mungkin hanya jadi bisik-bisik di warung kopi atau luapan air mata di bantal malam.
Ada pula kisah tragis namun penuh pelajaran: seorang guru yang dipolisikan hanya karena menepuk ringan muridnya yang membangkang saat diminta salat. Di tengah risau menghadapi hujatan dan proses hukum menjadi tersangka, guru itu tetap tak henti melantunkan doa. Karena yakin bahwa tindakan kecilnya bukanlah kekerasan, melainkan teguran sayang.
Waktu akhirnya membuktikan, kekuatan kawan kawan guru agama yang viral membuat advokat bersatu membela. Pelapor cabut Laporan. Ia kini bebas mengajar dan tetap menjadi lentera bagi murid-muridnya.
Karya-karya seperti itu bukan sekadar fiksi. Mereka nyata. Mereka hidup dan menjelma jadi kekuatan bagi yang membaca. Menjadi penawar luka bagi yang pernah jatuh, dan menjadi pelita bagi yang kini sedang berjalan dalam gelap.
Maka, jika Anda punya cerita, tulislah. Monggo saja caranya, dijadikan diary dulu, ditulis di blog pribadi atau media sosial atau dikirim ke media sebagai karya fiksi atau artikel. Saat ini bertabur platform yang bersedia menerima karya tanpa proses editing, langsung dimuat. Bisa digunakan untuk menyimpan dan melihat respon pembaca. Sesudah itu Bukukan.
Apa saja? Semuanya. Yang anda pikir itu adalah perjuangan atau kenangan tak terlupakan. Misal, proses melahirkan, kehilangan tercinta, putus hubungan, diselingkuhi, berselingkuh semua sah sah saja dibukukan dengan ending saran saya ada hikmah yang bisa dipetik, selain terapi hati juga referensi yang sedang mengalami. Juga sarana dakwah untuk kita guru agama. Dakwah bil lisan lewat tulisan.
Entah itu kisah sedih, perjuangan, atau kebahagiaan yang sederhana—semuanya layak diabadikan.
Jangan tunggu kisahmu dilupakan. Jangan biarkan hanya angin yang tahu betapa keras hidup telah kamu taklukkan.
Tulis dan abadikan. Anak cucu nanti bukan hanya butuh warisan materi, tetapi juga warisan makna. Kisahmu bisa jadi pegangan, jadi kekuatan, bahkan jadi kompas dalam menjalani hidup mereka kelak.
Karena itu, sekali lagi: bukukan ceritamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?