ads H Makhrus

 

Pasang iklan disini

 

Pilkada, Demokrasi Pikiran Bukan Demokrasi Populer

14 Juli 2024 | 13.53 WIB Last Updated 2024-07-15T03:35:20Z


Oleh ; Zamzami Tanjung
Peneliti Batuta Institute

Pilkada merupakan sarana demokratis untuk menentukan pimpinan daerah dalam ranah pemerintahan eksekutif. Maju mundurnya sebuah daerah tergantung pada siapa yang ditentukan oleh rakyat untuk dipilih jadi kepala daerah. Diperlukan kepala daerah berpikiran untuk menjalankan proses demokrasi pikiran.

Walau belum memasuki tahapan yang sesungguhnya, kontestasi pilkada terasa telah dimulai. Lobi-lobi politik mulai dari tingkat pusat, daerah bahkan hingga tingkat kampung telah dirasakan. Aura persaingan untuk memperebutkan kursi kepala daerah sudah mulai menghangat.

Idealnya, yang akan dinilai masyarakat dari calon  kepala daerah ini adalah pikiran. Seorang yang akan maju menjadi calon kepala daerah haruslah seseorang yang mempunyai serangkaian ide dan program untuk memajukan sebuah daerah. Serangkaian ide dan program tersebut tentu harus didasari pada analisis lapangan terhadap kondisi nyata yang sedang berlangsung di daerahnya.

Ide dan program seharusnya dipaparkan oleh calon kepala daerah kepada masyarakat. Hingga masyarakat tahu apa yang menjadi landasan bagi seseorang berambisi menjadi kepala daerah. Jika kemudian mereka terpilih, masyarakat juga sudah mengetahui apa yang menjadi prioritas kerja dari kepala daerah berdasarkan pikiran yang telah disampaikan pada masa kampanye. Dengan mengetahui dan menilai pikiran bakal calon kepala daerah, maka masyarakat punya landasan untuk menuntut agar pikiran tersebut dijalankan.

Tapi kenyataannya, dalam kontestasi menuju proses pilkada yang diamati sejauh ini, tidak terdapat banyak bakal calon kepala daerah yang mengusung pikiran. Justru yang sedang berlangsung dan diamati oleh masyarakat adalah konsilidasi serta berserakannya atribut profil seseorang yang diduga akan maju sebagai kepala daerah di ruang-ruang publik.

Proses demikian akan mengurung masyarakat daerah untuk menjalani demokrasi populer. Hal itu berarti, siapa yang lebih banyak dikenal oleh masyarakat, maka dia dapat dipastikan akan terpilih. Sementara mengenai apa yang menjadi buah pikir dari bakal calon tersebut tidak banyak diketahui. Pertarungan yang terjadi adalah pertarungan popularitas.

Sementara kebutuhan daerah untuk dipimpin oleh kepala daerah yang berpikir sudah menjadi suatu keharusan. Sudah pasti banyak persoalan-persoalan daerah yang harus dipecahkan, mulai dari kemiskinan, masalah pendidikan dan kesehatan. Seharusnya seorang kepala daerah yang terpilih menjadi lokomotif perubahan terhadap kondisi di daerahnya, merubah kearah yang lebih baik.

Belum tentu seorang yang telah mempunyai seabrek pengalaman pada pemerintahan atau bahkan petahana kepala daerah disebut mempunyai pikiran mengenai kemajuan daerahnya. Karena kenyataan yang ditemukan, seseorang yang telah terpilih menjadi kepala daerah hanya menjalankan rutinitas pemerintahan seperti biasanya. Banyak calon yang terpilih tersebut tidak menampilkan performa yang luar biasa ketika sudah menjabat. Dengan demikian, menjalankan demokrasi populer, sama saja mempertaruhkan nasib masyarakat ke arah yang tidak jelas.

Pilihan yang lebih baik adalah menjalankan demokrasi pikiran. Bahwa yang seharusnya bertarung itu adalah pikiran. Masyarakat sebagai calon pemilih di daerah seharusnya sadar mengenai hal tersebut. Bahwa seluruh calon kepala daerah dituntut untuk mengajukan pikirannya ke masyarakat mengenai apa langkah kongrit dari calon kepala daerah jika nanti terpilih.

Lupakan visi misi atau bahkan slogan politik, pada pengalaman pilkada sebelumnya, kebanyakan visi misi dan slogan tersebut hanyalah pemanis kata dan indah untuk dibaca. Terkadang Visi misi tersebut hanya rekaan dan isi kepala dari tim sukses calon, bukan berasal dari calon itu sendiri.

Tanggung jawab moral untuk menjalankan demokrasi pikiran dengan menolak demokrasi populer tersebut seharusnya dibebankan pada elit politik di daerah, termasuk di dalamnya calon kepala daerah itu sendiri. Perilaku sosialisasi dari calon kepala daerah secara sadar atau tidak sadar telah memberikan pelajaran kepada masyarakat. Jika calon kepala daerah tersebut memberikan pikiran dan berusaha menjernihkan pikiran masyarakat, maka calon tersebut telah menjadi pendidik politik dan pendidik demokrasi yang mulia. Dengan demikian sejarah akan tercipta, namanya akan disebut dikemudian hari, mereka memang patut dikenang.

Tanggung jawab moral dari para politisi juga diperlukan untuk mengarahkan laju proses pilkada yang berpikiran. Menyalahkan masyarakat sepenuhnya mengenai keterpilihan seseorang dalam kontetasi pilkada dirasa kurang arif dan bijak dalam menyimpulkan. Seorang politis adalah pemegang kartu permainan politik, hingga setiap kartu politik yang dikeluarkan bisa membawa dampak kepada hasil politik. Politisi bisa memberikan saran dan masukan kepada calon kepala daerah dan juga masyarakat untuk menjalankan demokrasi pikiran. Karena bagaimanapun juga, politisi mempunyai kendaraan berupa partai politik, tekanan kepada calon kepala daerah untuk menjalankan demokrasi pikiran dapat dilakukan melalui partai politik.

Sementara itu KPU di daerah sebagai penyelenggara pilkada seharusnya memberikan peluang bagi terwujudnya demokrasi pikiran tersebut. Pola debat pilkada yang dirancang hanya untuk beberapa kali pertemuan, dirasa kurang efektif untuk menyampaikan pikiran calon kepala daerah ke masyarakat. Karena debat pilkada tersebut akan berakhir pada debat kusir yang tidak jelas dan hanya menampilkan ego calon kepala daerah. Debat calon kepala daerah tersebut menghasilkan pemenang debat tanpa tahu apa esensi dari pikiran yang sedang diperdebatkan.

Pikiran-pikiran calon kepala daerah tersebut seharusnya diuji dan dikontestasikan dalam forum-forum akademis, forum praktisi, forum organisasi masyarakat melalui pola dialog dua arah antara masyarakat dengan calon kepala daerah. Dialog-dialog semacam itu diperlukan sebagai sarana pendalaman pikiran calon kepala daerah. Ditengah kemajuan media informasi seperti sekarang, dialog tersebut mampu menembus sekat tempat dan ruang hingga diharapkan mampu didengar oleh masyarakat luas.

Maka KPU seharusnya memfasilitasi dialog-dialog tersebut. Alasan regulasi, tidak bisa dibenarkan untuk tidak menyertakan peran serta masyarakat dalam dialog-dialog pilkada tersebut. Karena dalam hukum administrasi juga mengatur mengenai kebijakan. Selama kebijakan tersebut menghasilkan sesuatu yang baik, maka kebijakan tersebut tidak bisa disalahkan. Regulasi hanyalah penentu arah, Moral lebih tinggi dari sekedar aturan.

Penutup kata, manusia itu adalah makhluk yang berpikiran. Manusia boleh mati, tapi pikiran akan tetap abadi. Kumpulan manusia yang berpikiran pasti akan melahirkan pikiran. Sistem demokrasi yang berpikiran pasti menghasilkan wujud pikiran, dan demokrasi tanpa pikiran adalah demokrasi mengerikan.

Wallahu Muwafiq ila Aqwami At-Thariq.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pilkada, Demokrasi Pikiran Bukan Demokrasi Populer

Trending Now