Cerpen Cinta Terlarang

Anis Hidayatie
16 Januari 2021 | 16.10 WIB Last Updated 2023-01-04T05:58:39Z

Oleh: Novie Purwanti

Dear, hari ini aku bertemu dengan seseorang yang meruntuhkan dunia dingin hati. Melelehkan serpihan bunga kristal membeku. Mencairkan dengan kekuatan tak kasat mata. Sejak kedipan pertama, aku telah menitipkan detakan dalam rongga. 

Apa kamu percaya cinta pada pandangan pertama?

Mulanya aku kira itu hanya dongeng belaka. Isapan jempol yang tak akan pernah nyata.

Bodoh sekali terperangkap dalam mata seseorang. Tidak masuk akal!

Ingatkah, Dear, ketika kutuliskan kisah para gadis sahabat kesayangan dalam tubuh kertasmu. Cinta seperti itu tidak akan bertahan lama. Hanya sekejab, lalu hilang dihembus angin. Bodoh sekali orang yang bisa mencintai sekejab mata.

Hingga tadi sore, aku merasakannya sendiri. 

Kebetulan hari ini aku pulang kerja agak cepat. Entah kenapa kepalaku terasa pusing, mungkin efek begadang selama dua malam untuk menjaga beberapa pasien yang akan melahirkan. Bidan baru sepertiku harus melalui masa percobaan selama tiga bulan untuk mendapatkan kontrak kerja setahun ke depan.

Seperti biasanya, aku mampir ke Masjid dekat kostan untuk menjalankan salat Ashar. Aku suka suasananya, begitu sejuk, nyaman dan damai. Aku sering salat jamaah Magrib di sini. Suara imamnya menembus hingga ke relung terdalam. Dan sampai sekarang, aku hanya tahu suaranya bukan rupanya.

Setelah salat, aku bersiap menghidupkan motor. Ketika seseorang bercelana sirwal kesulitan mengejar anak berusia sekitar dua tahun. Dia menciumi dada anak itu ketika tertangkap, si kecil tertawa lepas kegelian. Mereka bergulung-gulung di lantai teras masjid. 

Saat itulah planet bumi berhenti berputar. Kiamat melandaku. Hanya aku.

Seorang perempuan bergamis bunga-bunga kuning menghampiri. Dia menggendong anaknya. Lalu mengecup punggung tangan suaminya. Wanita itu berjalan keluar. 

Aku melihat semua itu dengan kadar kecemburuan diambang batas. Bahagia sekali kalau wanita itu adalah aku.

Dear, bagaimana cara mendapatkan hati malaikat itu? Tolong beritahu aku.

Cinta ini membuatku sekarat.

***

Iblis mulai membisikkan akal bulus. Menghujamkan rayuan kegelapan. Aku nyaris tergoda. Setan itu menyuruhku untuk merebut dari sisi wanita sahnya. Perlahan kukenakkan hijab merah muda, melilitkannya sedemikian rupa hingga membingkai wajah ovalku. Hari ini aku mantap berhijab, bukan karena ketukan hati, tapi karena ada maksud tersembunyi.

Ya, aku ingin melepas rindu dengan lelaki itu. 

Setiap pulang kerja, kusempatkan beribadah di masjid dan berdoa supaya dipertemukan dengan belahan hati. Tak sengaja melihat pengumuman mading depan Masjid. Dibuka pendaftaran kursus baca Al-Qur'an khusus dewasa dan dibimbing oleh Imam Masjid langsung. Ustadz Fadhil. Ternyata, Dear, dialah separuh napasku.

Ustadz Fadhil cahaya mataku.

***

Kaki ini menuju ruangan khusus di samping masjid. Tak sampai sepuluh orang ibu-ibu sudah berkumpul melingkar. Di atas meja mungil, buku Iqro terbuka. Aku tersenyum kepada mereka dan memberi salam sambil tersenyum. Mencari tepat di sisi paling kiri.

Ustadz Fadhil sudah menunggu. Senyuman termanis kulempar penuh rindu. Berharap ia tahu isi hatiku.

"Baiklah Ibu-ibu, sebelum kita belajar, tidak ada salahnya memperkenalkan diri dulu. Silakan dari ibu yang berkerudung merah muda."

Dear, hatiku hampir meledak. Suaraku bergetar hebat saat menyebut namanya.

Fadhil. Fadhil. Fadhil. Begitu indah nama itu.

"Silahkan, Bu." Ustadz Fadhil kembali berbicara.

"Maaf, Ustadz, saya masih jomblo, belum ibu-ibu."

Suara tawa berdengung. Seorang ibu berbadan gemuk menepuk pundakku.

"Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Kasi. Umur 24 tahun. Saya bidan di rumah bersalin tak jauh dari sini."

"Rupanya Ibu Bidan, sebuah pekerjaan yang mulia. Membantu orang melahirkan, tidak semua orang sanggup melakukannya."

Oh, Dear, indah sekali pujian itu. Benar kata orang, bahwa pujian bisa menyeret ke dalam gerbang khayalan. Tapi aku tak peduli, asal raga itu bisa menjadi milikku, cara apapun rela kutempuh.

***

Dear, tak terasa sudah berbulan-bulan aku rutin mengaji bersamanya. Tepatnya hampir setahun. Tiga orang ibu-ibu sudah menyerah di tengah jalan. Tinggal kami bertujuh. 

Sepertinya, kesabaranku mulai membuahkan hasil. Aku merasa lelaki itu mulai tertarik. Caranya mencuri pandang terasa berbeda. Ada kobaran di dalam teduh matanya. Aku terbakar, Dear.

"Apakah Mbak Kasi tidak ingin menikah?"

Selepas doa penutup, Ustadz bertanya padaku. Ibu-ibu yang belum pulang berdehem-dehem pelan.

"Belum punya calon, Ustadz. Apa Ustadz mau mencarikan?" 

Dia mengangguk pelan.

"Kalau bisa yang seperti ustadz ya ..." Aku mencolek seorang ibu di sampingku. Dia melirik penuh arti.

"Dia sudah laku, Mbak Kasi." Selorohnya.

"Bercanda, Bu. Saya ini masih kurang ilmu dan tidak pantas dapat suami seperti Ustadz Fadhil. Hahaha." 

Kami semua tertawa. Menganggap itu lelucon paling seru, padahal jauh dilubuk hati, aku berharap menjadi istri Ustadz Fadhil.

Istri kedua. Tidak apa-apa. Aku menerima Ustadz Fadhil apa adanya. Kenyataan bahwa usianya terpaut jauh dariku dan kaki kanannya yang agak kecil tak membuat cinta ini surut. Aku tenggelam dalam semua kekurangannya.

***

Dear, apakah mencintai itu salah? 

Kemarin setelah belajar mengaji, Ustadz Fadhil menahanku beberapa saat. Dia bilang ingin menjadikan aku istri keduanya. Aku hanya bisa bilang 'akan kupikirkan lagi'

Kukira, ketika datang hari di mana dua hati bersatu, aku akan melayang ke surga. Namun semua tidak sesuai perkiraan.

Aku sedih, Dear!

Semalaman air mataku mengalir deras. Aku merasa kotor! Hitam! Aku berdosa, Dear. Berdosa ...

Allah telah memberiku banyak kenikmatan, tapi apa balasanku? Hamba hina mempermainkan ajaran-Nya. Hijab ini hanya topeng! Aku benci, benci... 

Terdengar ketukan dari pintu kamar kost. Perasaanku begitu sakit hingga aku memutuskan bolos kerja hari ini. 

Siapa yang datang? Apakah teman-teman?

Aku merapikan rambut panjang sepinggang yang semrawut dengan jari, lalu terhuyung membuka pintu.

Sosok istri Ustadz Fadhil menatap tajam. Mulutnya mengatup erat.

Sepertinya bencana akan datang. Perutku mendadak sakit. Aku teringat cerita kalau kecemburuan seorang wanita bisa membuatnya melakukan perbuatan keji. 

Jangan sampai wanita ini bertindak gila.

"Mbak Indah? Ada apa ke sini?"

"Boleh aku masuk?"

Aku mundur dua langkah. Wanita bertubuh mungil berperut membuncit itu masuk dan duduk di tepi pembaringan. Ia mengelus ujung perutnya. 

"Tiga bulan lagi aku melahirkan, Kasi. Maukah kau membantu persalinanku?"

Aku hanya bisa mengangguk pelan. Memang selama ini, Mbak Indah selalu periksa di rumah bersalin tempatku bekerja. Bersama dengan suami dan anak sulungnya. Mereka keluarga sempurna.

"Kalau anak ini sudah lahir, kamu boleh membawanya. Sekalian dengan sulungku, Kak Ahsan."

Aku melotot mendengar bicara Mbak Indah yang tidak masuk akal.

"Maksud Mbak apa? Aku tidak mengerti."

Mbak Indah menatap langit-langit kamar, mempertahankan kaca-kaca yang mulai berserakan dalam bolanya.

"Kalau kamu mengambil Mas Fadhil, ambil juga anak-anaknya."

"Mbak Indah kenapa ngomong seperti itu? Aku ... aku ..."

Aku menghentikan bicara, Mbak Indah menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar. Dia tidak sanggup mempertahankan mutiara beningnya.

"Mas Fadhil ingin meminangmu, Kasi. Aku tidak sanggup bila harus berbagi suami. Aku akan minta cerai dan berbahagialah kalian." 

Mbak Indah bangkit, dia keluar dari kamar kost dengan setengah berlari. Jilbab biru lebarnya berkibar tertiup angin Dhuha. 

Mukaku serasa tertampar. Tak kusangka masalah bisa serumit ini. 

Bagaimana mungkin aku merawat anak yang bukan darah dagingku? Aku hanya menginginkan sosok Ustadz Fadhil, bukan anak-anaknya. Egois, bukan?

Ah, Dear, apa yang harus kulakukan? 

***

Langit malam ini begitu gelap. Tak nampak satu bintang pun menerangi. Sama seperti hatiku. Hancur, berkeping. Mendung menggantung siap memuntahkan kesedihan.

Dear, melalui pemikiran panjang dan menimbang baik-buruknya, aku telah memutuskan jalan hidupku. 

Aku tak akan pernah sanggup berbahagia di atas penderitaan wanita lain. Karena aku masih seorang manusia, bukan binatang.

Koper berisi baju dan surat-surat penting kuseret menuju bis jurusan Malang. Meninggalkan sebuah cinta semu yang bukan untukku. Ujung Hijab melambai, aku sekarang bangga mengenakan tanda suci ini di atas kepala. Dalam hening, tulus aku berdoa, semoga keluarga Ustadz Fadhil sempurna selamanya.

End.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Cerpen Cinta Terlarang

Trending Now