Banner Iklan

Implementasi Budaya Menundukkan Badan di Jepang dan Pesantren: Serupa tapi Tak Sama

Admin JSN
03 November 2025 | 22.01 WIB Last Updated 2025-11-04T06:23:14Z

Implementasi Budaya Menundukkan Badan di Jepang dan Pesantren: Serupa Tapi Tak Sama

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM: Beberapa waktu ini, telah viral sebuah cuplikan tayangan acara TV di Trans7 bernama “XPose Uncensored” yang berhasil menyulut perdebatan panas di berbagai platform media sosial. Adegan para santri yang berjalan jongkok di depan kiai untuk memberikan amplop berisi uang, hingga mengerjakan pekerjaan rumah untuk keluarga kiai dinilai berlebihan oleh netizen, lantaran menyerupai gestur ala feodalisme dianggap tidak relevan di zaman modern yang menjunjung tinggi kesetaraan.

Akan tetapi, sebagian orang menilai tayangan Trans7 telah merendahkan martabat kiai yang memiliki jasa besar dalam bagi umat muslim di Indonesia. Melalui fitur “add yours” di Instagram, mereka menilai bahwa para pengkritik pondok pesantren bersikap inkonsekuen. Mereka mempertanyakan, mengapa budaya menundukkan badan di Jepang diagung-agungkan sebagai budaya hormat yang menjadi simbol negara maju, sementara, praktik serupa di pondok pesantren yang juga berpangkal dari penghormatan justru malah dianggap sebagai tradisi kuno yang sudah sepatutnya ditinggalkan? Meski terlihat mirip secara kasat mata, kenyataannya kedua praktik tersebut lahir dari kondisi budaya serta geografis yang berbeda.

Dalam lingkup pesantren, menundukkan badan merupakan manifestasi dari sikap ta’dzim (memuliakan) terhadap kiai yang bersumber dari beberapa kitab terkenal, seperti Ta’limul Muta'alim atau Akhlaqu Lil Banin. Penghormatan terhadap kiai lahir dari ketulusan dan kesadaran para santri untuk bersikap tawadhu’ di hadapan orang yang ilmunya lebih tinggi. Selain karena berkedudukan sebagai pemilik pondok pesantren, sosok kiai dipandang istimewa di mata santri, lantaran mereka dipercaya sebagai penerus para nabi dan memiliki kedekatan spiritual dengan Tuhan.

Namun, terdapat tindakan-tindakan yang kurang sesuai dengan ajaran islam dalam implementasi adab terhadap kiai dan guru di pesantren. Beberapa pondok pesantren tradisional menerapkan gestur-gestur seperti berjalan jongkok, berjalan sambil berlutut, menundukkan kepala ketika berbicara dengan kiai, menundukkan badan secara berlebihan, hingga yang paling parah ada yang sampai mencium kaki pengasuh pesantren. Gestur-gestur yang berakar dari budaya Jawa tersebut dilakukan para santri yang dimaksudkan sebagai wujud penghormatan dan tawadhu’ (merendahkan hati) terhadap kiai.

Sementara itu, di Jepang, terdapat budaya serupa yang dikenal dengan istilah ojigi. Penerapan ojigi tidak hanya dimaksudkan untuk menghormati eksistensi sesama individu, namun juga diterapkan dalam berbagai konteks situasi, seperti untuk memberi salam, meminta maaf, berterima kasih, memperkenalkan diri, dan meminta tolong. Mengutip dari nipponconcierge.com, ojigi memiliki ketentuan tingkatan derajat dalam membungkukkan badan, yakni 15° kepada teman, kolega, dan bawahan; 30° kepada klien penting dalam konteks formal dan orang yang lebih tua; 45° dalam upacara, keadaan tertentu, atau saat meminta maaf.

Meskipun terdapat tingkatan atau strata dalam praktiknya yang menyesuaikan dengan situasi dan lawan bicara, ojigi merepresentasikan kesetaraan antara kedua belah pihak. Baik yang berkedudukan lebih tinggi maupun lebih rendah, keduanya sama-sama merasa setara dan dihormati. Sebagai contoh, para karyawan akan menundukkan badan kepada atasan, lalu atasan akan membalas dengan gestur serupa. Penekanan dalam kesetaraan inilah yang mendasari perbedaan antara ojigi di Jepang dan menundukkan badan terhadap kiai meskipun tujuan keduanya sama, yakni untuk menghormati seseorang.

Menurut perspektif modern, budaya santri menundukkan badan sebagai bentuk adab terhadap kiai dinilai sebagai wujud dari kekuasaan hierarkis. Santri dipandang memiliki kedudukan lebih rendah, sementara kiai diyakini memiliki kendali penuh terhadap para santri sehingga memunculkan struktur vertikal dalam relasi antara kiai dan santri. Meski dalam penerapan adab–dalam hal ini menundukkan badan–didasarkan pada kesadaran diri para santri yang menganggap dirinya lebih rendah dibandingkan kiai yang memiliki lebih banyak ilmu, hal ini telah melanggengkan hierarki dalam hubungan kiai-santri dan menciptakan ketidaksetaraan.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah SAW. menegaskan larangan untuk menundukkan badan sebagai bentuk penghormatan kepada sesama manusia. Beberapa ulama memiliki pendapat berbeda mengenai hukum menundukkan badan berdasarkan hadits tersebut. Sebagian ulama menganggap bahwa menundukkan badan dalam rangka pengagungan terhadap manusia hukumnya haram, terutama jika gerakan menundukkan badan dilakukan secara berlebihan hingga menyerupai posisi ruku’ atau sujud. Hal tersebut ditakutkan akan menjadi bentuk syirik, karena sejatinya ruku’ dan sujud hanya boleh dilakukan kepada Allah Azza wa Jalla.

Perlu disoroti bahwa praktik membungkukkan badan kepada kiai di pondok pesantren dan ojigi sejatinya tidaklah sama meskipun keduanya sama-sama berakar dari budaya masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi para santri dan pondok pesantren untuk merefleksikan penerapan praktik penghormatan yang berlebihan terhadap guru dan kiai, serta meninjau kembali praktik tersebut untuk memastikannya tidak melampaui atas dari ajaran islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA., Rasulullah SAW. melarang para sahabat untuk memuji beliau dengan berlebihan. Penghormatan terhadap sosok kiai seharusnya tetap diterapkan dalam gestur yang wajar, tidak melampaui batas ajaran islam yang melarang keras berlebih-lebihan dalam mengamalkan sesuatu. Ta’dzim seharusnya menjadi bentuk penghormatan terhadap ilmu, bukan sebagai bentuk pengkultusan terhadap sesama manusia.

PENULIS

Sabiila Nuura Mahabba - Mahasiswa Universitas Airlangga



Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Implementasi Budaya Menundukkan Badan di Jepang dan Pesantren: Serupa tapi Tak Sama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now