Banner Iklan

Bantu Pembangunan Tiongkok di Asia Tenggara: Strategi Soft Power di Balik Belt and Road Initiative

Anis Hidayatie
15 Oktober 2025 | 16.11 WIB Last Updated 2025-10-15T13:57:34Z


Bantu Pembangunan Tiongkok di Asia Tenggara: Strategi Soft Power di Balik Belt and Road Initiative

ARTIKEL| JATIMSATUNEWS.COM: Dalam satu dekade terakhir, Tiongkok tampil sebagai aktor pembangunan global yang kian berpengaruh. Melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) yang diluncurkan pada tahun 2013, Beijing menanamkan investasi raksasa di berbagai proyek infrastruktur lintas negara mulai dari pelabuhan, jalur kereta cepat, hingga kawasan industri. Di Asia Tenggara, BRI menjelma menjadi simbol baru kerja sama pembangunan yang menjanjikan konektivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Namun, di balik narasi “pembangunan bersama”, muncul pertanyaan penting: apakah BRI murni bentuk solidaritas pembangunan, atau justru instrumen politik luar negeri yang membungkus strategi soft power Tiongkok?

BRI: Bantuan atau Strategi Ekspansi Ekonomi?

Secara resmi, BRI dipromosikan sebagai upaya memperkuat konektivitas global melalui jaringan darat (Silk Road Economic Belt) dan jalur laut (Maritime Silk Road). Melalui proyek ini, Tiongkok menyalurkan bantuan pembangunan, pinjaman lunak, dan investasi besar di berbagai negara berkembang.

Di Asia Tenggara, proyek-proyek BRI tersebar luas. Indonesia memiliki proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung senilai lebih dari USD 7,3 miliar. Laos dan Tiongkok bekerja sama membangun Kereta Api Laos-China, yang kini menjadi simbol konektivitas darat melintasi kawasan. Di Myanmar, proyek pelabuhan Kyaukpyu menjadi bagian penting dari jalur energi strategis yang menghubungkan Samudra Hindia ke Tiongkok barat daya.

Meski dikemas dalam semangat kerja sama pembangunan, banyak kalangan menilai bahwa BRI bukan sekadar bantuan luar negeri, melainkan bentuk diplomasi pembangunan yaitu diplomasi ekonomi melalui proyek pembangunan yang memperkuat posisi politik dan pengaruh Tiongkok di kawasan.

Soft Power dalam Wajah Bantuan Pembangunan

Menurut Joseph Nye (2004), soft power adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain tanpa paksaan, melainkan melalui daya tarik budaya, nilai, atau kebijakan yang menarik simpati. Dalam konteks BRI, soft power diwujudkan melalui citra Tiongkok sebagai mitra pembangunan yang “inklusif” dan “tanpa syarat politik”. Berbeda dari bantuan Barat yang sering disertai syarat tata kelola dan HAM, Tiongkok menonjolkan prinsip non-interferensi tidak mencampuri urusan domestik negara penerima. Pendekatan ini membuat BRI diterima dengan hangat oleh banyak negara berkembang yang lelah dengan model bantuan Barat yang dianggap terlalu mengikat.

Bantuan dalam bentuk proyek infrastruktur, pelatihan teknis, hingga beasiswa pendidikan menjadi alat diplomasi yang memperkuat citra Tiongkok sebagai mitra pembangunan yang “setara”. Melalui proyek-proyek ini, Beijing membangun rasa kepercayaan dan kedekatan sosial yang pada akhirnya memperluas pengaruh politiknya di Asia Tenggara.

Dengan kata lain, BRI bukan sekadar proyek ekonomi tetapi merupakan proyeksi kekuasaan lunak yang berfungsi memperkuat daya tarik dan legitimasi Tiongkok di mata negara tetangga.

Kritik: Ketergantungan Baru di Balik Janji Kemakmuran

Meski menjanjikan pertumbuhan, proyek-proyek BRI juga menimbulkan kontroversi. Beberapa negara menghadapi beban utang tinggi akibat skema pembiayaan yang tidak sepenuhnya transparan. Laporan Center for Global Development (2018) mencatat bahwa Laos dan Kamboja termasuk negara berisiko tinggi dalam utang BRI.

Selain isu finansial, kritik juga muncul terhadap dampak lingkungan dan dominasi kontraktor Tiongkok dalam proyek-proyek lokal. Di beberapa negara, masyarakat menilai manfaat ekonomi dari proyek tersebut tidak sepenuhnya dirasakan secara merata.

Di sisi lain, sebagian pengamat menilai bahwa BRI adalah bentuk baru dari hubungan ketergantungan ketergantungan yang menciptakan asimetri kekuasaan antara donor (Tiongkok) dan penerima. Pandangan ini sejalan dengan Dependency Theory yang menyebutkan bahwa hubungan pembangunan yang tidak seimbang dapat memperkuat dominasi negara pusat terhadap negara pinggiran.

ASEAN dan Tantangan Menjaga Kemandirian Regional

Bagi Asia Tenggara, BRI menawarkan peluang besar untuk membangun infrastruktur dan meningkatkan konektivitas regional. Namun, peluang ini datang dengan tantangan: bagaimana menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi dan kemandirian politik?

Beberapa negara ASEAN memilih strategi pencampuran. Malaysia, misalnya, sempat meninjau ulang proyek East Coast Rail Link (ECRL) karena khawatir terhadap pembengkakan biaya dan risiko utang. Sementara Indonesia berupaya menegosiasikan ulang skema pembiayaan agar proyek-proyek BRI tidak sepenuhnya dikuasai oleh pihak Tiongkok.

Pendekatan ini menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN mulai belajar mengelola hubungan pembangunan secara lebih strategis menerima manfaat ekonomi tanpa kehilangan otonomi politik.

Menatap Masa Depan: Pembangunan yang Berdaulat

Bantuan pembangunan Tiongkok melalui BRI telah membuka babak baru diplomasi ekonomi di Asia Tenggara. Namun, di balik jalan tol, pelabuhan, dan rel kereta cepat, terselip pesan diplomasi yang halus: pembangunan kini bukan hanya urusan ekonomi, tapi juga instrumen geopolitik.

Bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN, tantangannya adalah bagaimana memastikan kerja sama pembangunan berjalan transparan, berkelanjutan, dan saling menguntungkan. Prinsip kehati-hatian, keterbukaan informasi, dan kerja sama regional menjadi kunci untuk menghindari jebakan ketergantungan baru.

BRI adalah peluang besar namun hanya akan menjadi berkah jika dikelola dengan otoritas dan visi jangka panjang. Karena pada akhirnya, pembangunan yang sejati bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi tentang kemandirian bangsa dalam menentukan arah masa depannya.

Referensi Singkat

Nye, Joseph S. (2004). Soft Power: Jalan Menuju Kesuksesan dalam Politik Dunia.

Hurley, Morris & Portelance (2018). Menelaah Implikasi Utang dari Inisiatif Sabuk dan Jalan. Pusat Pembangunan Global.

Sekretariat ASEAN (2023). Kerja Sama ASEAN–Tiongkok dalam Pembangunan Infrastruktur.

The Diplomat (2024). Jejak Tiongkok yang Meluas di Asia Tenggara.


Penulis:

Oleh, Nabillah Irena Satedy


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Bantu Pembangunan Tiongkok di Asia Tenggara: Strategi Soft Power di Balik Belt and Road Initiative

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now